Panggung Harmoni Gayo Lues atau rangkaian kegiatan “Katakan Gayo dengan Karya” yang digelar di warung pujasera, Blangkejeren, Gayo Lues, 25 Agustus 2012 lalu, menjadi catatan tersendiri bagi saya, baik sebagai salah seorang penitia dan penggagas acara tersebut.
Banyak hikmat dan pengalaman yang saya dapat dari acara tersebut. Apalagi “Katakan Gayo dengan Karya” baru pertama kali digelar di Gayo Lues—dan ternyata mendapat respon hebat dari masyarakat—sehingga pantas kegiatan tersebut menjadi catatan khusus bagi saya, dan pasti, bagi teman-teman yang lain juga.
Salah satu pengalaman “besar” yang saya alami tatkala bertemu dengan seseorang tuna netra di Sekolah Dasar Luar Biasa(SDLB) Mutiara, jalan Desa Leme, Kecamatan Blang Kejeren, 3 km dari pusat Kota kearah Takengon.
Bersama Irul, Adwin, dan Bobi, Senin, (26/8/2012) siang, saat mengembalika alat musik keyboard yang disewa di SDLB tersebut, kami bertemu pengelola SDLB untuk membicarakan administrasi menyewa alat musik.
Belum kelar kami mengkaji soal alat musik, dari sudut salah satu ruangan di sekolah itu mengalun petikan gitar. Spontan kami menuju kearah itu, dan betul saja, seorang pemuda sedang asik bernyanyi sendiri dengan lagu lama. Dangdut. Walau hanya diiringi sebuah gitar, lagunya tetap merdu.
Ali, begitulah nama si pemetik gitar itu. Dia bukan orang biasa, Ali adalah seorang pemuda yang punya bakat di musik,“ Dia baru disini, berasal dari Singkil dan suka bermain gitar,” kata pengelola SDLB memecah keseriusan kami menikmati alunan Ali.
Tapi kami tidak menyapanya, dan setelah urusan selesai, kami beranjak ke mobil bak merah yang dipakai untuk operasional acara. Namun, seketika pula, saya dan Irul turun dari mobil dan menghampiri Ali. Masya Allah. Ali adalah pemuda buta yang hebat.
“Assllamualaikum,” sapaku. “Walaikumsalam,” jawab Ali. Seketika pula Ali menghentikan nyanyiannya sambil mempersilakan kami duduk.
Saya langsung memperkenalkan diri. Dengan ramah Ali melayani kami. Setelah saling mengenal kamipun larut dengan cerita pengalaman Ali memulai bakatnya itu.
“Saya Ali orang Singkil, saya baru satu bulan disini, sebelumnya saya di Banda Aceh,” kata Ali yang masih diposisi memeluk gitar. Tentu, kami pun mengabarkan Ali kalau kami baru menggelar acara Harmoni Gayo Lues di pusat Kota. Ali mengangguk dan rupanya dia pun mengetahui acara tersebut.
“Saya tahu. pengelola yang memberi tahu,” jelas Ali.
Kata Ali, dia baru pindah. Sebelumnya Dia tinggal di di Desa Ladong, Krueng Raya, Banda Aceh. Namun Ali tidak betah tinggal disitu, walau sudah dia jalani selama 2 tahun. Dia memilih pindah ke Gayo Lues lantaran kebebasannya bermusik lebih terjamin, ketimbang di Banda Aceh yang hanya diizinkan bermain musik 2 kali dalam seminggu.
“Alhamdulillah saya senang disini, karena bisa bermain gitar kapan saya mau, dan teman-teman juga ramah, walau saya belum lihai bahasa Gayo,” ungkap Ali.
Tentu, saya ingin mengenal Ali lebih dekat. Penuturannya cukup singkat dan sederhana, selama bermain musik dan bernyanyi, Ali belum pernah mendapatkan panggung yang layak. Kata Ali, kesempatan berada di pentas baru sekali saja, itupun ketika masih di SMA.
Sebelum sempat saya bertanya lebih jauh tentang Ali, termasuk keluarganya, pemuda tuna netra itu mendahului pembicaraan, “Bang, kalau boleh saya mau nyanyi di depan orang banyak, Saya mau berkarya,”,pinta Ali berharap, arah wajahnya bukan ke arah duduk kami, tetapi lurus ke depan.
Permintaan Ali tersebut cukup “menyentuh” karena kami tidak menduga apabila di lembaga Tunanetra ini ada seniman seperti Ali. Sebagai catatan, Ali bukan sekedar mampu memainkan gitar dan bernyanyi, dia juga lihai memainkan Keyboard dan Bass. Itu pula alasan Ali memilih Gayo Lues, karena dia lebih bisa berekpresi tinggal di daerah seribu bukit tersebut.
Pada kesempatan itu kami menyampaikan permohonan maaf kepada Ali lantaran kami tidak menyertakannya pada acara Harmoni Gayo Lues. Namun begitu, pemuda berusia 25 tahun itu tidak kecewa, dan akan terus belajar bermain musik yang sudah dia tekuni sejak umur 14 tahun silam.
Hingga akhirnya obrolan kami terputus lantaran kami harus bergegas untuk menyelesaikan keperluan lainnya. Bagi kami, Ali bukan sekedar “seniman”, tetapi dengan kekurangannya dia telah berjuang hingga akhirnya dia mampu bernyanyi dan bermain musik. Katanya, selain karena bakat, dia juga ingin melakukan yang terbaik untuk Aceh di jalur musik ini.
Setelah kami berlalu, diperjalanan “nasib” Ali turut kami bahas. Persis dilintas sungai Leme, seorang teman mengaku kalau dia malu melihat Ali yang gigih, hingga akhirnya Ali mampu bermusik, kendati tanpa melihat namun mampu menghibur. ”Saya malu sama Ali,” kata Irul kemudian, dan kamipun kembali larut menyelesaikan “tugas” panitia.
Ali tetap akan berkarya, itu janjinya. Semoga!!!.(ari.sobatpadi[at]yahoo.co.id)