“Jalan hidup saya sedikit rumit” kata Fauzan Azima memulai ceritanya kepada Lintas Gayo, Jum’at (6/4/2011). Lelaki berperawakan tambun berkulit putih ini lahir pada tanggal, 22 Mei 1972 di Panji Mulia II, Kecamatan Bukit, Bener Meriah dari Ibu bernama Rusmawati binti Lahat dan ayah Sulaiman bin Ismail (sekarang telah Almarhum). Dia adalah anak sulung dari enam bersaudara.
Ama Gajah, panggilan populer Fauzan Azima selama bergerilya, sekolah di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) di Pondok Sayur, dan Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Simpang Tiga Redelong di Bener Meriah. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah Negeri (MAN) I Takengon, Aceh Tengah.
Semasa di pendidikan di MIN, MTsN dan MAN sosok yang pernah menjadi orang nomor satu dijajaran Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Wilayah Linge ini merupakan siswa terbilang cerdas. Malah saat di MTsN pernah menjadi juru bicara tim Cerdas Cermat bermateri Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) mewakili sekolah sekecamatan Bukit dan berlanjut ke pertandingan sekabupaten Aceh Tengah.
Di MAN, Fauzan dikenal luas oleh rekan-rekan sekolahnya. Fauzan sosok humoris dan sedikit nakal. Saat itu kerap terdengar dia menyanyikan lagu Iwan Fals dan Doel Sumbang dengan iringan gitar seadanya, alias asal bunyi.
Yang sedikit mengherankan, saat di MTsN dan MAN, Fauzan juga dikenal sebagai anak yang penakut di kegelapan. Tapi mengapa tiba-tiba menjadi pejuang GAM yang kerap berada di hutan belantara.
Hanya setahun di MAN 1 Takengon, Fauzan kemudian melanjutkan sekolah ke MAN 3 Jakarta, tamat tahun 1991. Setelah tamat sekolah tidak langsung kuliah, dia berkelana di daerah pantai Sungai Lokan dan Sungai Itik di Jambi. Daerah tersebut adalah daerah tempat penyeludupan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) illegal ke Malaysia.
Pada tahun 1992, Fauzan kuliah Jurnalistik, Fakultas komunikasi pada Institut Ilmu-Ilmu Sosial dan Ilmu-Ilmu Politik (IISIP) Jakarta. Selama kuliah aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Untuk Latihan Kepemimpinan di HMI langsung dibina oleh MS Ka’ban (mantan Menteri Kehutanan RI), Eggy Sudjana (Ketua Serikat Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia) dan Jumhur Lamtong (sekarang Anggota DPR RI).
Fauzan juga membantu Yayasan Arrisalah bersama mahasiswa-mahasiswa Teknik Mesin Universitas Indonesia (UI) di Jakarta. Yayasan Arrisalah adalah salah satu organisasi cikal bakal Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Juga aktif sebagai staf ahli pada Bina Lingkungan Hidup Indonesia (BLHI). Di samping kuliah dan berorganisasi juga magang dan bekerja pada Harian Berita Buana dan Koran Inti Jaya. Juga pernah bersama-sama aktifis membuat majalah Solidaritas Masyarakat Untuk Revolusi (SOMASI) di Padang, Sumatera Barat.
Selama menjadi aktivis dan wartawan pada masa rezim Soeharto berkuasa pernah juga ditangkap dan ditahan di Polsek Menteng, Jakarta Pusat karena mengorganisir masyarakat Sawangan, Bogor, Jawa Barat berdemo pada kantor Bank Internasional Indonesia (BII) di Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Pasalnya tanah mereka dirampas oleh management PT. Cisadane Perdana, anak perusahaan Bank BII milik taipan Eka Tjipta Wijaya (Oe Ek Chong). Beruntung pada waktu itu, Kapolseknya adalah Kapten Firman Santia Budi, anak Sulung Wakil Presiden RI, Jenderal (Pur) Tri Sutrisno yang sedang melakukan “tebar pesona” karena berharap dipilih menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto. “Jadi Tri Sutrisno dan keluarganya harus berbaik-baik dengan aktivis” katanya dengan mimik serius, “Dan akhirnya saya dibebaskan walaupun di-BAP dengan pasal berlapis.”
