Unjuk Rasa Momentum Perdamaian Terkait Kinerja Wali Nanggroe

Demokrasi abad 21 adalah ruh dari semangat perpolitikan modern. Politik sebagai hulu peradaban sudah semestinya memberikan nilai substantif dan berkelanjutan. Kesejahteraan dan keadilan sosial adalah aspek yang harus dipacu demi terwujudnya kerangka daerah madani sesuai harapan bersama. Dalam hal ini, Aceh menjadi daerah yang syarat dengan nilai historis dan harus diawasi agar terciptanya pemerintahan yang sesuai dengan cita-cita dan amanat perjuangan rakyat Aceh.

Perjuangan politik rakyat Aceh menjadi sejarah awal “pergolakan politik” sehingga terciptanya blok historis yang menjadi kebanggaan rakyat pada waktu itu. namun perjuangan politik yang telah menjelma menjadi kekuasaan belum mampu mengakomodir kebutuhan yang bersifat substantif kerakyatan. Ketimpangan sosial juga menggambarkan kegagalan selama beberapa periode  pemerintahan historis.

Wali nanggroe dan otoritas kuasa

lembaga wali nanggroe sebagai lembaga adat dan simbol pemersatu, memegang peranan penting dalam kekuasaan. Disamping itu juga diakui secara sah didalam MoU Helsinki dan diikat oleh UUPA. Dalam perjalanannya, tugas dan fungsi wali nanggroe seolah tumpang tindih dengan lembaga adat sebelumnya. Sifat protokoler yang dimiliki juga melampaui kekuasaan eksekutif yang seharusnya mempunyai wewenang dalam tugas kerja pemerintahan.

Otoritas kuasa yang berlebihan dan porsi kerja yang tidak sesuai, membuat lembaga wali nanggroe jauh dari harapan dan amanat undang-undang. Secara aplikatif tugas dan fungsi lembaga wali nanggroe bersifat tertutup. Eksekutif dan legislatif harus mengkaji ulang sekaligus bertanggung jawab penuh, mengingat tidak sedikit uang rakyat yang digelontorkan untuk lembaga tersebut. Secara keseluruhan, elemen civil mahasiswa yang tergabung dalam wadah Jaringan Mahasiswa Kota (JMK), menuntut pemerintah Aceh untuk memperjelas tugas-fungsi wali nanggroe secara aplikatif, substantif dan akademis. Hal ini juga dimaksudkan agar tidak terjadi disorientasi kekuasaan dan kekuasaan tertutup dikemudian hari.

Bendera sebagai polemik berkepanjangan

Persoalan bendera menjadi tanda tanya besar bagi pemerintah Aceh. Bendera sebagai bahagian dari simbol politik adalah polemik yang tidak pernah tuntas untuk direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh mental kuasa pemeritah Aceh yang menjadikan masyarakat sebagai tameng dari polemik tersebut. Namun yang perlu diketahui bahwa benderamerupakan produk dari perjuangan dan janji politik yang harus direalisasikan segera. Pemerintah harus cerdas dan tanggap dalam menghadapi persoalan ini, agar tidak menjadi penghambat dalam meneruskan agenda-agenda kesejahteraan.

 

 

Secara keseluruhan pemerintah Aceh harus terbuka dalam menjalankan pemerintahan agar pembangunan dalam periode pemerintahan historis, dapat berjalan cepat sebagaimana mestinya. Hal ini juga menjadi harapan dan cita-cita rakyat Aceh agar terwujudnya Aceh berkeadaban sesuai dengan nilai dan tujuan perjuangan.(Rel)

 

Nanda Topan

 

(Jaringan Mahasiswa Kota –JMK)

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.