1 Maret, Hari Bersejarah Bagi Gayo

Takengon | Info Lintas Gayo : Tepat enam puluh dua tahun silam, 1 Maret 1949 terjadi peristiwa hebat dalam sejarah perjuangan mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia.

Sebuah serbuan besar dilakukan di pagi buta oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) dengan mengikutsertakan beberapa pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman terhadap pasukan Belanda yang menguasai Yogyakarta. Selama 6 jam, TNI menguasai kota tersebut dan berhasil mematahkan propaganda Belanda di mata dunia yang sebelumnya menyatakan Indonesia lumpuh ditangan bangsa kolonial tersebut.

Detik demi detik dimanfaatkan oleh komponen bangsa Indoensia saat itu, tak terkecuali TB Simatupang di Gunung Kidul langsung membuat surat yang ditujukan kepada dunia bahwa Indonesia masih ada dan punya kekuatan besar.

Surat TB Simatupang diteruskan oleh Budiarjo melalui Radio TNI Angkatan Udara (AU) di Gunung Kidul dan diterima dengan baik oleh Sjafruddin Prawiranegara bersama TM Hasan yang saat itu berada di Bidar Alam Sumatera Barat.

Pesan tersebut segera disampaikan ke Kutaraja Banda Aceh dan diteruskan ke stasiun Radio di tengah belantara dataran tinggi Gayo, “Rimba Raya”.

Mendapat perintah untuk menyiarkan berita tersebut, operator Radio Rimba Raya segera mengudarakannya ke penjuru dunia hingga didengar oleh Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan bunyi pesan “Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik masih ada, Wilayah Republik masih ada, dan disini adalah Aceh”.

Melalui Radio Rimba Raya Panglima Besar juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna mengcounter propaganda Belanda.

Dan sejak hari itulah serangkaian peristiwa besar terjadi, PBB turun tangan dalam upaya mengembalikan kedaulatan Indonesia melalui sejumlah perundingan dari perundingan Roem –Royen hingga Konferensi Meja Bundar (KMB) yang melahirkan sejumlah butir perjanjian yang mengembalikan kedaulatan Republik Indonesia.

Puluhan tahun, persitiwa heroic peran Radio Rimba Raya hanya terdengar samar oleh hampir seluruh masyarakat Indonesia, termasuk warga tanoh Gayo hingga pertengahan tahun 2006 muncul keinginan seorang pria blasteran Gayo dan Pidie kelahiran Takengon, Ikmal Gopi untuk menggali sejarah yang hampir menjadi dogeng bagi generasi sekarang.

Tahun demi tahun dilalui, receh demi receh Rupiah mengalir, satu persatu data diperoleh Ikmal Gopi dan Oktober 2010 sebuah film documenterpun kelar.

Hari yang bersejarah, bagi Ikmal Gopi, putra bujang kelahiran Takengon 38 tahun silam. Rasa lelah selama 4 tahun mengais-ngais sampah-sampah masa lalu ibarat mencari sebatang jarum disegundukan pasir telah dilalui Ikmal Gopi sirna sudah pada 28 Nopember 2010, saat mendengar kabar dari Batam, tempat penyeleksian film karyanya Film Dokumenter Radio Rimba Raya lolos sebagai salah satu dari lima nominator peraih penghargaan pada Festival Film Indonesia (FFI) 2010 menyisihkan sekitar 60 film sekategori yang ikut terdaftar sebagai peserta.

Selanjutnya, 6 Desember 2010, di Central Park Building Jakarta, merupakan hari paling bersejarah bagi Ikmal Gopi. “Saat itu adalah saat terindah dalam hidup saya,” kata Ikmal mengawali serangkaian percakapannya dengan LG, Sabtu (26/2) di salah satu warung kopi didepan Pendopo Bupati Aceh Tengah sehari setelah Ikmal berada kembali di tanah kelahirannya untuk bersilaturrahmi dengan keluarganya di kawasan Simpang Lima Takengon.

