Oleh : Ghazali Abbas Adan *
MoU Helisinki dan UUPA adalah untaian huruf yang teramat sering disebut eksekutif dan legislatif Aceh selama ini, termasuk oleh sosok yang digadang-gadang sebagai Wali Nanggroe. Selanjutnya saya letakkan dalam dua tanda kutip, yakni “Wali Nanggroe”. Dan ketika menyebut MoU Helsinki dan UUPA juga lebih khusus adalah tentang “Wali Nanggroe”, bendera dan lambang, disertai mobilitas fisik, dengan menguras uang rakyat wira wiri, hudah huduh ke berbagai kota di tanah air demi “Wali Nanggroe”, bendera dan lambang itu. Sementar diantara tiga hal ini lebih utama dan diutamakan lagi adalah ihwal “Wali Nanggroe”. Ia di atas segalanya.
Demikian Gubernur pernah bertitah. Bahwa banyak suara dari berbagai elemen masyarakat menyatakan tiga hal itu tidak lebih penting dibandingkan isi MoU Helsinki dan UUPA berkaitan dengan hal-hal yang bersentuhan langsung dengan hidup kehidupan rakyat banyak. Yang lebih eksplisit dituntut untuk segera diwujudkan, seperti Qanun Jinayah, Acara Jinayah, KKR dan Pengadilan HAM. Isinya sesuai harapan rakyat, bukan asal jadi mengikuti selera (h’eut) eksekutif dan legislatif, namun sepertinya telinga mereka sudah sumbat (ka dhoe) dan terus memakai “kaca mata kuda” sehingga yang tampak adalah isi MoU Helsinki dan UUPA tentang hal-hal tersebut, teristimewa lagi “Wali Nanggroe” itu.
Karenanya dalam tulisan ini fukus bahasannya hanya tentang “Wali Nanggroe”, merespons bagian dari isi wawancara sang “Wali Nanggroe” dengan pewarta Serambi Indonesia (28 dan 29/11/2013), di bawah sub judul, Kata “Wali” Dalam Al-Quran, Konsisten Dengan MoU Helsinki dan UUPA, Pro-kontra LWN, Penegakan HAM dan Syati’at Islam.
Kata “Wali” Dalam Al-Quran
Apabila saya tidak salah hitung, dalam Al-Quran terdapat 44 kali kata “wali” (Dr Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fazh Al-Qur-an al-Karim). Di antaranya adalah kata “wali” dalam surat Al-Ma-idah, ayat 55; “Wahai kaum mukmin, pelindung (wali) kalian adalah Allah dan Rasul-Nya dan orang-orang mukmin yang melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, dan tunduk kepada (ketentuan/aturan/hukum) Allah”.
Semoga saya tidak salah memahami ayat ini, bahwa yang menjadi pelindung (wali) orang-orang mukmin adalah Allah dan Rasul-Nya. Dan apabila dikalangan sesama manusia harus memenuhi kriteria, ia orang beriman (mukmin), melaksanakan shalat, mengeluarkan zakat, serta tunduk dan patuh pada ketentuan/aturan/hukum Allah. Dengan penjelasan sebagai berikut;
Pertama, orang beriman (mukmin). Dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat mendefinisikan orang beriman. Diantaranya, pertama, orang-orang yang ketika mendengar nama Allah disebut, hati mereka gemetar. Dan ketika Al-Quran dibaca kepada mereka, iman mereka bertambah kuat, serta beratwakal hanya kepada Allah. Melakukan shalat dan mendermakan sebagian rizki yang Allah telah berikan kepada mereka (QS, Al-Anfal, ayat 2-3). Kedua, laki-laki dan perempuan saling mendukung dan tolong menolong pro-aktif, tegas, berani dan transparan melakukan amar ma’ruf, nahi munkar (QS, At-Taubah, ayat 71). Ketiga, tidak ada keraguan melalui ucapan dan tindakan menunjukkan keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya, berjuang dengan sungguh-sungguh dengan harta dan jiwa untuk membela Islam dan syari’at-nya (QS, Al-Hujurat, ayat 15).
