Bagaimana keadaan pendidikan di Serule, Kecamatan Bintang, Aceh Tengah? Di sana ada 3 sekolah, SD Atu Payung, SD Serule dan sebuah SMP. Pendidikan dalam kawasan hutan yang terpencil ini, masih serba kekurangan.
Muhklis, kepala SMP Serule, ketika ditanya wartawan menjelaskan, bagaimana kondisi sekolah yang kini dipercayakan kepadanya. Proses pendidikan di sana belum mengenal tehnologi, tidak tahu jaringan internet, hanya mengandalkan buku pelajaran.
Bagaimana mereka mau berkompetisi soal kualitas pendidikan dengan daerah lain. “Aduh bagaimana mau internet, jaringan selular saja susah,” sebut Muhklis, Kepala SMP Negeri Serule dalam perbincanganya dengan wartawan. Namun walau serba minim, kesadaran masyarakat untuk pendidikan mulai tinggi.
Para wali murid, sebut Muhklis, walau disibukkan dengan urusan kebun, kadang kala berburu rusa dan menjangan, masih sempat sesekali menanyakan perihal pendidikan anaknya dan menuntun sang anak untuk serius sekolah. “ Ya walau ada kalanya libur ikut orang tua ke sawah.”
Lain lagi persoalan Serule, dan ini menjadi kebiasaan rutin. Ketika akan baris, atau upacara, tahi kerbau yang berserakan di lapangan. Ada kalanya harus dibersihkan saat itu, karena akan dilangsungkan senam atau upacara.
Tidak ada pagar sekolah dikawasan pengembalaan ternak kerbau tradisionil ini (uwer). “Pernah kami buat pagar dari tersik, namun tidak bertahan lama, ya terpaksa apa adanya, sekolah tanpa pagar,” sebut Muhklis.
SMP Serule, saat ujian ini hanya memiliki 6 murid. Jumlah seluruhnya 30. Kelas dua dan kelas satu masing-masing 12 murid. Soal guru ini yang rumit dan menjadi persoalan. Hanya ada 5 PNS di sana (termasuk kepala sekolah), serta dibantu 4 guru bakti.
Akibatnya ada guru yang merangkap mata pelajaran. Guru yang disiplin ilmu sosial, mata pelajaranya digabung. Selain mengajar sejarah, Bahasa Indonesia, PPKN, juga ikut mengajar kesenian dan olah raga.
Demikian dengan guru eksakta, selain matematika, juga kadang kala mengajar bilogi dan fisika. Semuanya berpedoman pada buku matari ajar. SMP Serule hanya memiliki 5 ruangan, satu ruang kantor, satu lagi untuk lab, dan 3 ruang belajar. Tetapi ruangan laboratorium juga sesak karena berfungsi sebagai gudang.
Muhklis sudah mengusulkan beberapa program untuk kemajuan sekolah ini. Baik untuk lab, pembuatan pagar agar tidak jadi area hewan, penambahan guru bidang studi, serta sarana pendukung lainya, namun Muhklis bukan pengambil kebijakan. DPRK yang berhak menentukan dalam qanun.
Kawasan perkampungan Serule dihiasi hutan pinus, belukar dan hutan lebat. Jaraknya hanya 47 kilometer dari Takengen, namun membutuhkan waktu hampir dua jam dengan kondisi jalan yang parah, baru sekarang jalanya sedikit baik, walau tidak sampai ke kampung Serule.
Di sanalah area peternakan tradisionil, dengan melepaskan kerbau ke dalam hutan untuk berkembang. Tentunya kawasan ini juga sarangnya harimau, rusa dan menjangan, maka dijadikan area berburu.
Tidaklah heran bila anak- anak disana ahli mungaro (berburu) dan menangkap ikan jurung di sungai yang tembus ke Jambo Aye Aceh Timur. Namun walau semuanya serba memprihatinkan, proses belajar mengajar tetap berjalan. “ Ada rumah dinas guru, di sanalah para guru tinggal, ya ketika libur mereka kembali ke Takengen,” sebut Muhlis.
Catatan media, Di SMP ini pernah ada 13 guru PNS, namun Serule dijadikan batu loncatan. Para guru ini satu persatu pindah ke kota. Diperparah lagi dengan jaringan telekomunikasi. Bagaimana murid di sana mau berkompetisi? Inilah goresan pendidikan di negeri Muyang Gerpa. (Lihin/ Iqoni RS)