“Film RRR ditayangkan discreen yang begitu megah, saya seakan tak percaya itu adalah film saya” kenang Ikmal.

Ikmal mengaku tidak  mendapat apapun dari pihak penyelenggara FFI baik berupa bingkisan hadiah, uang, atau penghargaan lainnya., dirinya sudah sangat senang film sejarah Indonesia berlatar Gayo sudah diakui secara Nasional, setidaknya bagi insan film.

“Beberapa bulan kedepan, Insya Allah film tersebut kembali dinilai di Jepang dan di Beijing, saya dan pihak konsulat jendral Indonesia sudah daftarkan beberapa waktu lalu,” ungkap Ikmal.

Ditanya apakah mendapat apresiasi dari pihak lain, Ikmal tersenyum dan menjawab tentu banyak rekan-rekan yang beri apresiasi dan nyatakan turut bangga atas prestasi yang diraihnya. “Jangan ditanya pemerintah terutama Pemerintahan di Aceh khususnya Gayo. Mereka sepertinya tidak dengar kabar jika sekelumit cerita sejarah Gayo sudah diakui secara Nasional,” ujar Ikmal lirih.

Bener Meriah misalnya, dengan bangga membubuhkan tugu Radio Rimba Raya sebagai bagian utama logo kabupatennya, tapi kenyataannya hingga saat ini menganggapnya mungkin hanya sebatas hiasan saja, ucap Ikmal.

“Harusnya kita terus berupaya agar catatan sejarah perjuangan Indonesia yang dipelajari dari tingkat Sekolah Dasar hingga pendidikan tinggi harus memasukkan sejarah peranan Radio Rimba Raya kedalamnya,” tegas Ikmal.

Menurut Ikmal, dari penelusuran sejauh ini data-data yang dimasukkan kedalam materi film sudah sangat refresentatif walau mungkin masih ada data-data pendukung lainnya yang belum diperoleh.

Pontang-Panting Cari Data

Berbeda dengan film lain, untuk film documenter harus dicari data-data terkait baik berupa catatan-catatan, audio visual, wawancarai saksi sejarah dan tokoh serta foto-foto pendukung. “Tidak gampang mengumpulkan data pembuatan film ini, harus ditemukan data-data yang tentu tidak menumpuk disatu tempat,” kata Ikmal.

Pengakuan Ikmal, untuk menelusuri jejak Radio Rimba Raya dia sudah ke Padang, Koto Tinggi Sumatera Barat, ke Gunung Kidul dan Museum Angkatan Darat Yogyakarta, Tulung Agung Jawa Timur dan sejumlah tempat lainnya.

“Di Gunung Kidul, tepatnya di Tugu PC2, tidak ada disebut-sebut Radio Rimba Raya tapi ditulis Takingen dalam sebuah dokumen yang menceritakan penyiaran relay kondisi kedaulatan RI saat itu,” ungkap Ikmal.

Di Museum Angkatan Darat (AD) Yogyakarta, Ikmal merasa sangat prihatin melihat bangkai yang diduga sebagai piranti Radio Rimba Raya layaknya onggok besi tua dan mirip sampah tak berguna berada di museum tersebut. “Jangan harap orang lain mengangkat diri kita kalau bukan kita sendiri yang melakukannya. Kepingan sejarah Gayo terbengkalai disana,” kata Ikmal sedih.

Sesi lain dari penelurusannya, Ikmal bertemu dengan Chalid Sjafruddin Prawiranegara. Menurut putra tokoh perjuangan asal Sumatera Barat ini, ayahnya tidak pernah ke Takengon saat terjadi Konferensi Meja  Bundar (KMB), 1 April 1949.

Dijelaskan Ikmal, yang ke Takengon saat itu adalah Kolonel Hidayat yang merupakan Gubernur Meliter Sumatera saat itu yang dijadikan sebagai bayangan Sjafruddin untuk mengelabui kejaran Belanda. “Dari fakta yang saya peroleh, Kolonel tersebut menuju Takengon melalui Berastagi, Kutacane, Belang Kejeren dan Burni Bius Aceh Tengah yang terjadi setelah Agresi Meliter kedua tahun 1948,” papar Ikmal.

