Oleh Win Wan Nur*
Ketika kita berbicara tentang dunia perpolitikan di Aceh Tengah maka kita tidak bisa lepas masalah ini dari fakta persaingan antara dua kelompok masyarakat suku Gayo yang mendiami wilayah Lut, yang dikenal sebagai persaingan Uken – Toa.
Oleh beberapa antropolog, persaingan ini diyakini sudah ada sebelum masa kolonial, lalu kemudian diperuncing oleh pemerintah kolonial Belanda terbawa sampai ke masa kemerdekaan dan terus eksis sampai hari ini.
Persaingan ini untamanya terjadi antara dua kelompok suku Gayo dari ‘belah’ Ciq yang berpusat di Bebesen dengan ‘belah’ Bukit yang berpusat di Kebayaken.
Karena tradisi yang berkembang di Gayo adalah tradisi lisan, bukan tulisan. Seperti apa tepatnya peta persaingan antara dua kelompok suku Gayo ini sebelum kedatangan Belanda, tidak begitu jelas. Cuma dari cerita lisan yang kita dengar turun temurun, bisa dipastikan perseteruan itu sudah ada. Indikasi ini bisa dilihat misalnya dari kisah penentuan batas teritorial bukit dan Ciq yang menggunakan kuda yang membawa bajak yang ditutup matanya, sebab kedua pihak tidak saling mempercayai.
Pada masa itu, pihak mana yang lebih mendominasi secara politik dan ekonomi di antara kedua belah itu, tidak begitu jelas. Tapi pasca kedatangan Belanda, belah bukit mulai mendominasi persaingan, baik secara politik maupun ekonomi.
Dominasi Bukit ini berkaitan erat dengan keputusan Belanda untuk mendirikan pusat pemerintahan di wilayah milik Bukit.
Takengen (Takengon dalam aksen Belanda Versi Hurgronje), wilayah teritorial Bukit yang dipilih oleh Belanda ini sebagai pusat pemerintahannya ini kemudian berkembang pesat dan segera menjadi pusat ekonomi paling penting di seluruh dataran tinggi Gayo. Perkembangan ini lantas menarik minat para pendatang dari luar dataran tinggi Gayo untuk membuka usaha di kota yang baru berkembang ini. Maka Takengen pun mulai didatangi oleh pedagang asal Aceh, Minang sampai Cina yang belakangan tinggal menetap di kota ini.
Kedatangan para pedagang dari luar Tanoh Gayo ini membuat kondisi sosiologis masyarakat Bukit yang dulunya Homogen berubah menjadi lebih plural. Persentuhan budaya dan pergaulan dengan para pendatang ini dengan cepat mengubah sosiokultural orang bukit yang meliputi cara pandang dan karakter mental yang dulunya tradisional menjadi lebih modern dan kosmopolit. Penduduk Takengen juga bertambah dengan cepat, dari 13.000 orang pada tahun 1917 menjadi 32.000 pada tahun 1940. Bandingkan dengan Isaq, ‘kota’ terbesar di Gayo Deret yang dalam masa 100 tahun, antara tahun 1881 sampai 1980 jumlah penduduknya hanya bertambah 27 % (Bowen : 1991).
Sementara orang Ciq yang lebih suka mengusahakan kebun mereka, semakin menjauhkan diri dari Kota. Dari perkampungan utama Ciq di Bebesen mereka menyebar ke sepanjang aliran sungai Wih Ni Takengen, dari sinilah awal mula munculnya ungkapan ‘Uken’ (hulu) dan ‘Toa’ (Hilir).
Orang-orang Toa ini umumnya mengusahakan perkebunan Kopi yang dibawa oleh Belanda ke tanoh Gayo, Raja Ciq juga menguasai hutan Pinus dan menjual getahnya kepada Belanda, karena itulah Raja Ciq terakhir dikenal dengan nama Reje Uyem (Raja Pinus).
Sementara itu, di Takengen. Untuk mendukung pemerintahannya, di wilayah yang mereka pilih, Belanda mendirikan kantor-kantor pemerintahan dan juga sekolah.