Pada kerusuhan Mei 1998, Fauzan yang pertama bersama-sama tokoh muda (Alm) Agus Miftach, Andi Ladu Manoppo, dr. Khoedaiffah Khoddah, Rahmad Hidayat , Amdi Hamdani, Hendrik Isnaini berdemo di Gedung DPR/MPR RI Senayan Jakarta untuk menyampaikan pernyataan terbuka supaya Soeharto turun dan diadili serta segera laksanakan Pemilu. Akhirnya mereka diterima langsung oleh Ketua DPR/MPR, H. Harmoko, juga didampingi H. Loekman (anggota DPR/MPR RI asal Tanoh Gayo) dan beberapa anggota DPR/MPR RI lainnya. Harmoko berjanji akan menemui dan meminta Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden RI. Seminggu setelah pertemuan itu, H. Harmoko mengumumkan kepada media supaya Soeharto lengser keprabon.
Setelah reformasi Fauzan bersama-sama Martin Sirait, SH, membentuk LSM Komite Independen Penegakan Hak Masyarakat (KIPMAS) di kantor KOSGORO, Menteng, Jakarta Pusat. Martin Sirait adalah jema’at Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan juga menentang PT. Inti Indorayon Utama (PT. IIU sekarang jadi PT. Toba Pulp) yang memproduksi pulp (bahan baku kertas) milik Soekanto Tanoto.
Pasca kejatuhan rezim Soeharto, gerakan kemerdekaan di sejumlah daerah lumpuh total dan mulai menggeliat dan berpeluang besar untuk bangkit pada masa reformasi. Organisasi Papua Merdeka (OPM), Republik Maluku Selatan (RMS), Pretilin di Timor Leste dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) mulai menyusun strategi untuk menentang, merdeka dan lepas dari Republik Indonesia (RI) secara terbuka. Orang-orang Aceh di Medan, Jakarta, Bandung, Jogjakarta dan Surabaya mulai menggalang pencabutan status Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM) dan menuntut segera mengadakan referendum untuk Aceh dengan dua opsi ; Menerima otonomi atau merdeka.
Ideologi GAM telah masuk ke relung hati sebagian besar rakyat Aceh melalui kampanye-kampanye terbuka dan penyebaran buku Wali Negara, Teungku Hasan Muhammad di Tiro, “Pekara dan Alasan Aceh Merdeka.” Fauzan Azima sendiri sudah bertemu dengan orang-orang GAM di Jakarta awal tahun 1990-an yang baru selesai latihan di Libya, di antaranya : Teungku Sadri (sudah almarhum), Teungku Kaswin, dan Ligadinsyah. “Ligadinsyah sudah ditangkap waktu itu, tapi dia di bawah pengawasan Kopassus” kata Fauzan Azima.
Fauzan Azima resmi menjadi anggota GAM tahun 1998 setelah dibai’at oleh Teungku Ilham Ilyas Leubee di Jakarta. Baru pada akhir 1999 dia pulang ke Aceh dengan tugas khusus, yaitu minta restu dari orang-orang berpengaruh dan merekrut anak-anak muda untuk dijadikan Teuntra Negara Aceh (TNA). Sebagai kamuflase kepulangan ke Aceh beliau membawa bendera LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Dengan begitu mudah bagi Fauzan berhubungan dengan semua kalangan, terutama kalangan eksekutif dan legislatif di Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues, Aceh Tenggara dan Tanah Karo (Ke-empat daerah tersebut disebut Wilayah Linge). Bahkan dia bersama H. Misradi (sekarang anggota DPRK Bener Meriah) berhasil mengatur pertemuan Teungku Ilham Ilyas Leubee dengan Bupati Aceh Tengah, Mustafa Tamy di Pendopo Bupati Aceh Tengah, Ketua dan anggota DPRD Aceh Tengah serta kepala-kepala dinas untuk membantu pendanaan pergerakan GAM di Wilayah Linge.
Pada akhir tahun 2002 Panglima TNA, Teungku Muzakkir Manaf mengangkat Fauzan Azima sebagai Panglima TNA Wilayah Linge menggantikan Teungku Ilham Ilyas Leubee yang sedang sakit dan perlu perawatan intensif . “Sebelumnya jabatan saya adalah Wakil Panglima dan juru bicara GAM Wilayah Linge” tambahnya.
Ketika Darurat Militer Mei 2003 diberlakukan di Aceh beliau lebih banyak berada di daerah Samarkilang, Kecamatan Syiah Utama dan Bur Kul, Kecamatan Permata. “Mungkin karena itu pula saat Pilkada 2006 saya sebagai calon bupati di Bener Meriah pada dua kecamatan itu saya menang, sedangkan di lain kecamatan saya kalah karena pada masa konflik saya tidak berada di sana” katanya tersenyum.
