Oleh : ALFAZRI GAYO
SABAR, tersentak dari lamunannya. Ketika Item datang menjenguknya. “Gawat Sabar, seni pelisi nge gabuk munyapati data. Pang Suku nge iperikse. (Gawat Sabar, sekarang polisi sibuk mengumpulkan bahan. Pang Suku Sudah diperiksa,” sebut Item yang terlihat agak sedikit pucat.
Sabar belum memberikan reaksi. Pemikirannya menerawang, dia teringat dengan kata-kata Pang Suku, dengan proposalnya menjual berawang.
“Ko tenang adehne. Mehne nguk kite lagu. Berawang ni kite juwel (Kamu tenang aja, semuanya bisa diatur. Berawang ini kita jual,” kata-kata Pang Suku itu, masih terbayang di memori Sabar.
Dalam lamunannya, Sabar disentakkan oleh kata-kata Item : ” Ko orom ke? manea gereke kope orom. (Kamu ikutkan? Kemarin tu tidakkah kamu ikut)”.
“Yah pongni, aku selo orom. Kejebwe mane aku orom mubantue.”(Yah kawanni, aku mana ikut. Sebentar cuma aku membantunya.”
“Ngeke bacako berita? Persuelen berawang seni nge ipenter pelisi. (Sudah baca berita. Persoalan berawang sekarang lagi sisenter polisi),” sebut Item yang menghisap rokok tembakau sigaretnya. Asapnya mengepul, memenuhi sisi-sisi daun kopi, tempat Sabar dan Item duduk melepaskan lelah.
“Te aku selo mubaca berita, buetkupe man ongkosen,(Mana mungkin kubaca berita,kerjaku juga buruh upahan),” sebut Sabar sambil bangun memegang gagang parang, kembali melanjutkan penebesen gulma di kebun kopi milik Aman Sabardi.
Malamnya, Sabar tak bisa tidur. Matanya sulit dipejamkan. Terbayang apa yang sudah dilakukannya dalam membantu “penjualan berawang.”
Lelaki lajang ini teringat bagaimana Pang Suku menggapai obsesinya dalam “menjual berawang” di negeri Tung-Tung Kapur, negeri tempat dia dilahirkan dan dibesarkan. Di sana ada sebuah kolam besar yang dikelilingi gunung. Airnya bening, ikannya jinak-jinak.
Pang Suku temannya, muncul menjadi komando dalam berbagai kegiatan. Sebenarnya Pang Suku, bukanlahlah panglima yang berani dan juga tidak terlalu pintar. Namun dia membesar-besarkan dirinya untuk panglima dan suka memerintah, kadang kala sering marah-marah.
Namun karena Sabar masih lajang dan belum memiliki pengalaman, selama ini dia hanya berkebun kopi, apa yang diajak Pang Suku diturutinya. Namun ditengah perjalanan Sabar mundur, setelah mengetahui obsesi Pang Suku yang nekat “menjual” berawang.
“Rejeki ni kite bagi. Pertama we kite osah ku pakeni, kite kini teken, si kedue sana neh kite osah pakea nekenne, kite adehne si neken,( rejeki ini kita bagi. Pertama aja kita kasih, kita suruh teken. Yang kedua jangan lagi dikasih, kita aja yang teken),” sebut Pang Suku meyakinkan Sabar. Dengan wajah polos dan lugu, Sabar menjadi ajudan Pang.
Sabar hanya diberi upah untuk membantu kegiatan. Dia tidak tahu apa-apa dengan program Pang Suku, yang sukses dengan penjualan berawang. Saat itu berbagai kegiatan dilaksanakan. Bahkan Sabar masih teringat bagaimana merdunya suara suling mengalun diantara riak-riak kecil berawang, tempat dilangsungkan kegiatan.
Kini menurut keterangan Item, para upes sudah mulai mengutak-atik kegiatan Pang dengan gebyar berawangnya. Sabar bingung, tidak tahu harus bersikap bagaimana. Dia hanya mampu berdoa.
“Ya Rabbi Tuhenku, ilapangko dene sebetku Pang Suku. Selisih mara, buge jarak ari siteru,(Ya Rabbi tuhanku, lapangkanlah jalan sahabatku Pang Suku. Jauh dari bahaya dan jauh dari petaka)” sepenggal bait doa diungkap Sabar dengan polos. Bahkan saat sujud dalam shalatnya, Sabar sempat bermunajat kepada Ilahi.
“Ke ini takdirmu ya Tuhenku, keta itetah dene si jerohe, buge ken pelejeren. Maafko ya rabbi kesalahan kami.” (Kalau ini takdirmu tuhanku, tunjukilah jalan yang baik, semoga untuk pelajaran. Maafkan kesalahan kami ya Rabbi)
Saat merebahkan tubuhnya dipembaringan, Sabar tetap belum nyaman, terbayang di benaknya, bagaimana gesitnya Pang Suku mengelola “penjualan berawang”.
Pelan-pelan matanya terasa berat, ingin terlelap. Namun tiba-tiba dia tersentak. Nuuu Pang, honor ku kupen gere ber ko ilen( Nuu Pang, honorku juga belum kamu bayar). Suara hati Sabar itu cepat diantisipasinya. Hufffffffsssss, aku jema kucak ken sana ken inarui.(Huuuufsss aku orang kecil, buat apa diperpanjang)
“Nge ku ihklasan Pang ke bagen kupe gere osahko. Buge Allah munosah jelen si jeroh kenko pang. Buge penjuelen berawang ni gere ken mara,(Sudah kuihlaskan Pang kalau bagianku juga tidak kamu berikan. Semoga Allah member jalan terbaikmu untukmu. Semoga penjualan berawang tidak membawa petaka),” suara hati Sabar membuatnya damai dan nyaris terlelap.
Tiba-tiba dia dengar seperti ada yang membisikannya. “ Berawang musane sana sijuel”(Berawang berhantu kenapa dijual). Sabar kembali tersentak dengan bisikan halus itu. Kemudian dia berpikir mengapa dia tidak menjadi pawang sane agar bisa menolong Pang dari rulah empuni tempat (amukan pemilik tempat). (Fajri Gayo)
* Urang Gayo Tinggal di Bener Meriah
Sambungan kisah : Berinang ku Tangkir