Pendidikan modern serta pergaulan dengan pendatang membuat orang-orang Gayo dari ‘belah’ Bukit memiliki sikap yang lebih moderat dan lebih terbuka terhadap informasi dan pengaruh dari luar. Sebaliknya orang-orang Ciq, cenderung jadi lebih konservatif dalam segala hal, meliputi pendidikan dan isu sosial lain termasuk agama. Sikap orang Ciq yang terbilang konservatif dalam hal agama ini dapat kita lihat sampai hari ini. Orang Ciq umumnya adalah penganut Islam dengan paham lama (kaum Tue) sedangkan orang Bukit banyak yang menerima paham baru (Kaum Mude) melalui organisasi Muhammadiyah yang diperkenalkan oleh para pendatang dari Minangkabau (menariknya, warga Aceh pesisir memiliki paham keagamaan yang cenderung sama dengan orang Ciq).
Perbedaan karakter antara orang Bukit dan orang Ciq ini, masih bisa kita rasakan sampai hari ini. Dan ini tidak lagi terbatas pada bidang pendidikan dan agama saja, tapi juga sikap terhadap kesetaraan gender. Orang Uken yang lebih terbuka, umumnya lebih bisa menerima kesetaraan relasi antara laki-laki dan perempuan. Sementara orang Ciq, rata-rata masih cenderung konservatif. Karena itulah jika terjadi perkawinan antar kedua ‘belah’ini, biasanya situasinya lebih mudah jika pihak laki-laki yang berasal dari ‘Uken’, sebab dalam hubungan seperti ini pihak perempuan yang asal Toa umumnya menurut saja apa kata pihak laki-laki, sehingga tidak akan timbul konflik. Tapi jika yang terjadi adalah sebaliknya, pihak perempuan yang berasal dari ‘Uken’, tidak jarang akan terjadi benturan nilai antara si perempuan Uken yang cenderung moderat dengan pihak keluarga laki-laki yang cenderung konservatif dalam isu gender.
Isu ras juga menjadi bumbu lain dalam persaingan Uken – Toa in. Oleh orang Uken, orang Toa yang konon merupakan keturunan dari orang Batak yang dikenal dengan nama Batak 27 yang datang ke Gayo, dianggap bukan orang Gayo asli. (Isu ini kembali berhembus saat akan dilakukan tes DNA yang sudah berusia ribuan Tahun yang kemungkinan masih merupakan ras negroid)
Bagi orang Toa sendiri, dalam waktu sangat lama, pengasosiasian mereka dengan Suku Batak bukanlah sesuatu yang membanggakan. Bahkan sampai pada tahun 1980-an, isu Batak 27 ini menjadi isu yang sangat sensitif di Gayo dan tidak akan berani diucapkan sembarangan karena berpotensi menimbulkan pertumpahan darah bahkan perang antar kampung.
Saat itu, isu Batak 27 ini menjadi begitu sensitif dikarenakan orang Gayo, baik Uken maupun Toa sebagaimana semua penduduk asli yang ada di Aceh adalah penganut Islam yang terbilang fanatik. Sementara Batak, meskipun kenyataannya tidak sedikit yang beragama Islam, tapi sebelum televisi menghiasi ruang keluarga di rumah-rumah orang Gayo. Rata-rata orang Gayo berpikir bahwa orang Batak sama dengan bukan Islam. Jadi mengatakan orang Toa sebagai Batak 27, oleh orang Toa dianggap sebagai penghinaan sebab itu sama saja dengan mengatakan mereka bukan ISLAM.
Bagi masyarakat suku-suku asli apapun yang ada di Aceh, pengasosian dengan BUKAN ISLAM seperti ini adalah sebuah penghinaan tingkat pertama.
Baru belakangan ketika informasi menjadi lebih terbuka, pengetahuan orang Gayo tentang suku Batak menjadi lebih berkembang. Bahwa kemudian diketahui tidak sedikit orang Batak yang beragama Islam dan juga begitu banyak orang Batak yang pencapaiannya sangat membanggakan di tingkat nasional. Isu Batak 27 ini menjadi tidak terlalu sensitif, bahkan sekarang mulai ada orang Toa yang justru merasa bangga dengan akar Batak-nya.
Perubahan kondisi sosiologis orang Gayo pasca kedatangan Belanda ini juga membuat cara pandang orang Gayo terhadap kampung asal berubah. Orang Uken yang hidup dalam kondisi yang lebih kosmopolit cenderung melepaskan diri dari keterikatan pada kampung asal. Kampung bagi orang Uken adalah tempat berdomisili saat ini, jadi meskipun aslinya dari Kebayakan, tapi saat sudah pindah ke Baleatu, orang Uken cenderung menganggap Baleatu sebagai kampungnya. Sementara orang Toa, tetap mempertahankan keterikatan yang kuat terhadap kampung asal dan tetap mengasosikan diri dengan Bebesen.
