Beranikah Pemerintah Aceh Mengelola Pendidikan di Aceh ?

Oleh: Drs. Muhammad Syukri, M.Pd *)

Kembalikan wewenang pengelolaan pendidikan ke provinsi, sebuah judul berita halaman pertama Harian Serambi Indonesia (Jumat, 15/10) yang terkesan sedikit aneh dan membingungkan. Terasa aneh, disamping urusan wajib Pemerintah Provinsi, pendidikan juga menjadi urusan wajib dan kewenangan kabupaten/kota dalam pelaksanaan keistimewaan Aceh. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 17 ayat (2) huruf c UU No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, bahwa kabupaten/kota mempunyai kewenangan dalam “Penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas serta menambah materi muatan lokal sesuai dengan syari’at Islam.”

Membingungkan, karena kolaborasi pengelolaan pendidikan bukan kehendak dari Pemerintah Aceh atau pemerintah kabupaten/kota semata, tetapi perintah undang-undang. Kalaupun Wakil Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh, H. Anas M. Adam, menggulirkan wacana agar pengelolaan pendidikan dikembalikan menjadi wewenang Pemerintah Aceh, tentu harus melalui sebuah judicial review terhadap UU Nomor 11/2006. Makin membingungkan lagi, manakala kewenangan yang diminta hanya sebatas penempatan guru dan kepala sekolah, semata-mata karena alasan penumpukan guru dan kelebihan tenaga guru yang mencapai 14% (hasil penelitian TKP2A).

Pernyataan aneh dan membingungkan tadi, bahkan makin mengherankan publik. Mengapa? Dalam pasal 20 ayat (1) huruf d Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan Pendidikan, cukup jelas menyebutkan kewenangan Pemerintah Aceh untuk: pengangkatan, penempatan, dan pemberhentian kepala sekolah berstatus PNS untuk satuan pendidikan menengah berdasarkan usulan Kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota dan rekomendasi komite sekolah dan pengawas sekolah.

Qanun Aceh bertentangan dengan UU No.11/2006?

Lalu, mengapa kewenangan pengelolaan pendidikan harus dikembalikan? Memangnya pemerintah kabupaten/kota pernah “merebutnya?” Atau, mungkinkah Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 yang memberi kewenangan penuh kepada Pemerintah Aceh untuk pengangkatan, penempatan, dan pemberhentian kepala sekolah berstatus PNS belum aplikatif? Yang pasti, Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2008 (khususnya pasal 20 ayat 1 huruf d) cukup sulit untuk diaplikasikan karena bertentangan dengan pasal 118 ayat (3) UU Nomor 11 Tahun 2006 bahwa: pengelolaan manajemen PNS (penetapan formasi, pengadaan, pengangkatan, pemindahan, pemberhentian, penetapan pensiun, gaji, tunjangan, kesejahteraan, hak dan kewajiban, kedudukan hukum, pengembangan kompetensi dan pengendalian jumlah) dapat diserahkan pelaksanaannya kepada Pemerintah Aceh dan kabupaten/kota.

Sangat jelas bahwa pelaksanaan pengelolaan manajemen PNS berada di Pemerintah Aceh bagi mereka yang bertugas di provinsi dan kabupaten/kota bagi PNS yang bertugas di daerah. Kemudian, mayoritas manajemen sekolah-sekolah negeri yang terdapat di Provinsi Aceh (oleh undang-undang) ditetapkan menjadi tanggung jawab kabupaten/kota, termasuk tenaga guru (PNS) yang digaji melalui APBK (pasal 123 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2006). Dalam hal ini, bupati/walikota sebagai pembina kepegawaian di wilayahnya, tentu saja bertanggungjawab mengelola manajemen PNS yang gajinya bersumber dari APBK (termasuk guru yang merupakan PNS dijajaran pemerintah kabupaten/kota). Salah satu tanggungjawab bupati/walikota adalah mengangkat seorang guru sebagai kepala sekolah atau memindahkan seorang guru dalam wilayah kabupaten/kota.

