Menurut catatan sejarah Aceh istilah Wali muncul pada saat Aceh dipimpin oleh Sultanah Syafiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiatuddinsyah (1675-1678), Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688) dan Kamalatsyah (1688-1699). Saat itu Wali Nanggroe Aceh di jabat oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili, yang diangkat sebagai Waliul Mulki sekaligus Qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh. Penyebutan ini mengindikasikan bahwa gelar Wali Nanggroe ditambalkan untuk Ulama yang dianggap memiliki otoritas keagamaan yang paling tinggi. Namun, setelah Tgk. Syekh Abdurrauf As- Singkili meninggal, istilah Wali Nanggroe tidak terdengar lagi. Istilah Wali muncul kembali pada tahun 1870 ketika Tuwanku Hasyim Banta Muda ditetapkan sebagai Waliul Mulki, karena saat itu Sultan Mahmud Syah (1870-1874) masih belia, sehingga belum layak dianggkat menggantikan Sultan Alaidin Ibrahim Syah yang meninggal dunia Tak lama kemudian, tepatnya pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyerang Aceh, Tuanku Hasyim berupaya menyelamatkan Wibawa Kesultanan Aceh dengan memindahkan Sultan Mahmudsyah yang masih kecil ke Lueng Bata Kuta Raja sekarang dan akhirnya meninggal pada tanggal 25 Januari 1874.
Kemudian diganti oleh Sultan Teungku Daud Syah (1878-1939) yang waktu itu baru berumur ± 7 tahun, setelah Sultan dewasa memimpin Kerajaan Aceh Darussalam Wali Naggroe tidak diperlukan lagi. Peluang ini dimanfaatkan Penjajah Belanda guna menguasai dan merebut seluruh wilayah Kerajaan Islam Aceh Darussalam. Kemudian Raja Aceh tersebut ditangkap dan dibuang oleh Belanda ke Batavia yang akhirnya meninggal dunia di Jakarta tepatnya di Utan Kayu (Jatinegara) pada 04 Ferbruari 1939. Sultan Daud Syah berdasarkan fakta sejarah tidak pernah menyerahkan kekuasaan Kerajaan Aceh kepada siapapun sebelum beliau meninggal dunia, berarti Wali Naggroe sudah berakhir sejak tahun 1939.
Wali Nanggroe masa Aceh dalam NKRI (1945-sekarang)
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, baru dimunculkan dan dimuat lembaga Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe pada BAB VII Pasal 10 yang diberi arti sebagai berikut :
Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe adalah lembaga yang merupakan simbol bagi pelestarian, penyelenggaraan kehidupan adat, agama Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(1) Wali Nanggroe dan Tuha Nanggroe bukan merupakan lembaga politik dan pemerintah dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(2) Hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
MoU Helsinki tanggal 15 Agustus 2005 pada Butir 1.7.1 halaman 9 menegaskan; bahwa lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya (berarti lembaga ini lebih mengarah kepada lembaga adat daripada kepada lembaga Pemerintahan dan Politik).
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, pembentukan lembaga Wali Nanggroe tetap dilanjutkan pada BAB XII Pasal 96 dengan pengertian sebagai berikut :
(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independent, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar / derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
(2) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ahyat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh.
(3) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipimpin oleh seorang Wali Nanggroe yang bersifat personal dan independent.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat-syarat calon, tata cara pemilihan, peserta pemilihan, masa jabatan, kedudukan protokoler, keuangan, dan ketentuan lain yang menyangkut Wali Nanggroe diatur dengan Qanun Aceh.
Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe.
1. Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2008
(1) Wali Nanggroe adalah pemimpin Lembaga Adat Nanggroe yang independent sebagai pemersatu masyarakat, berwibawa dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, pemberian gelar kehormatan dan derajat serta upacara-upacara adat Aceh.
(2) Tuha Nanggroe adalah Wakil Wali Nanggroe yang komposisinya mewakili representasi wilayah Nanggroe Aceh yang bertugas membantu Wali Nanggroe berdasarkan bidang tugas tertentu.
(3) Wali Nanggroe adalah lembaga adat, bukan lembaga pemerintahan dan lembaga politik sebagaimana ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006.
(4) Tugas dan Wewenang Wali Nanggroe adalah :
a. Wali Nanggroe bertugas memimpin lembaga Wali Nanggroe;
b. Wali Nanggroe bertugas membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan budaya, adat dan adat-istiadat;
c. Wali Nanggroe berwenang memberikan gelar kehormatan dan derajat adat serta berwenang melaksanakan upacara-upacara adat.
2. Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2010.
(1) Wali Nanggroe adalah Penguasa Pemerintahan Aceh (dalam adat) yang berkedudukan lebih tinggi dalam tatanan pemerintahan Aceh, lebih tinggi dari Kepala Pemerintah dan Parlemen Aceh dan menjadi figure pemersatu rakyat Aceh.
(2) Lembaga Wali Nanggroe adalah institusi resmi dalam Pemerintahan Aceh yang independent dan berwibawa; memiliki kantor secretariat sendiri.
