Oleh: Yusradi Usman al-Gayoni*
Di kalangan masyarakat Gayo, khususnya di Takengon, Aceh Tengah, nama M. Yusin Saleh tidak asing lagi. Selain di Takengon, dan tanoh Gayo, beliau dikenal pula di Bireuen, juga di lingkungan Dinas Perternakan Aceh. Selain sebagai mantan Kadis Perternakan, di tanoh Gayo, M. Yusin dikenal sebagai pelaku sa’er, dan didong pada kelop Ketimil. Sa’er, dan didong merupakan dua dari sepuluh sastra lisan yang dimiliki masyarakat Gayo. Sa’er berisi puisi yang bertemakan nilai-nilai religius, yang biasanya “dinyanyikan” bersama. Sementara itu, didong merupakan konfigurasi puisi, vokal, dan gerak dengan berbagai topik, muatan, dan simbol sosial. Putra pasangan M. Saleh dengan Siti Halimah ini, lahir di Kampung Bujang, Takengon, Propinsi Aceh, tanggal 19 September 1947. Nama M. Saleh yang melekat di ujung namanya, tidak lain adalah nama bapaknya (bahasa Gayo= ama e).
Yusin Saleh hanya memiliki satu saudara perempuan, yaitu Hatijah Saleh, yang merupakan kakak sulungnya. Setelah Yusin tumbuh dewasa, dia kemudian melangsungkan pernikahan dengan Armiyani KAZET, yang saat ini berprofesi sebagai guru kesenian SMP Negeri 1 Takengon. Dari hasil perkawinannya, mereka dianugerahi dua anak, yaitu Ariayu Maharona, S.T., alumni Teknik Sipil Institute Teknologi Medan (ITM), dan Eriyosayu Winarona.
Tahun 1959, M. Yusin memasuki Sekolah Rakyat di kota Takengon, dan selesai tahun 1960. Kemudian, melanjutkan sekolahnya ke SMP Negeri 1 Takengon, dan selesai tahun 1963. Tahun 1966, selesai lagi dari SMA Negeri 1 Takengong sekarang. M. Yusin melanjutkan kuliahnya dengan mengambil jurusan perternakan di Universitas Syiahkuala (Unsyiah) pada tahun 1967. Setahun berikutnya, M. Yasin memperoleh gelar sarjana muda. Tahun 1972, M. Yusin menyelesaikan S-1-nya dengan jurusan, dan dari universitas yang sama. M. Yusin meneruskan kembali studinya, ke jenjang S-2 di DILI, Jakarta, tahun 1991. Gelar MBA pun diraihnya pada tahun 1992. Selama menjadi mahasiswa di Universitas Syiahkuala, Banda Aceh, M. Yusin aktif di beberapa organisasi kemahasiswaan, diantaranya, Senat Mahasiswa, dan Dewan Mahasiswa.
Setelah menyesaikan sarjana muda-nya, beliau bekerja sebagai pegawai negeri sipil. M. Yusin sempat menduduki Kepala Dinas Perternakan Biren, Kepala sekaligus Membangun Sekolah Pertanian & Perternakan (SPP) Biren, Kepala UPP SIE Asian Development Bank (ADB), Kepala UPT HM Ternak, Kasi Informasi Dinas Perternakan Propinsi Aceh, Kepala Dinas Perternakan Aceh Tengah tahun 1992-2002, Kepala Kesbang Limnas Aceh Tengah selama 16 bulan, Kepala Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) Aceh Tengah, dan Kepala BAPELDALDA Aceh Tengah, dan pensiun tahun 2004. Saat yang bersamaan, M. Yusin ikut serta dalam Himpunan Keluarga Tani Indonesia (HKTI), dan Persatuan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI)
Saat bertugas di Takengon, M. Yusin tercatat sebagai salah seorang dosen Adat&Syari’at Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Muhammadiyah Aceh Tengah (STIHMAT) tahun 1996, dosen Adat&Syari’at Alwasliyah sejak tahun 2001 sampai 2004. M. Yusin juga mengasuh mata kuliah yang sama di Gajah Putih sejak tahun 1997 sampai sekarang. Juga, aktif di Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI), Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Takengon, Organisasi Muhammadiyah Aceh Tengah, dan LSM Peternak
Terkait dengan sastra lisan, M. Yusin terlibat dalam sa’er pada tahun 1957. Setahun kemudian, M. Yusin menjadi ceh sa’er. Pada saat itu, beliau biasa membawakan sa’er-sa’er yang diciptakan penya’er yang ada di Takengon. Terkait dengan didong, sejak tahun 1965, M. Yusin mulai ber-didong. Sejak kecil, khususnya saat ber-sa’er, M. Yusin terbiasa dengan pencarian makna. Dia kerap bertanya kepada dirinya sendiri, “Apa makna yang mewataki kata-kata yang diciptakan ceh-ceh?” dan “Apa alasan pemilihan kata tadi?”.