Kedua, melaksanakan shalat. Shalat ini adalah kewajiban mutlak bagi setiap mukmin/muslim akil baligh. Ia tidak hanya sebagai rutinitas ritual, tetapi juga khusyuk, yakni dikerjakan sesuai rukun dan syarat, serta fungsional yang termanifestasikan dalam hidup dan kehidupannya terhindar dari perbuatan keji dan munkar.
Ketiga, mengeluarkan zakat. Hal ini hanya berlaku atas kaum muslimin di mana harta yang dimilikinya sudah sampai nishab, niscsya harus menunaikannya.
Keempat, tunduk dan patuh pada ketentuan/aturan/hukum Allah dan Rasul-Nya. Hal ini juga harus diwujudkan dalam berbagai aspek hidup dan kehidupan dirinya, menjadi ikutan dan teladan yang baik (qudwah wa uswah hasanah) bagi rakyat, juga melalui rupa-rupa media, berdasarkan nash-nash qath’i mampu dan mau menjelaskannya kepada masyarakat luas.
Menurut saya, seperti inilah sejatinya kriteria dasar bagi “wali” dalam konteks sesama manusia, sesuai dengan teritori, serta spesifikasi fungsi dan tugasnya. Termasuk juga Wali Nanggroe dalam teritori, serta spesifikasi fungsi dan tugasnya di Aceh.
Konsisten Dengan Mou Helsinki dan UUPA
Terlepas dari fakta yang ditampilkan selama ini sebagaimana saya diskrepsi di atas, kita sangat mengharapkan watak kenegarawanan eksekutif dan lagislatif Aceh, demikian pula “Wali Nanggroe”, niscaya konsisten dengan semua isi MoU Helsinki dan UUPA secara “kaffah”.
Khusus terhadap “Wali Nanggroe” dalam kaitan dengan jawaban dari pertanyaan, “bila Qanun WN yang belum dikoreksi Mendagri digunakan sebagai dasar pengukuhan apakah Meuntroe bersedia?”. “Ini adalah kewenangan Pemerintah Aceh dan DPRA. Saya hanya menanti bagaimana keputusan Pemerintah Aceh dan DPRA. Itu saja” (Serambi, 28/11/2013). Jawaban seperti ini jelas tidak sesuai dengan bunyi dan ruh alinea kedua mukadimah MoU Helsinki bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan harus patuh, tunduk dan terikat dengan konstitusi NKRI. Karena menurut konstitusi NKRI, bahwa Perda/Qanun tidak boleh diimplementasikan sebelum disetujui Mendagri. Akan halnya Qanun WN sampai saat diwawancara belum disetujui. Sama nasibnya dengan Qanun Bendera dan Lambang. Kalau memang dalam rangka bagi-bagi tampouk (jabatah/kekuasaan) dan tumpouk (harta/kekayaan) sudah ngebet dan nekat untuk dikukuhkan dengan dalih keputusan Pemerintah Aceh dan DPRA, sekalian saja nekat pada hari pengukuhan itu seluruh kantor pemerintah dalam teritori Aceh, dari kantor Gubernur sampai Keuchik, plus kantor Perwakilan Pemerintah Aceh di Medan dan Jakarta, demikian pula kantor DPRA/DPRK seluruh Aceh dipasang bendera bintang bulan. Kop surat resmi langsung diganti dengan singa buraq, tidak perlu bergantung pada persetujuan Mendagri.