Kembali kepada konteks mengembalikan wewenang pengelolaan pendidikan kepada Pemerintah Aceh (Provinsi), boleh jadi sebuah wacana yang brilian dalam rangka mendongkrak kualitas pendidikan Aceh. Seharusnya, wewenang yang minta dikembalikan bukan hanya sebatas pegangkatan, penempatan, dan pemberhentian guru/kepala sekolah (Serambi, 15/10) tetapi akan sangat bijaksana jika penggajian dan tunjangan guru juga menjadi tanggung jawab penuh Pemerintah Aceh. Pada gilirannya, sekolah atau satuan pendidikan akan menjadi UPTD dari Dinas Pendidikan Aceh yang tentu saja sangat mudah dikendalikan. Sebaliknya, dalam posisi seperti ini, hubungan sekolah dengan kabupaten/kota nantinya hanya bersifat koordinasi perencanaan.

Durian Runtuh

Dengan komposisi seperti itu, sangat mungkin kompetensi guru (tenaga pendidik) dan kualitas lulusan dapat dikontrol oleh Dinas Pendidikan Aceh.   Hal yang paling menggembirakan, kesejahteraan guru akan meningkat drastis dibandingkan PNS lain yang bertugas di kabupaten/kota. Sebab, dengan pengalihan kewenangan tersebut, otomatis tenaga guru sudah menjadi PNS dijajaran Pemerintah Aceh sehingga tunjangan prestasi kerjanya pasti akan disesuaikan dengan tunjangan yang diterima para PNS dijajaran Pemerintah Aceh saat ini.  Misalnya, untuk PNS dengan golongan IV (non struktural) saja dapat memperoleh tunjangan prestasi kerja (tunjangan khusus) sebesar Rp. 3 juta sebulan.

Demikian pula halnya dengan pemerintah kabupaten/kota, kebijakan mengembalikan wewenang pengelolaan pendidikan  kepada Pemerintah Aceh dapat diibaratkan sebagai “durian runtuh.” Beban dan kewajiban menyediakan anggaran dalam APBK untuk operasional sekolah dan gaji guru, pada gilirannya akan menjadi beban Pemerintah Aceh. Kabupaten/kota seperti keluar dari himpitan tanggungjawab anggaran. Beratnya beban kabupaten/kota dapat dilihat dari berita media massa akhir-akhir ini, disinyalir beberapa kabupaten/kota nyaris mengalami “kebangkrutan” karena ketidakmampuannya memenuhi kebutuhan dana segar.

Tragedi ancaman “kebangkrutan” ini antara lain disebabkan karena pemerintah kabupaten/kota harus memenuhi kewajibannya untuk menyediakan dana operasional sekolah serta gaji dan tunjangan guru yang meliputi hampir 80% dari PNS di daerahnya (tenaga guru seluruh Aceh berjumlah 114.465 orang, Serambi 20/10). Singkatnya, hampir 2/3 dari Dana Alokasi Umum (DAU) harus dialokasikan untuk belanja tidak langsung berupa gaji dan tunjangan guru. Oleh karena itu, beberapa kabupaten/kota di Aceh belum mampu menyediakan tunjangan prestasi kerja untuk PNS-nya, termasuk untuk tenaga guru. Ketidakmerataan tunjangan prestasi kerja menimbulkan kekecewaan yang bermuara kepada menurunnya etos kerja. Lebih-lebih saat seorang guru mendengar cerita tambahan penghasilan teman-teman PNS yang bekerja di jajaran Pemerintah Aceh, tentu makin menyayat hati mereka.

Tanpa disadari, kondisi ini makin memperlebar gap antar PNS –bisa bermuara kepada kecemburuan– misalnya antara PNS kabupaten/kota yang memperoleh tunjangan prestasi kerja dengan PNS kabupaten/kota yang belum memperoleh tunjangan prestasi kerja, paling ironis adalah gap dengan PNS di jajaran Pemerintah Aceh yang memperoleh tunjangan prestasi kerja cukup besar. Padahal, semua pihak sangat memahami bahwa guru yang bertugas di kabupaten/kota merupakan ujung tombak keberhasilan Pemerintah Aceh dalam mendongkrak kualitas pendidikan secara keseluruhan. Pertanyaannya, siapkah Pemerintah Aceh mengambil resiko ini? Wallahualambissawab.


* )Alumnus PPs IKIP Jakarta,  tinggal di Takengon.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. Menanggapi tulisan saudara Drs. Muhammad Syukri,M.Pd. saya fikir yang paling penting adalah beranikah pemerintah aceh tidak mempolitisir pendidikan di aceh,terutama menyangkut 8 standar pendidikan. Kasus yang terjadi dibeberapa daerah, ada guru yang reputasinya sanngat jelek dalam rentang beberapa tahun dapat diangkat menjadi Camat dan pejabat lainnya termasuk menjadi kepala sekolah.