REJE: Pengaluten Masyarakat

Drs. Jamhuri,MA
Drs. Jamhuri,MA

Oleh: Drs. Jamhuri,MA*

KATA Reje dalam bahasa Gayo sama dengan Raja dalam bahasa Indonesia, keduanya mempunyai arti penguasa. Dalam makna sebuah negara kata Reje adalah penguasa yang mempunyai wilayah kekuasaa, mempunyai masa atau rentang waktu berkuasa dan reje juga mempunyai rakyat.

Sistem pemerintahan masyarakat Gayo mengenal empat lembaga penguasa atau sering disebut dengan sarak opat, yang terdiri dari Reje, Imem, Petue dan Rakyat. Keempat lembaga ini mempunyai sifat dan cermin kekuasaan pada Reje musuket sipet, Imem muperlu sunet, Petue musidik sasat dan Rakyat genap mupakat.

Reje musuket sipet memberi arti seorang raja harus adil, kata adil ini dipahami dari kata musuket sipet. Musuket berasal dari kata suket yang yang berarti menakar atau mengukur banyak dengan menggunakan alat yakar bambu (are), alat takar mulai yang paling kecil sampai yang paling besar adalah kal, are dan tem. Kata sipet digunakan untuk mengukur jauh, jarak atau panjang. Alat yang digunakan untuk mengukur jarak dalam budaya Gayo adalah tangan dengan kategori jengkal, seta dan depa.

Kata adil juga diterjemahkan dalam kehidupan seorang reje “ke munyuket gere rancung dan ke munimang gere angik”. Seorang reje dalam memberikan apa yang menjadi hak rakyatnya tidak pernah kurang walaupun sedikit dan apabila ada perselisihan atau persengketaan diantara rakyat tidak pernah memihak atau berat sebelah.

Itulah ilustrasi seorang reje bila kita pahami dari kata adat Gayo yang tertuang dalam ungkapan adat “reje musuket sipet” dan dalam pelaksanaan kekuasaannya “ke munyuket gere rancung den kemunimang gere angik”. Tapi bagaimana sikap rakyat terhadap reje atau bagaimana ketika berhadapan dengan reje, untuk hal ini penulis belum menemukan adanya ungkapan adat, selain “rakyat genap mupakat”.

Ada bukti lain yang menggambarkan bagaimana reje dalam pandangan masyarakat Gayo. Reje adalah orang yang hidupnya mewah (kaya), makanannya enak, tidurnya nyenyak, tidak perlu bekerja dan tidak boleh digangu. Itulah reje dalam pandangan masyarakat Gayo.

Ketika orang tua membangunkan anaknya dari tidur tetapi sang anak bermalas-malas dan setelah berulang kali dibangunkan tidak juga bangun, akhirnya orang tua berkata kepada anaknya “nome nge lagu nome ni reje”. Inilah diantara kata-kata yang kita dapatkan dalam masyarakat Gayo sebagai perumpamaan seorang reje, dimana seorang reje adalah orang yang tidurnya nyenyak, pagi-pagi harus dibangunkan dan lama bangun tidurnya. Apakah ini sebuah realita yang dijadikan perumpamaan dalam budaya Gayo atau sebuah bayangan masyarakat terhadap reje yang serba ada, sehingga tidak perlu berpikir seperti halnya apa yang dipikirkan oleh rakyat.

Apabila ada seorang anggota keluarga ketika sedang makan, lalu ia harus dihidang dan ketika makan tidak mau menggeser apa saja yang ada dihadapannya kepada orang lain dan juga tidak mau mengambil apa yang diperlukan untuk dirinya, maka kepada orang tersebut dikatakan “mangan nge lagu mangan ni reje”. Sama halnya dengan tidur, dalam pandangan masyarakat reje adalah orang yang dilayani, tidak mau memberikan bagian yang ada dihadapannya kepada orang lain yang sama-sama sedang makan, dan selalu menyuruh orang lain mengambil sesuatu yang diperlukannya padahal dia sendiri sanggup mengerjakannya.

Contoh lain sebagai sikap yang mencerminkan seorang reje kita bisa temukan, pada saat kerja bakti (gotong royong). Pada saat gotong royong berlangsung dimana semua orang sedang bekerja tetapi ada satu orang yang malas dan meletakkan tangannya di pinggang atau ia lebih banyak berbicara dari pada bkerja maka orang-orang akan mengatakan “lagu reje”.

Tidak ada catatan dan penuturan lisan  yang jelas yang dapat dijadikan sumber informasi tentang sikap dan prilaku keseharian reje ketika berhadapan dengan rakyat, dari ungkapan yang berkembang di dalam kehidupan masyarakat sedikit bisa kita pahami bahwa prilaku kehidupan reje sangat jauh dari kehidupan masyarakat.

Sehingga anggapan tentang kehidupan reje di mata masyarakat selalu mengarah kepada hal-hal yang tidak boleh atau tidak sanggup di ikut oleh masyarakat, ini mungkin berbeda dengan prilaku Rasul Muhammad yang seluruh kehidupannya mencerminkan kesederhanaan dan dapat diikuti oleh semua orang.(jamhuriungel[at]yahoo.co.id)

* Pengkaji dan Pemerhati Budaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.