Kondisi seperti ini membuat orang toa memiliki sikap kekerabatan yang lebih erat dibanding orang Uken. Keadaan seperti ini bahkan bisa kita saksikan sampai di perantauan, entah itu di Banda Aceh, Medan bahkan Jakarta. Hubungan antara sesama orang Toa, jauh lebih erat dibandingkan hubungan sesama orang Uken.
***
Dampak lain dari akses yang lebih dekat ke dunia pendidikan dan kondisi sosiokultural orang Bukit pada masa itu adalah terciptanya perbedaan cara pandang terhadap pendidikan pada masa itu. Perbedaan ini membuat lebih banyak orang Bukit terdidik (dalam pengertian modern) dibanding orang Ciq.
Kondisi seperti ini kemudian berimbas kepada dominasi orang Bukit dalam birokrasi. Situasi ini dimulai ketika Belanda memerlukan tenaga kerja kantoran dan profesi-profesi yang mensyaratkan kemampuan baca tulis (menggunakan huruf latin) otomatis orang Bukit lah yang mereka pekerjakan.
Keadaan ini berlanjut saat Indonesia merdeka. Di masa pergerakan, pergerakan di Tanoh Gayo dipimpin oleh Abdul Wahab, putra Reje Gunung terakhir (salah seorang raja di wilayah Bukit) yang memimpin PNI. Abdul Wahab, belakangan menjadi bupati pertama Aceh Tengah yang sekarang sudah terpecah menjadi empat kabupaten.
Sejak saat itu sampai selama kabupaten Aceh Tengah berdiri, yang menjadi Bupati di kabupaten ini hampir selalu orang Bukit (Uken), orang Ciq (Toa) selalu terpinggirkan. Kalaupun bukan orang Uken yang menjadi Bupati, maka itu adalah orang Gayo deret ( Buchari Isaq dan Mustafa M Tamy) atau sekalian orang Aceh pesisir ( M. Jamil dan TM Joesoef Zainoel).
Sebagaimana sistem birokrasi dan pemerintahan di mana pun di Indonesia yang kental dengan aroma KKN, Aceh Tengah tentu tidak terkecuali. Bahkan dalam masa orde baru KKN, sudah menjadi keseharian sampai-sampai KKN dianggap sebagai sesuatu yang normal. Pada masa itu masyarakat sudah menganggap normal, kalau menjadi pegawai negeri, modal kemampuan sang calon sendiri sama sekali tidak cukup. Adalah normal kalau untuk menjadi pegawai negeri, kita harus punya orang dalam, tanpa itu sepintar apapun sang calon jangan harap bisa lolos diterima.
Maka dalam suasana seperti itu, ketika pemerintahan dikuasai oleh orang Uken, budaya KKN yang kental membuat jabatan pemerintahan, kontraktor rekanan pemerintah sampai jatah pegawai negeri di kabupaten ini hampir sepenuhnya dikuasai orang Uken.
Situasi yang tentu saja membuat orang Toa tidak nyaman dan merasa diperlakukan tidak adil oleh orang Uken.
Situasi tidak mengenakkan ini sedikit membaik bagi orang Toa di masa pemerintahan Mustafa M Tamy, hal ini terjadi karena keberadaan istri bupati M Tamy yang orang Kemili yang secara kultural termasuk ke dalam kelompok Toa. Dalam suasana seperti ini kontraktor yang berasal dari kelompok Toa sedikit demi sedikit mulai mendapatkan peluang untuk mengerjakan proyek pemerintah, yang selama ini selalu dikuasai oleh orang Uken.
Saat itu, kalangan kontraktor di Takengen mengenal luas seorang makelar proyek yang sangat handal dalam memuluskan pemenangan proyek bagi klien yang dia pegang. Si makelar proyek ini adalah adik ipar Bupati Mustafa M. Tamy.
Latar belakang kulturalnya yang merupakan kelompok Toa, membuat si makelar proyek ini berteman dekat dengan para rekanan proyek yang berasal dari belah Toa. Berdasarkan hubungan baik dengan si makelar proyek ini, beberapa orang di belah Toa yang sebelumnya tidak memiliki latar belakang kontraktor proyek juga berhasil mendapatkan proyek dari pemerintah dengan cara membeli atau meminjam perusahaan milik orang lain.