Dari perawakan serta rajin beribadat, banyak kalangan tidak percaya jika Fauzan itu bisa memainkan senjata, apalagi terlibat pertempuran. “Sebagai panglima, tentu harus bisa menggunakan senjata jenis apapun yang ada dipasukan saya. Dan sebelum dipakai, tentu saya dulu yang mencobanya,” kata Fauzan sambil tertawa.
Seingatnya, dia pernah bertempur sebanyak 32 kali disejumlah wilayah di Aceh, seperti di Bintang Aceh Tengah, Samar Kilang dan di Banda Aceh yakni di Ujong Panco.
Fauzan juga sempat diisukan punya ilmu kebal dan bisa menghilang sehingga selalu luput dari kejaran TNI/Polri saat itu. Namun dia menampik, “Allah yang maha Kuasa yang berkehendak sehingga saya masih ada dan sehat seperti sekarang ini. Saya tidak punya doa kebal atau cara menghilangkan diri,” ujarnya sambil tertawa.
Raut muka Fauzan tiba-tiba berubah. “Anggota saya 80 orang syahid dan sejumlah diantaranya didepan saya,” kenang Fauzan sambil menyebut beberapa nama, Gerhana syahid di Bintang Aceh Tengah. Lalu Aman Dewi, Aman Nanang dan Aka Sulaila (perempuan) syahid di Samar Kilang.
Terkait perlengkapan Teknologi Informasi (TI) saat awal-awal pergerakan GAM, Fauzan mengklaim GAM lebih unggul dan canggih. “Kita punya senjata dan alat telekomunikasi yang lebih baik dari TNI dan Polri waktu itu sehingga sangat memudahkan berkoordinasi baik internal maupun eksternal seperti dengan pihak media,” ujarnya.
“Syukurlah, Aceh telah damai dan sudah ada Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Sekarang perlu selangkah lagi memperjuangkan, bagaimana emplementasi undang-undang tersebut supaya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan kesejahteraan rakyat Aceh” kata Fauzan Azima berpendapat. “Semangat dari UUPA adalah seluruh pengelolaan Sumber Daya Alam Aceh dikembalikan kepada Aceh, termasuk pengelolaan hutan Aceh” imbuhnya.
Badan Pengelola Kawasan Ekosistem Leuser (BPKEL) merupakan perwujudan UUPA. Kebetulah Fauzan Azima dipercaya oleh Gubernur Irwandi Yusuf untuk menakhodai badan bentukan Mustafa Abu Bakar (sekarang Menteri BUMN) tersebut.
Karena pernah sebagai pekerja media, Lintas Gayo mencoba meminta tanggapannya terkait pemberitaan di Aceh saat ini. “Mungkin karena banyaknya kasus korupsi dan mulai memanasnya suasana politik menjelang Pilkada sehingga pemberitaan di Aceh cenderung lebih kearah politik,” kata Fauzan yang disetiap meneguk air selalu membaca Basmallah ini.
Padahal persoalan lingkungan jauh lebih penting untuk disosialisasikan melalui bantuan rekan-rekan pers. “Saya perhatikan jika ada demo berbau politik pasti ramai diliput media. Tapi saat ada aksi lingkungan justru sebaliknya,” sindir Fauzan. Ribuan hektar tutupan hutan sudah tidak ada lagi, tapi kita seolah tidak resah sama sekali, timpalnya.
Lalu secara pribadi apa yang diinginkan Fauzan. “Banyak permintaan agar saya terlibat dalam kancah politik, tapi saya sudah bersikukuh untuk tidak berpolitik. Yang saya ingin capai bagaimana menanggalkan ego-ego,” ujar Fauzan
“Nah, begitulah kisah cerita tentang saya,” katanya tersenyum, “Memang, tidak sempurna hidup kalau tidak pernah perang dan dipenjara” selorohnya sambil tertawa dan mengingatkan agar jika dirinya terlambat jangan ditunggu, dan jika hilang tidak perlu dicari. (Khalisuddin)
Tidak semua orang merasa sempurna, karena ada yang habis perang tertangkap dan dipenjara melah makin menderita. Kasus yang anda alami sangat kasuistik dan tidak bisa diterapkan ke semua orang yang seperjuangan
salut, zan