AROMANYA sangat khas. Berbeda dari aroma kopi umumnya. Saat lidah mencecap, menyiratkan sesuatu yang lain. Sensasi fermentasi unik dan asing. Sambil tersenyum, Sabirin RB, menyebut kopinya sebagai “wine coffee” atau kopi rasa anggur. Ia merasa bahagia, karena hasil kreasinya mampu memberi kekayaan rasa baru dalam tradisi minum kopi.
“Bahan bakunya sama, kopi jenis arabika. Hanya perlakuannya yang berbeda, sehingga menimbulkan sensasi wine,” cerita Sabirin, seraya memperlihatkan beberapa karung berisi butiran biji kopi yang sudah siap roasting, di gudang miliknya di Timangan Gading, Kecamatan Kebayakan, Aceh Tengah.
Ia mengirim biji kopi rasa wine itu ke sejumlah tempat, Banda Aceh, Jakarta, Bali dan beberapa kota lainnya. “Pesanan lumayan dari Bali,” cerita Sabirin saat ditemui Serambi pada liburan Idul Fitri 1436 lalu.
Saat ini sedang dirintis kerjasama dengan pengusaha Korea yang terpikat dengan kopi “rasa wine” milik Sabirin. Sabirin menyebut produk olahannya sebagai kopi dengan citarasa berbeda. Dengan berani ia mengatakan, dirinya tidak menjual biji kopi, tapi citarasa kopi. Kopi olahannya merupakan hasil eksperimen 2014 silam. Ia ingin mendapatkan citarasa baru dari minuman kopi. Bagi penikmat kopi, inovasi dan kekayaan rasa menjadi salah satu unggulan.
Menurutnya, para penikmat kopi menginginkan sensasi tertentu saat minum kopi. Ide cemerlang mendapatkan kopi dengan citarasa berbeda, merupakan warisan orang-orang tua di Gayo. “Awan-awan (kakek-kakek-red) kita dulu terbiasa menghangatkan kopi yang sudah diseduh dalam cerek yang digantung di atas tungku. Ternyata praktik itu selain kopinya tetap hangat, juga memberi citarasa lain,” kata Sabirin.
Kopi yang diperlukan untuk itu biasanya biji kopi dari ketinggan tertentu. Kopi Sabirin dipetik dari perkebunan di ketinggian 1.500 meter di atas permukaan laut (dpl). Memiliki getah biji yang lebih banyak dibanding biji kopi yang ditanam di bawah 1500 m dpl. Keunggulan lainnya kandungan airnya juga lebih banyak dan kulit biji yang lebih tebal. Sensasi rasa diperoleh dari getah biji tadi yang sudah melewati proses fermentasi.
Biasanya Sabirin membeli lebih mahal dari kopi umumnya, karena tumbuh di ketinggian 1500 m dpl dan masa panen lebih lama dengan produksi terbatas. Untuk mendapatkan kopi dengan citarasa “wine” diperlukan waktu sekitar 25 hari.
Dia menekuni kopi fermentasi setelah bebas dari tugasnya sebagai Reje Kampung (Kepala Desa) Simpang IV Kecamatan Bebesen 2011-2013. Sebelumnya, dia juga tercatat sebagai anggota DPRK Aceh Tengah dari Partai Golkar. “Ada tantangan baru saat terjun sepenuhnya sebagai usahawan kopi,” komentar Sabirin dengan mimik serius. Ia adalah anak petani kopi. Lahir 1969 dan dikarunia empat orang anak.
Sabirin menamai kopi olahannya sebagai “arabica wine coffee” yang diproses secara alami. Awalnya ia menggunakan istilah “coffee wine” tapi urung, karena istilah serupa ada di luar negeri. Ia menjual produknya Rp 300 ribu sampai Rp 500 ribu/kg dalam bentuk biji hijau atau “green bean.” Dalam bentuk bubuk dijual Rp 700 ribu sampai Rp 1 juta/kg.
Tanpa Alkohol
Sabirin juga sudah melakukan uji laboratorium terhadap kopi olahannya. Sama sekali tidak ditemukan kandungan alkohol atau benda-benda lain dalam kopi miliknya. Uji laboratorium dilakukan pada Laboratorium Saraswati Indo Genetech, Bogor.
Hasil cupping oleh Balai Penelitian Kopi dan Kakao Jember, kopi “arabica wine” milik Sabirin memperoleh skor sangat tinggi 83,88. “Cupping test” juga dilakukan Gayo Cupper Team dengan “cupping score” 86,25. Kopi Gayo unggul selain karena inkonsistensi rasa, juga masih memiliki peluang diversifikasi usaha di hilir. Inovasi dan kreasi yang dilakukan Sabirin RB merupakan bagian dari diversifikasi tersebut.(fikar w eda/ Serambi Indonesia)