Kado Ramadhan Dalam Tangis Rohingya (1)

apriani                                                                       Oleh : Apriani

“Bagai sang bunga tanpa hujan di taman, kering menerpa setiap kelopak. Masihkah dikatakan indah?
Reruntuhan itu membekas ketika bumi menggoyangkan gubuk bahagia yang telah menjadi penderita. Benturan keras melayang kepada sehelaian hembusan angin menempel membekas. Masihkan dikatakan senang?

Terkadang tersilaf dalam bathin kesalahfahaman pada pikiran yang tak terarah. Masihkan dikatakan jalan panjang? Terdampar dilaut lepas tak hidup bagai mati namun masih berhembus nafas bau dari lisan. Masihkan dikatakan adil? Kadang terqabul kata “mati saja”, namun apakah akan berakhir?”

Umi .. Munthe tak tahan melihat ini semua dengan hiasan mata yang telah dianugerahi kepuasan melihat, Umi? Apa yang harus Ananda lakukan Umi .. jauh di dalam sini aku ingin berteriak ..

Ibu munthe, perempuan yang masih berusia 38 tahun ini mengakhiri bacaan pesan dengan mengusap matanya.. dengan hati yang bercampur aduk, gundah dan simpati dia membalas pesan dari anaknya lewat hanpone nokia tua miliknya.

“Masihkah ada keraguan pada Siti Hajar yang menuggui Ibrahim? Masihkan terpapar kegundahan pada Daud yang dapat menempa besi? Masih adakah air mata bagi ketabahan ayah Yusuf? Wahai putri disiang malamku.. katakan Masya Allah, Alhamdulillah dan Insya Allah. Jangan tanyakan bagaimana pada bundamu yang renta ini .. tunjukan dan buktikan pada Sukarnoe kalau kamu dapat mengangkat gunung itu walau dengan do’a yang lirih .. anakku belajarlah melihat keadaan tanpa emosi amarah yang meluap..”

Wanita yang masih terlihat muda ini masih merintikkan air matanya, teringat hal yang kini disayangkan semua orang, namun dia percaya Allah punya rencana yang lebih baik dari yang diperkirakan dan diprasangka burukkan sekarang ini. Dia mulai beranjak dari shofa, mulai kedapur mungkin memikirkan masakan untuk malam ini.
***
“ Terima kasih Umi” bisik Munthe dalam hati. Dari belakang perkemahan terdengar suara lelaki yang dari tadi memanggil manggil.
“ Ada apa Buge? tampaknya begitu penting,” kata Munthe mendekati Buge yang kelelahan.
“ Kamu kok gak jawab pas aku manggil”.
“ Habis suara kamu gak kedengaran.. hehe dan itu bohong.. aku tadi lagi baca pesan Umi,” Munthe menjelaskan.
“ oh.. aku kira kenapa,” jawab Buge sambil mengusap keringat dari dahinya.
“ Kenapa sih?” tanya Munthe dengan raut di keningnya.
“ kita kekurangan obat ni , aku berencana akan ke posko mengambil obat-obatan, sambil ambil makanan kita untuk nanti malam, kamu belum makan dari tadi siang,” jelas Buge.
“ Ia ya? Kamu pergi sendiri?”
“Iya, habis Said ,Cut dan Melu lagi cari ranting, katanya mau buat api unggun untuk obat nyamuk”.
“ oh.. kalau gak biar aku temani aja,” kata Munthe menawarkan diri
“ Tidak usah repot, kamu dari tadi udah capek ngurusin mereka,” Buge menunjuk beberapa orang yang terbaring di dalam tenda.(Bersambung)

Penulis : Mahasiswi Jurusan : Pendidikan Kimia, Universitas UIN Ar-Raniry Banda Aceh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.