Di pemerintahan juga demikian, beberapa PNS yang berasal dari belah Toa ditempatkan oleh Mustafa M Tamy di posisi-posisi strategis. Termasuk di pos penerimaan pegawai negeri. Meskipun keputusan untuk diterima atau tidaknya seorang pegawai negeri dalam tes CPNS sepenuhnya ada di tangan bupati, tapi pengaruh dari pejabat yang bertanggung jawab atas seleksi juga tidak bisa dikatakan kecil.
Pada masa pemerintahannya, Mustafa Tamy menarik pulang Nasaruddin, seorang birokrat asal Belang Gele yang secara kultural terhitung sebagai domain Ciq alias Toa yang berkarir di Aceh Tenggara.
Pada awalnya Nasaruddin yang awalnya diberi pos sebagai salah satu asisten Bupati adalah loyalis M Tamy. Melihat loyalitasnya M. Tamy kemudian mengangkatnya menjadi Sekda.
Belakangan, seperti Habibie di Indonesia yang akibat sebuah kebetulan sejarah, menjadi presiden RI, demikian pula Nasaruddin, jabatan Sekda yang disandangnya membawanya menjadi Pejabat bupati setelah Mustafa M Tamy selesai masa jabatannya.
Karena saat itu tata cara pemilihan Bupati berubah dari pemilihan oleh anggota DPRD menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Situasi ini pun membuat Nasaruddin duduk di kursi orang No. 1 di Aceh Tengah lebih lama.
Rupanya suasana ini membuat Nasaruddin nyaman dan dia pun mulai berpikir untuk duduk di kursi empuk itu lebih lama lagi dan dengan dorongan dari para pendukungnya, yaitu para pengusaha, birokrat sampai ulama asal Toa yang mulai mendapat angin sejak Mustafa Tamy berkuasa. Nasaruddin pun akhirnya memutuskan untuk naik sendiri mencalonkan diri sebagai Bupati di pemilihan langsung nanti, bersaing langsung dengan orang yang menariknya ke Takengen, Mustafa M Tamy.
Pada 24 april 2006 Nasaruddin berhenti dari jabatan Pj Bupati, pejabat Bupati kemudian dipegang oleh Syahbuddin BP, mantan bupati Aceh tenggara yang salah satu tugasnya selama menjabat adalah menyiapkan Pilkada langsung pertama untuk Aceh Tengah tanpa dia sendiri boleh mengikuti.
Peta awal kemungkinan terpilihnya bupati Aceh Tengah tentu dikuasai sepenuhnya oleh Mustafa M Tamy. Nasaruddin sama sekali tidak dianggap. Saat itu diperkirakan saingan terberatnya akan berasal dari Golkar yang diduga akan menempatkan Mahreje Wahab sebagai kandidat. Tapi lamanya proses menuju Pilkada langsung pertama ini mulai diwarnai dengan kejutan dan kejadian yang tidak terduga yang membuat Peta awal itu berubah.
Diawali dengan berita penggunaan narkoba oleh anak kandung Mustafa M Tamy, yang kemudian disusul stroke yang dia alami, membuat kans Mustafa M tamy untuk kembali terpilih menjadi bupati pudar dengan cepat bahkan TAMAT.
Setelah melalui berbagai intrik dan drama, singkat cerita terpilihlah Nasaruddin menjadi bupati yang berasal dari Toa untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.
Belakangan, terpilihnya Nasaruddin menjadi bupati ini membuat dinamika baru bagi orang toa di dunia birokrasi dan pemerintahan. Akses yang lebih dekat bagi orang Toa kepada uang dan kekuasaan di masa pemerintahan Nasruddin menciptakan dinamika dan intrik baru dalam hubungan sosial kemasyarakatan. Hal yang belum pernah terjadi sepanjang sejarah berdirinya kabupaten Aceh Tengah.
Bagaimana dinamika dan intrik-intrik yang terjadi di Toa pasca terpilihnya Nasaruddin dan masa kekuasaan Nasaruddin?…silahkan ikuti kelanjutan tulisan ini.
*Orang Gayo berdarah campuran Gayo Lues, Gayo Deret, Gayo Lut Uken dan Toa, berdomisili di Jakarta