Catatan : Khalisuddin*
JANTUNG berdetak kencang, detaknya sangat beda saat mendayung sepeda ditanjakan. Ada perasaan was-was, risau, galau. Latihan rutin bersepeda sejauh ratusan kilometer yang biasanya menyenangkan, hari itu sama sekali tidak bersuasana nyaman. Hasil Ujian Nasional (UN) belum diketahui hingga menjelang malam, Sabtu 26 Mei 2012.
Itulah perasaan tiga orang gadis belia atlit balap sepeda asal dataran tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah yang hampir satu tahun belakangan bersekolah di Jakarta sembari berlatih rutin bersiap diri menghadapi Pekan Olahraga Nasional (PON) XVIII Riau.
Mereka, Noviana, Nurwahyu Afriana dan Isna Dewi dicomot Riau selaku tuan untuk membela nama baik provinsi beribukota Pekan Baru tersebut di even olahraga paling bergengsi tingkat Nasional tersebut.
“Pak do’akan kami lulus ya, sampai sekarang belum ada kabar dari sekolah,” kata Noviana, gadis kelahiran Simpang Kercing Bebesen Aceh Tengah yang berada di Jakarta Utara melalui pesan ke inbox Facebook saya sekira pukul 21.15 WIB.
Ada rasa bersalah terlintas di lubuk sanubari. Mereka mulai bersepeda atas rekrutmen saya dan teman-teman dari pengurus Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI) Aceh Tengah, 2010 silam saat akan menghadapi Pekan Olah Raga Provinsi (Porprov) Aceh di Bireuen.
“Jika mereka tidak menjadi atlit balap sepeda tentu akan bersekolah dengan normal sebagaimana siswa lainnya,” kataku membathin. “Ya Allah, tolonglah mereka bisa lulus. Mereka berjuang untuk nama baik dan pengabdian kepada orang tua masing-masing,” do’aku dalam hati.
Belum lagi kubalas pesan Noviana, dia sudah kembali mengirim pesan dengan kalimat gembira. “Pak, kami bertiga lulus,” tulisnya. Bisa kubayangkan bagaimana raut wajah mereka yang gembira, seperti saat-saat menerima sejumlah kalungan medali dipanggung juara setelah berlaga di trek balap sepeda disejumlah even di Aceh, Sumatera dan Jawa.
Aku lega sekali, akhirnya mereka bisa juga memperoleh ijazah SMA. Bayang-bayang ketakutan berhadapan dengan orang tua mereka buyar sudah. Aku khawatir di cap sebagai sang penjerumus anak-anak mereka dengan mencari masa depan selain dari jalur pendidikan saja.
Masih teringat jelas, bagaimana meyakinkan para orang tua dari ketiga gadis belia tersebut, jika melalui olahraga bisa juga menggapai masa depan. “Mudah-mudahan mereka berprestasi dan dapat medali di PON nanti, selain dapat bonus uang, juga kemungkinan akan diangkat sebagai Pegawai Negeri,” begitu kataku kepada ayah ibu mereka saat sang pelatih tim Riau, Amir Mahmud meminta mereka untuk digodok menjadi atlit berkelas nasional dengan pintu gerbang PON XVIII Riau.
Masih teringat dimata ketika Kepala Sekolah asal mereka, SMAN 8 Takengon, Suryani, melepas kepergian mereka. Ada isak tangis dan salam tempel dari sang Kepsek untuk ketiganya. “Apa sudah matang pilihan pindah sekolah ini pak. Tidakkah sebaiknya mereka dititip belajar saja di Jakarta, nanti saat UN kembali ke sini,” kata Suryani kepada saya.
Saya tidak bisa menjawab saran sang Kepsek, pasalnya sanga pelatih mensyaratkan seperti itu. Harus pindah sekolah. Setiap pagi hingga siang berlatih dan siang sekolah di SMA Yusha Jakarta Utara.
Pertanyaan berikutnya muncul, bagaimana dengan kelanjutan pendidikan, kuliah ?. Dengan mantab Noviana, Nurwahyu Afriana dan Isna Dewi menjawab sudah memutuskan untuk menunda masuk Perguruan Tinggi. “Mungkin kami akan kuliah setelah PON nanti pak. Dan rencana akan menetap di Jawa karena even sepeda lebih sering ketimbang di Sumatra,” kata ketiganya.
Dari penelusuran dunia maya, tuan rumah PON XVIII Riau beberapa kali merilis berita di media cetak dan online jika atlit putri balap sepeda mereka akan raih yang terbaik di even tersebut. Semoga ini menjadi kenyataan.
Selamat berjuang anak-anakku, masa depan itu pintunya bukan satu. Jadilah puteri Gayo yang beda dalam menatap masa depan.
—
*Sekretaris Pengcab ISSI Aceh Tengah, Ketua Komisi MTB/BMX Pengprov ISSI Aceh