SETELAH tiga minggu off acara Keberni Gayo, Jum’at (13/04) pukul 20.00 sampai dengan 21.00 WIB hadir kembali dengan tema “Gempa dan Trauma”. Judul ini dipilih, dalam hubungannya dengan Gempa yang mengoncang Aceh pada Rabu (11/04) dengan kekuatan 8,5 skala rekhter.
Narasumber yang dihadirkan pada acara ini adalah Drs. Mahadi Bahtera, M.Si (motivator yang juga guru sekolah STIMA Banda Aceh). Beliau memulai bahasannya dengan pengalamannya ketika terkena musibah tsunami pada tahun 2004, dimana pada saat itu ia mengatakan karena ketidakadaan pengalaman dari masyarakat Aceh tentang gempa dan tsunami, maka pada saat itu jalan cukup lengang dan, terjadinya gempa dan tsunami juga pada hari minggu, sehingga semua orang memilih untuk tinggal dan merasa aman di rumah.
Padahal pada saat itu ketika kita mau lari dengan mengendarai mobil atau kereta masih bisa, namun karena ketidak berpengalaman orang banyak menjadi korban. Ketika selesai gempa dan tsunami banyak orang asing yang datang ke Aceh, mereka memperbaiki bangunan yang rusak, mengganti mangunan yang hancur terbawa air, mereka juga melatih orang-orang Aceh tentang bagaimana bila kejadian yang sama berulang. Pemerintah dengan bantuan luar negeri memasang srine sebagai tanda datangnya gempa yang berpotensi tsunami. Dan itu semua selesai dan berhasil dikerjakan, tetapi sebenarnya masyarakat belum teruji, kendati secara teori dapat kita katakan selesai.
Rumah yang dibangun sebagai ganti rumah yang hancur di seputaran pantai di Aceh, kalau kita perhatikan tidak dapat bertahan dari kencangnya air yang melaju dengan kecepatan 800 km perjam sebagaimana yang terjadi pada tahun 2004, pasilitas jalan yang dibangun juga sebenarnya belum bisa menjawab pertanyaan apabila terjadi tsunami.
Kenapa kita berani katakan bahwa bangunan dan jalan yang dibuat tidak menjawab permasalahan, karena berdasarkan amatan narasumber ini, kalaulah gempa yang terjadi pada hari Rabu (11/04) kemaren dibaringi dengan datangnya tsunami, mahasiswa program doktor Fakultas Ekonomi ini yakin korban akan lebih banyak. Bayangkan saja semua orang pada saat itu berada di kantor, anak-anak masih di sekolah-sekolah, pedagang semua berada di pusat kota.
Ketika selesai gempa pertama semua orang berlarian, baik dengan jalan kaki, naik kendaraan roda dua, roda empat dan kendaraan lain yang dimiliki masyarakat. Mereka rata-rata hanya bisa lari dengan jauh 500 meter setelah itu bertemu dengan persimpangan jalan, dan pada saat itu tidak ada yang mau mengalah kerena semua ingin menyelamatkan jiwa masing-masing. Akhirnya semua orang terperangkap dalam kemacetan dan tidak bisa bergerak sama sekali. Bila pada saat itu datang tsinami saya yakin korban akan leih banyak terjadi dibanding tahun 2004 yang lalu.
Permasalahan lain ditambah dengan bunyinya sirine (tanda potensi tsunami), sebenarnya menambah kepanikan semua orang dan dalam keadaan panik seperti ini, walaupun ada pengumuman dan pemberitahuan tidak adanya tsunami, pasti semua orang tidak mau mendengar karena mereka tidak yakin dengan himbauan tersebut.
Karena itu ada dua hal yang memerlukan perhatian untuk pembangunan kota yang mempunya potensi gempa dan tsunami, pertama yang disebut dengan escape building, artinya kekuatan dan bentuk bangunan yang dapat bertahan dari gempa dan tsunami. Kedua adalah escape rute, artinya adanya jalan yang bebas macet ketika terjadinya bencana gempa dan tsunami.
Untuk bangunan yang ada kita belum yakin dengan kekuatannya, sebab bangunan yang ada sebagaimana telah disebutkan adalah sebagai perbaikan dari kerusakan dan penggantian darikehancuran, yang secara kualitas tidak ada jaminan. Karena itu ketika datang gempa tidak ada orang yang berani tinggal di rumah dan ketika datang tsunami juga tidak bisa dijadikan sebagai pelindung.
Sedang untuk escape rute, untuk daerah-daera perkampungan di pinggir pantai telah dibuat, seperti daerah arah Krueng Raya dimana ada jalan-jalam yang diberi petunjuk untuk dilalui ketika terjadi musibah. Hanya saja jalan ini dinuat hanya diperuntukkan ketika terjadi musibah, seharusnya jalan ini dibuat secara besan dan dijadikan jalan umum supaya selalu terjaga dan terawat.
Sebagai seorang guru narasumber juga merasa bahwa kejadian gempa yang terjadi mempunyai efek terhadap proses belajar mengajar, seperti kita lihat pada hari pertama setelah terjadinya gempa, hampir semua sekolah yang ada di Banda Aceh tidak melakukan aktifitas, ini disebabkan karena trauma dengan kejadian yang telah lalu, terlebih kepada guru dan murid yang sudah pernah mengalami musibah tahun 2004.
Kita bisa lihat juga pengaruh musibah gempa terhadap perekonomian masyarakat, pelaut tidak berani mencari ikan dan kalaupun berani, mereka tidak berani meninggalkan keluarga. Pedagang yang setiap hari menumpukan kehidupannya di pusat kota tidak berani berjualan, sehingga secara ekonomi juga merugikan masyarakat. (Drs. Jamhuri, MA)