Oleh: Hanif Sofyan*
Setidaknya ekspektasi yang terbentuk dalam benak kita ketika Dinas Kebudayaan Aceh menggelar Pentas Seni 2014 sebagai agenda rangkaian event tahunan kemarin, setiap daerah menampilkan ciri khasnya yang kuat. Hal ini juga yang mendasari mengapa setiap daerah secara ‘tematik’ di beri ruang yang sama.
Ada harapan bahwa medium ini juga menjadi ruang tidak saja bagi para ‘anak muda’ mengekpresikan diri, namun perwakilan para ‘senior’ juga diharapkan kehadirannya. Ini tidak saja akan menjadi ajang silaturrahmi budaya, namun juga pembuktian eksistensi generasi tua. Mengapa? Karena dalam banyak kesempatan hal ini terlewatkan. Bisa jadi kita semua telah melupakan mereka dan membiarkan mereka ‘terlunta’ dengan kecintaannya yang mendalam terhadap seni dan kebudayaan negerinya sendiri.
Besar harapan kita momentum itu terjadi, namun realitasnya justru terbalik. Begitupun apresiasi yang mendalam kita sampaikan kepada sesiapa yang masih berniat menampilkan beragam citarasa seni budaya dengan apapun caranya. Berbagai lintas multikultur telah digenapi dengan penampilan Pesona Basajan (Banda Aceh, Sabang, Jantho) pada bulan Agustus, di lanjutkan dengan Piasan Pidie Raya pada bulan September lalu, Pentas Selatan dan Barat Raya dan diikuti dengan Senandung Pesisir Timur pada bulan Oktober yang lalu. Demikian juga Piasan Pasee yang mewakili Aceh Utara. Lokseumawe dan Bireuen) yang penyelanggaraannya digabung dengan Kemilau Tanah Gayo.
Hanya saja, ketika kemilau Tanah Gayo yang mewakili entitas dari Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara dan Gayo Lues hadir, terasa penampilan yang diharapkan sebagai wujud kekayaan khasanah kebudayaan Aceh untuk membendung arus kebudayaan luar yang mempengaruhi remaja-remaja Aceh, justru masih kedodoran.
Setidaknya dalam pemikiran saya secara personal, wadah ini hanya menampilkan khasanah kekayaan budaya tradisi warisan endantu, tanpa mengikut sertakan band layaknya konser. Tentu tidak ada maksud saya menafikan keberadaan band sebagai wujud ekpresi karya seni anak muda. Hanya saja ruangnya mungkin tidak tepat mencampurkan band dan tradisi lama berbarengan dalam media pentas seni daerah.
Tentu ada banyak kesempatan mereka bisa bisa berkiprah, dalam pemikiran saya yang timbul justru, mengapa pemerintah di masing-masing daerah tidak menampilkan karya-karya tradisi ‘jadul’ mereka yang kini tak lagi pernah dipertunjukkan?. Tidak saja untuk mengimbangi pentas para anak muda, namun juga wujud perhatian dan penghargaan kita terhadap para seniman tua, atas keseniman mereka yang luar biasa.
Apakah ‘paket’ pentas seni itu adalah permintaan dari sponsor, atau memang semata-mata pilihan masing-masing kabupaten?. Jika iya sekalipun, peristiwa ini setidaknya menjadi catatan kita dan para penyelenggara, bahkan event organizer sekalipun untuk mengemas acara tidak saja memenuhi keinginan sekedar ramai, sekedar pesta, namun perhatian pada seni tradisi tua yang terlupakan harus menjadi alternatif yang patut dipertimbangkan di masa depan.
Ada kekuatiran kita, hilangnya tradisi-tradisi tua yang telah terlupakan, bersamaan dengan hilangnya sosok seniman tua yang satu persatu meninggalkan kita, bersamaan dengan hilangnya jenis seni tertentu yang mereka kuasai tanpa ada kejelasan siapa yang menjadi pewarisnya.
Dalam banyak kesempatan kita terlalu lupa dan berkutat dengan seni-seni yang telah populer, sementara seni-seni lain yang diam-diam pernah jaya dimasanya, hilang secara perlahan. Jika melihat pada ekspektasi penyelenggaraaan event Pentas Seni Budaya 2014 ini, setidaknya kita melupakan tujuan kita semula membendung arus kebudayaan luar yang mempengaruhi remaja-remaja Aceh yang justru langkahi dengan hadirnya ‘kebudayaan’ lain di luar konteks seni budaya multi kultural yang ingin kita sajikan.
Pertunjukkan seni, tentulah tidak sekedar menggelar keramaian, yang terpenting justru menampilkan banyak ragam seni, mengenalkan seni yang terlupa dan memberi teladan bagi para seniman muda, bahwa berseni tidak semata-mata soal narsis, popularitas, namun juga mengemban tradisi warisan endantu dengan baik dan benar.
Pencinta Seni dan Budaya*