(3) Lembaga Wali Nanggroe adalah institusi resmi dalam Pemerintahan Aceh yang tertinggi dan independent.
(4) Kewenangan Lembaga Wali Nanggroe yang diatur dalam Pasal 5 Draf Qanun tersebut mulai dari ayat (2) huruf (a) sampai dengan huruf (p), telah mencampuri Kewenangan Lembaga Pemerintahan dan bertentangan dengan UUD 1945.
(5) Tugas dan fungsi Lembaga Wali Nanggroe dalam pasal 6 Draf Qanun tersebut juga telah merubah fungsi lembaga tersebut dari Lembaga Adat menjadi Lembaga Pemerintahan dan Politik.
3. Rancangan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe menurut Versi DPRA Tahun 2012.
1) Isi Rancangan Qanun Wali Nanggroe Aceh sesuai dengan BAB XII Pasal 96 UUPA Nomor 11 Tahun 2006 yaitu :
(1) Lembaga Wali Nanggroe merupakan kepemimpinan adat sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa, dan berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraan kehidupan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya (Tidak ada tugas politik).
(2) Lembaga Wali Nanggroe sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan merupakan lembaga politik dan lembaga pemerintahan Aceh.
2) Dalam Rancangan Qanun ini dimasukkan hal politik, tanpa lebih dulu Amandemen UU Nomor 11Tahun 2006, memang prinsipnya hanya sebatas pengawasan kelembagaan bukan mencampuri Internal Lembaga Partai Politik, tapi cuma sebagai pembiaan semata. Prinsip tersebut adalah sebagai pemersatu yang independen, dan berwibawa serta bermartabat, Keagungan Dinul Islam, Kemakmuran Rakyat, Keadilan dan Kedamaian, Pembinaan Kehormatan, Kewibawaan Politik, Adat dan Tradisi Sejarah serta Tamadun Aceh.
3) Lembaga Wali Nanggroe memiliki hak Imunitas bukan berarti hak kebal terhadap hokum dan tidak biasa dipanggil oleh penyidik untuk di minta keterangan. Tapi, hak untuk tidak dapat dituntut didepan pengadilan, karena pernyataan atau pertanyaan dan atau pendapat yang dikemukan secara lisan maupun tertulis yang berkaitan dengan tugas, fungsi dan kewenangannya sebelum mendapat izin Pimpinan DPRA.
4. Pengesahan Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe
Qanun Aceh Tentang Wali Naggroe telah disahkan oleh Gubernur Aceh menjadi Qanun Aceh No. 8 Tahun 2012, tanpa Klarifikasi lebih dulu oleh Menteri Dalam Negeri RI dan sampai saat Qanun ini disahkan belum dipublikasikan dan beredar diseluruh Aceh. Katanya hanya untuk dasar hukum guna mengajukan Anggaran Operasional Wali Nanggoe dalam APBA Tahun 2013 sebesar Rp. 50 Milyar.
Tanggapan Pemerintah Daerah Aceh, Qanun Wali Nanggroe sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah Aceh, sekarang dalam proses pengiriman ke Mendagri, anehnya belum diklarifikasi sudah diundangkan. Jika tidak sesuai dan bertentang dengan Undang-Undang yang lebih tinggi, maka Qanun Aceh tersebut harus dibatalkan oleh Pemerintah. Tentu sungguh memalukan Rakyat Aceh dan telah menghabiskan biaya begitu banyak dalam membahas Qanun Wali Nanggroe mulai Tahun 2001-2012, hasilnya sampai saat ini belum ada kepastian hukum yang positif.
Mengapa terjadi demikian karena Qanun Aceh tentang Wali Nanggroe telah bertentangan dengan :
- Setelah dicermati qanun tersebut baik secara formil, bertentangan dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan maupun secara materiil, qanun tersebut telah bertentangan dengan berbagai aturan perundangan yang lebih tinggi dan memposisikan Lembaga Wali Nanggroe menyimpang dari pasal 96 UUPA No. 11 Tahun 2006.
- Dalam ketentuan pasal 145 ayat (2) dan ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa : Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan atau peraturan perundangan – undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.
- Keputusan pembatalan Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 hari sejak diterima Perda/Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
- Berdasarkan pada ketentuan ayat (3), ditetapkan bahwa keputusan pembatalan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang – undangan yang lebih tinggi ditetapkan dengan Peraturan Presiden.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas maka Pemerintah jangan melakukan politik pembiyaran terhadap Regulasi Qanun Aceh tersebut, kalau tidak bertentangan dengan Undang-undang yang lebih tinggi hendaknya segera diklarifikasi dan disetujui untuk menjadi Qanun Aceh. Kalau bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi segera dibatalkan oleh Pemerintah agar Eksekutif dan Legislatif Aceh tidak acak-acak dan coba – coba dalam membuat Qanun Aceh yang tidak sesuai dengan aspirasi rakyat Aceh dari Sabang sampai ke Singkil dan dari Tamiang sampai ke Seumeulu. (Aceh National Post.com)
[Penulis Drs H Nabhani,MBA]