Tak jarang, ketika M. Yusin mengalami kebuntuan dalam pencarian makna tersebut, beliau langsung menemui, dan bertanya kepada pencipta sa’er, dan ceh didong yang bersangkutan. Salah satunya, ceh kenamaan Gayo, yaitu Sali Gobal. M. Yusin yang ketika itu masih anak-anak biasa berguru makna kepada Sali Gobal terkait kandungan makna dalam karya-karyanya. Dapat dikatakan, sejak awal keterlibatannya dalam sa’er, lalu didong, M. Yusin, secara tidak sadar, sudah membenamkan dirinya dalam filsafat, filsafat bahasa, semantik, pragmatik, dan semiotika.
Selanjutnya, sejak tahun 2004, M. Yusin diamanahkan menjadi Sekretaris Majelis Adat Aceh Nenggeri Gayo (MAANGO), yang merupakan pengganti Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA), selain sebagai dosen di Gajah Putih Takengon. Sampai sejauh ini, M. Yusin telah menciptakan 300 sa’er dan didong Gayo. Karyanya hampir mencakup keseluruhan realitas kehidupan sosial masyarakat di tanoh Gayo, dan Aceh, mulai dari politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya, keamanan, sejarah, lingkungan hidup, dan perkembangan terkini Gayo & Aceh.
Gambaran budaya masyarakat Gayo, dan berbagai perubahan yang berlangsung di Aceh terekam dengan jelas dalam karyanya. Dalam mencipta, M. Yusin mengikuti suasana hatinya. Ketika suasana hatinya mendukung, karyanya pun mengalir dengan mudah, dan sebaliknya. Disamping itu, karya yang dihasilkan M. Yusin kaya akan fakta, dan bermuatan sejarah. Alur, nilai, dan validitas kebenaran sejarah dalam karyanya, dikemas dengan sastra Gayo yang tinggi, enak didengar, dan melekat di ingatan pendengarnya.
Dalam mengisi kegiatan pensiunnya, disamping mengajar di Gajah Putih Takengon, aktif dalam kepengurusan MAANGO, menjadi pembicara, M. Yusin mulai fokus meneliti, dan menulis soal adat, resam, peraturen, dan kebudayaan Gayo. Saat ini, M. Yusin sedang merampungkan penulisan buku perihal “Gramatika Bahasa Gayo,” yang isinya cukup ilmiah dengan pengalaman empiris langsung M. Yusin sebagai salah seorang “penutur tua” bahasa Gayo, pelaku & ceh sa’er, ceh didong, ditambah amatan yang sudah berlangsung lama. Bagi penulis, M. Yusin Saleh merupakan salah satu “Guru Besar Bahasa Gayo,” yang mana, kualitas dan kemampuannya soal bahasa Gayo tidak disangsikan lagi.
*Pemerhati Bahasa Gayo dan Budaya Gayo
Assalam.. Maju renye Cik.. Aku mudukung Cik kase sepenuh hati.. pikiran dan waktu..