Pro-Kontra LWN
Berkaitan dengan pro-kontra masyarakat mengenai Lembaga Wali Nanggroe, sang “Wali Nanggroe” tidak bisa dengan ringan menyatakan itu sesuatu yang biasa dan dinamika politik, disertai rupa-rupa ungkapan basa basi lainnya. Ini adalah jawaban yang tidak realistis dan kurang fungsional saraf peka terhadap gejolak dalam masyarakat, kian berani, tegas dan meluas. Terhadap hal ini saya memprediksi, apabila “Wali Nanggroe” berani nekat untuk dikukuhkan, maka fungsi dan tugasnya sebagai pemersatu dan pemimpin adat seluruh rakyat Aceh yang heterogen akan tidak berhasil. Dia tidak bisa berkelililng, blusukan ke segenap penjuru tanah Aceh dalam upaya mewujudkan fungsi dan tugasnya itu. Mengapa demikiah ? Melihat ekspresi dan aksi berbagai elemen masyarakat yang kontra semakin massif, tegas, berani, transparan dan kian meluas, saya khawatir, agaknya sang “Wali Nanggroe” tidak bisa mengharapkan sambutan dengan ekspresi wajah ramah dari sementara kalangan masyarakat dalam teritori Aceh, alih-alih menyambutnya dengan hamparan karpet merah dan kalungan bunga sesuai selera dan penampilannya yang flamboyan selama ini sebagaimana pula ditunjukkan melalui foto ketika wawancara berlangsung itu. Tapi entahlah, boh jouk boh peulangan, watee ka deuh tabouh nan.
Penegakan HAM, Demokrasi dan Syari’at Islam
Akan halnya pernyataan tentang upaya pemajuan, penghormatan dan penegakan hak asasi manusia yang juga bagian dari amanah MoU Helsinki dan UUPA, berdasarkan fakta selama ini di Aceh, “Wali Nanggroe” belum menunjukkan kepeduliannya. Dalam tulisan ini saya tidak membeberkan lagi fakta brutalitas dan perilaku anti demokrasi dan hak asasi manusia yang dipertontonkan gerombolan fasis di Aceh yang korbannya anak-anak bangsa sendiri (lihat: Hasanuddin Yusuf Adan-Said Azhar: editor, Konsistensi Ghazali Abbas Untuk Hak Asasi Manusia, Demokrasi & “Kemerdekaan” Aceh, Adnin Foundation Publisher, 2012). Sejauh pantauan saya, dalam waktu yang bersamaan pula tidak terdengar suara dan sikap “Wali Nanggroe”. Ini sisi lain inkonsistensi “paduka yang mulia” terhadap amanah MoU Helsinki dan UUPA.
Dalam UUPA ada satu bab tersendiri tentang Syari’at Islam dan Pelaksanaannya di Aceh. Bab ini salah satu dari bab UUPA yang menjadi ikon bagi kaum muslimin dan muslimat di Aceh. Berkenaan dengan syari’at Islam ini pula, dalam UUPA, pasal 96, ayat (1), dan pasal 99, ayat (1) sekaitan dengan fungsi dan tugas Wali Nanggroe sebagai sosok independen dan non partisan yang merupakan kepemimpinan adat disebutkan; “Pembinaan adat dan adat istiadat dilakukan sesuai dengan perkembangan keistimewaan dan kekhususan Aceh yang berdasarkan pada NILAI-NILAI SYARI’AT ISLAM dan dilaksanakan oleh Wali Nanggroe”. Tetapi dalam dua seri tanya jawab wawancara khusus dan eksklusif (Serambi, 28 dan 29/2013) tidak satu katapun “Wali Nanggroe” berbicara tentang syari’at Islam.
Sejatinya, apabila “paduka yang mulia” memiliki ruh terhadap pengamalan dan penegakan syari’at Islam rahmatan lil ‘alamin, serta peka dengan aspirasi dan keinginan (h’eut) kaum muslimin dan muslimat di Aceh, yang juga bersentuhan dengan fungsi dan tugas Wali Nanggroe sebagaimana amanah UUPA itu, kendatipun pewawancara tidak sempat bertanya tentang hal tersebut, bisa saja dia berinprovisasi dengannya, sekaligus menjadi tawshiyah sang “Wali Nanggroe” tentang syari’at Islam kepada segenap kaum mislimin dan muslimat di Aceh Nanggroe Syari’at. Wallaahu ‘alamu bish-shawab.
Anggota MPR/DPR-RI 1992-2004, anggota Majlis Syura Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Aceh, Ketua Majelis Dakwah Komite Penguatan Aqidah dan Peningkatan Amalan Islam (KPA-PAI) Pemko Banda Aceh.*