“ Umi .. hari ini Munthe bakal sering di kamp anak-anak.. doakan Umi” Munthe mengirimi ibunya pesan. Dari kejauhan Uminya sebenarnya sangat khawatir dan melarang Munthe menjadi relawan ke kota terdamparnya imigran Myanmar dan Bangladesh itu yang paling terkenal di masyarakat yaitu muslim Rohingya .
Namun, dengan rengekan ala Munthe membuat hati ibu yang biasa di panggil Umi ini luluh. Walau Ayah yang disapa Abi oleh wanita 17 tahun ini menentang dan mengaku marah jika Munthe pergi, tetap saja Munthe pergi. Katanya sudah menjadi impiannya ingin menolong sesama.
Bagaiman Umi tidak menagis dan Abi akan setuju melihat putrinya membantu para imigran itu, Abi takut akan keselamatan Munthe walau itu cuma di Aceh.
“ Munthe ingin jadi apa sih kalau sudah besar,” tanya Abinya suatu hari pada saat Munthe berumur 10 tahun.
“ Jadi putri bebas senyum abi .. “ jawab Munthe sambil mencubit kumis Abinya yang tak tebal.
“ Sekarang anak Abi pintar sekali berkata-kata, seperti penyair saja” puji Abinya sambil menggendong munthe si gembrot yang kini telah berubah menjadi wanita yang kurus.
“ iya dong Abi, kan umi sastrawan” sambung Umi dari dapur membawakan Abinya kopi panas.
“ Munthe, semoga kamu baik-baik saja” kenang Uminya mengingat impian anak tunggalnya 7 tahun lalu
“ hai adik adik..” sapa Munthe.. mereka hanya terdiam mencoba menyuguhkan senyuman yang berat tuk di tunjukan.
“ aduh, ngomongnya gimana ya? Habis pakai Bahasa arab kurang faham, inggris mereka gak ngeri, Bahasa Myanmar gimana sih, banglades oh banglades.. apa lagi ni.. pusing pala hansib hehehe” kata Munthe berbicara sendiri pada dirinya.
“ sudah, pakai bahasa istilah aja” kata Buge mengejutkan Munthe
“ apaan sih hahaa… iya ya..”
“ kamu kan bisa Bahasa isyarat yang untuk tuna apasih namanya?”
“ tuna rungu Buge…” jawab Munthe setengah jengkel
“ selamat buk.. pelan-pelan pasti mereka ngerti, lagian kan mereka masih trauma”
“ iya, dan karna psikologisnya itu mereka jarang ngomong bahkan dengan sesamanya, aku ngerasain kadang liat kita aja mereka bersembunyi”
“ tu tugas kamu yang buk yang minta di Kamp ini”
“ iya pak Buge yang suka ngeledek”
“ haha.. nih permen kamu kemarin, lupa semalam aku kasih”
“ thanks”.
Sementara mereka berbincang, terselip puluhan mata yang memandang dengan jarak jauh maupun dekat yang mungkin mengira-ngira mereka lagi ngomongin apa? Tengah asik mengobrol, datanglah kepada mereka anak yang berumur 5 tahun, mendekati Munthe dan memberi Mmunthe balon yang berwarna kuning.
“ Oh .. tahnk you so much honey,” kata Munthe sambil menerima penghargaan itu, dia tahu si anak gak ngerti tapi dia salut dengan tingkau anak ini.
“duh gimana ni aku ngomongnya” kata Munthe lagi melirik lirik tatapan kosong.
Buge menggerakkan kedua jempolnya menandakan kalau anak itu hebat.. si anak tersenyum, dan kini Munthe tahu dia harus bagaimana. Dia memeluk anak itu dan ikut bergabung dengan temannya yang lain. Tak pernah Munthe mendengar mereka berbicara di depannya.dan kini Munthe mencoba mendekatinya.
Munthe mulai berbahasa dengan isyarat yang mungkin anak-anak bingung, melihat tingkah Munthe mengundang tawa para seniornya. Dan terkadang Munthe sengaja membuat tingkah aneh yang mulai menunjukkan sesungguhnya dia masih remaja SMA yang terjebak dalam kebahagiaan yang dia inginkan.
Hari pertama ketika dia menjadi penjaga Kamp anak-anak ini, anak-anak masih terlihat biasa saja. Masih melihat gerak gerik dan tingkah serta bahasa yang aneh. Cuma Thalib, anak yang berumur 5 tahun itu yang sering tersenyum. Walaupun dia tidak mengerti.
Munthe masih merasa wajar dengan tingkah para Imigran yang terlantar ini, baik para Imigran yang mayoritasnya laki-laki ini, bagaimana tidak, mereka Melihat pembantaian yang dilakukan pada muslim Myanmar mengharuskan mereka melarikan diri mereka sendiri. Pemerintah Myanmar terus membantah kalau mereka bersalah, diusir dari Negara sendiri adalah hal yang paling menyedihkan. Bayangkan kita dibumi hanguskan di tempat kita menyatukan jiwa dan raga. Malah dilumuri darah yang telah tergenang, membakar saudara yang masih berbentuk manusia bernyawa. Mengikat mereka bak sayuran. (Bersambung)
Oleh : Apriani Mahasiswi