Pemilu dan Kalimat Menyesatkan

Oleh : Muhamad Hamka*

Selama ini ada yang salah dalam cara kita berfikir. Dan celakanya, kesalahan ini sudah terjadi secara kolektif. Kita sering kali mendengar; apakah itu dari politikus, aktivis, akademisi, pekerja LSM, hingga masyarakat itu sendiri sebuah kalimat sederhana namun punya dampak negatif bagi masa depan demokrasi negeri ini.

Kalimat sederhana itu adalah ‘ambil uang atau barangnya tapi jangan pilih orangnya’. Kalimat ini sering kali kita dengar tiap kali pemilu; apakah itu di pilkada, pilpres ataupun pada pemilu legislatif yang sudah di depan mata. Mungkin kita berfikir dengan melontarkan kalimat tersebut maka persoalanya akan selesai, padahal tidak sesederhana itu. Dalam artian masyarakat dapat uangnya, calegnya merana karena ia tidak di pilih. Persepsi ini jelas keliru, kenapa?

Pertama, dari perspektif teologis (Islam) tindakan semacam ini jelas tidak benar. Kita mengambil hak sementara kita tidak menunaikan kewajiban, apalagi hak tersebut tak halal, itu satu sisi. Sementara pada sisi yang lain, kita telah melacuri akal dan menipu nurani. Kenapa, karena kita sudah tahu itu perbuatan yang tak benar namun kita masih melakukanya juga.

Kedua, dari perspektif psikologis. Kalau kita bedah dari sudut pandang psikologis, ketika orang memberikan sesuatu pada kita, maka sudah jelas kita punya ‘beban’ secara psikologis. Sebagai efek dari ‘beban’ psikologis tersebut, minimal kita bergumam dalam hati, baik sekali orang ini. Pernyataan ‘baik sekolah orang ini’ dalam konteks caleg, implikasinya adalah secara tidak sadar kita telah membenarkan apa yang dilakukan oleh caleg (membeli hak politik kita dengan uang), juga akan ter-endap dalam alam bawah sadar bahwa kita punya ‘utang’ yang harus kita bayar, yakni dengan cara memilihnya.

Bahkan karena sudah terima uang/barang dari beberapa orang caleg, maka mulailah dibagi; isteri untuk caleg ini, suami untuk caleg itu, anak untuk caleg anu. Lantas kita bilang masyarakat sekarang sudah cerdas, walaupun dikasih uang oleh caleg mereka tak akan memilih. Selama masyarakat menerima uang dan atau barang dari caleg, maka selama itu pula masyarakat kita masih di posisikan sebagai ‘komoditas’ yang dapat di beli.

Ketiga, kalau kalimat menyesatkan ini masih juga di populerkan, maka tak ada efek jera bagi politikus busuk untuk membeli hak politik masyarakat. Caleg busuk jelas menggunakan alur berfikir dengan sudat pandang psikologis diatas. Bagi caleg busuk, selagi masyarakat mau di beli hak politiknya, maka selama itu pula ia punya harapan akan di pilih. Omong kosong kalau ia tidak pilih. Sehingga caleg tetap menjadikan uang ataupun barang untuk membeli hak politik konstituen.

Kalimat harus di ubah

Untuk itu, kalimat menyesatkan ini harus di ubah dengan ‘tolak uang atau barangnya, jangan pilih orangnya’. Kalau ini yang kita gemakan dan masyarakat mengaplikasikanya, maka saya percaya tak ada lagi caleg busuk yang berani membeli hak politik masyarakat dengan segepok uang, segantang beras, sekarung beras dan seterusnya.

Harus di ingat, calon legislatif (caleg) yang tamak dan rakus membeli hak politik rakyat dengan uang atau barang, jangan harap ketika terpilih ia akan memperhatikan kepentingan konstituen (pemilihnya). Alih-alih ia akan mendengarkan aspirasi rakyat, yang ada justru ia menaikkan kaca pintu mobilnya ketika ada konstituen yang menyapanya. Karena logika yang ia pakai adalah logika pasar (ekonomi); saya sudah membeli suara anda dengan uang atau barang, maka sudah selesai urusan kita, tak lebih.