Untuk biaya dari awal hingga akhir finalnya film tersebut, Ikmal agak keberatan mengungkapnya. Dan setelah diyakinkan akhirnya dibeberkan dengan nada agak miris. “Dana terbesar saya peroleh dari Parni Hadi sebesar Rp.15 juta, dari Fauzan Azima Rp. 4 juta, Pemkab Aceh Tengah Rp.5 juta, Fauzan Sastra Rp.2 juta, Mursyid Rp.4 juta, Partai Demokrat melalui Nova Iriansyah Rp.1.5 juta, Jauhari Samalanga Rp.3 juta, dan banyak lagi yang lain-lain berupa uang recehan Rp.50 ribu,” rinci Ikmal.

Saat ditanya uang pribadi atau keluarga, Ikmal kembali merasa keberatan. Dan setelah didesak disebutkan angka Rp.17 juta Rupiah.

“saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu,” ucap Ikmal sambil menyarankan jika tidak dengan persiapan dana yang jelas dan memadai serta tidak punya tekat kuat tidak usah ikut jejaknya membuat film documenter.

Fakta Harus Disosialisasikan

Dari hasil riset Ikmal, Radio Rimba Raya adalah fakta yang tak terbantahkan lagi dan sekarang sudah ada bukti yang refresentatif, walau mungkin belum semuanya. Perlu sosialisasi kepada generasi sekarang, khususnya Aceh dan Gayo. “Kita harus berupaya agar buku-buku sejarah perjuangan rakyat Indonesia yang dipelajari di sekolah-sekolah memasukkan nama Radio Rimba Raya. Dan itu harus kita mulai dari kita di tanoh Gayo. Ceritakan sejarah Radio Rimba Raya secara khusus kepada mereka,” pinta Ikmal.

Mengakhiri paparannya, Ikmal menegaskan bahwa tanggal 1 Maret adalah hari yang sangat penting bagi dataran tinggi Gayo. “Kita harus peringati karena terkait dengan sejarah Radio Rimba Raya yang terlibat langsung disaat genting bangsa Indonesia mempertahankan harga diri dimata dunia. Tanggal 1 Maret 2011 saya sangat ingin menonton film tersebut bersama masyarakat Gayo di tanoh Gayo,” pungkas Ikmal. (Khalis Dehne)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

3,627 comments

  1. saya pernah diceritakan semasa saya waktu TK, ada sisa2 bangkai peninggalan belanda di bawah hotel renggali, itu sudah dapt membuktikan bagaimana kekuatan gayo dalam mempertahankan RI untuk memperoleh proklamasi kemerdekaan.
    Merdeka, urip ni gayo i mata indonesia..
    Wa2n kebet

  2. ikmal sepertintinya harus diberi palsilitas khusus untuk di dapat explorasi gayo melalui kemampuan yg di miliki. khususnya perjalanan sejarah perjuangan kemerdekaan dan sejarah Budaya gayo yg memang masih samar akibat kurangnya bukti2 sejarah. sehingga sulit di pertanggung jawabkan secara akademis. jadi kita tidak perlu narah Jika ada yang mengatakan kalau orang gayo adalah suku tanpa identitas dan Tau Induknya datang dari mana…:-(

  3. terlalu banyak cerita n jejak-jejak sejarah besar di Gayo yang kian hari kian pudar terkikis oleh waktu. semoga kisah Radio Rimba Raya menjadi gerbang pengakuan sejarah atas perjuangan Rakyat Gayo.

  4. sampai kapan kita berharap supaya ada mesium digayo, yang bisa menyimpan semua harta bersejarah, apakah kelelahan Ikmal harus dialami lagi oleh anak cucu kita, yang nanti akan katakan reje linge adalah kerajaan yang megah dalam kekeberen.