Sehingga jangan heran kalau dana aspirasi yang seyogianya adalah hak rakyat karena sudah memberikan aspirasi (kehendak/pilihan/keinginan) kepada anggota dewan yang terhormat justru diselewengkan oleh yang bersangkutan. Kenapa hal itu terjadi, karena anggota dewan tersebut sudah mengeluarkan uang banyak untuk membeli suara rakyat.

Bahkan tidak sedikit caleg (incumbent) yang menipu rakyat. Katanya, jalan yang saya bangun itu; selokan yang saya buat itu; MCK yang saya bangun itu; semen dan seng yang saya sumbang itu; dan seterusnya dari dana aspirasi. Pertanyaanya sekarang, sejak kapan anggota dewan punya hak mengeksekusi anggaran, itu adalah ranah (wilayahnya) eksekutif.

Pembangunan sarana fisik apapun bentuknya adalah kewenangan dan tugas pemerintah (eksekutif), itu satu point. Point yang kedua, pola atau skema penggunaan dana aspirasi dengan pembangunan sarana fisik hanya menguntungkan anggota dewan yang bersangkutan dan para kroninya (tim sukses dan juga kontraktor/pengusaha pendonor), lantas apa untuk rakyat yang sudah menyalurkan aspirasinya kepada anggota dewan yang bersangkutan.

Dana aspirasi idealnya harus dimanfaatkan untuk peningkatan kesejahteraan rakyat, bukan untuk pembangunan sarana fisik yang notabene domain pemerintah, dan hanya membuat ‘subur’ sekelompok orang. Pola atau tekhnisnya, itu bisa di atur oleh caleg (anggota dewan) yang terpilih. Substansinya, dana aspirasi yang dimiliki oleh anggota dewan harus dialokasikan untuk meningkatkan penghasilan masyarakat (konstituen), bukan untuk pembangunan sarana fisik.

Menjadi pemilih cerdas

Oleh karena itu, agar kita tidak dijadikan komoditas murahan oleh para caleg, maka kita harus menjadi pemilih yang cerdas. Yakni, pemilih yang punya martabat, karena memilih adalah hak yang dijamin oleh konstitusi. Sehingga kita harus menggunakanya dengan cara-cara yang bermartabat, berwibawa dan tidak melanggar hukum.

Ada beberapa hal yang mesti di lakukan oleh pemilih cerdas. Pertama, harus menelusuri rekam jejak setiap caleg. Telusuri pengalamannya, cari tahu apa pendidikanya, dan bila perlu teliti keluarganya. Apakah ia punya punya pengalaman yang akan membantu tugasnya sebagai anggota dewan nanti. Apakah ia memiliki kompetensi (pengetahuan) yang dapat mendukung fungsi dan tugasnya ketika ia duduk menjadi anggota dewan nanti. Apakah ia seorang ayah, ibu, dan anak yang baik di dalam keluarganya. Hal-hal ini penting, karena ini punya implikasi dalam tugasnya sebagai wakil rakyat nanti.

Dan bagi anggota dewan incumbent, cari tahu track recordnya selama duduk sebagai anggota dewan yang terhormat. Apakah ia pernah terindikasi korupsi, melakukan KDRT dan tindakan amoral lainya. Selanjutnya, apa yang sudah ia buat dengan segala fungsi kedewanan yang ia miliki. Apa kontribusi yang sudah ia berikan berkaitan dengan fungsi legislasi, apa yang sudah ia lakukan berkaitan dengan fungsi pengawasan, apa yang sudah ia sumbangkan berkaitan dengan fungsi anggaranya untuk kemaslahatan rakyat banyak.

Juga yang tak kalah penting adalah setiap bertatap muka dengan caleg, kita sebagai konstituen harus menanyakan kepada caleg yang bersangkutan; apa fungsi, tugas dan haknya sebagai anggota dewan. Pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk di ajukan, mengingat Rasulullah SAW sudah dengan jelas menegaskan bahwa ’suatu pekerjaan harus di serahkan kepada ahlinya’. Jangan nanti tukang bual, tukang kawin, tukang tipu, tukang kredit, dan bandit politik kita pilih sebagai wakil kita di parlemen.

Sekali lagi, mari kita menjadi pemilih yang cerdas dengan menggemakan kampanye jangan pilih politikus busuk; tolak uang atau barangnya dan jangan pilih orangnya.

Warga Takengen*

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.