Walau kaya hasil perkebunan berupa kopi, juga sebagai sentra produksi pertanian berupa sayur-sayuran namun ternyata produksi beras di Kabupaten Bener Meriah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat setempat, sehingga dibutuhkan pasokan beras dari luar.
Selain beras yang tidak cukup, lahan persawahan di kabupaten tersebut juga sangat minim, sehingga ketergantungan pasokan dari luar daerah terhadap bahan makanan pokok ini tak bisa dipungkiri.
Sebanyak 70 persen atau 7 dari 10 kecamatan di Kabupaten Bener Meriah, Provinsi Aceh, saat ini membutuhkan pasokan beras dari luar daerah. Tujuh kecamatan ini mengalami minus produksi beras, karena jumlah kebutuhan beras masyarakat pertahunnya lebih besar ketimbang produksi beras.
Diantara ke-7 kecamatan yang mengalami minus produksi beras pertahunnya tersebut adalah Kecamatan Pintu Rime Gayo, Gajah Putih, Weh Pesam, Bandar, Belang Jorong, Syiah Utama dan Permata.
Sementara Kecamatan Timang Gajah dan Bukit yang memiliki lokasi areal persawahan penciutan jumlah luas lahan untuk dijadikan lahan lain belum begitu banyak, namun sebagian dari petani tersebut ada yang memanen padi setahun dua kali dan ada juga hanya sekali panen dalam setahunnya..
Seperti di Kampung Tingkem Kecamatan Timang Gajah, salah seorang petani padi, Jul mengatakan setiap tahunnya mereka memanen padi dua kali, di sela-sela waktu yang kosong menanam padi, mereka menyelingi dengan menanam palawija.”Untuk mencari tambahan dari tanaman lainnya,” ungkap Jul.
Namun, kenyataannya produksi beras lokal di Bener Meriah tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di kabupaten itu. Selain lahan persawahan yang masih sedikit, masyarakat petani juga harus mendapatkan tambahan lain untuk menopang hidup mereka diluar dari bertani sawah.
Dari data yang dihimpun Lintas Gayo pada Dinas Pertanian, Tanaman Pangan dan Holtikultura Kabupaten Bener Meriah, daerah tersebut hanya memiliki lahan persawahan produktif seluas 3.312 Hektar dengan hasil produksi 4,3 ton perhektar pada setiap tahunnya.
Sementara itu data statistik menunjukkan angka pertumbuhan penduduk di kabupaten penghasil kopi ini cukup tinggi, mencapai 3,08 persen setiap tahunnya. Sedangkan jumlah penduduk yang ada pada saat ini sebanyak 126.043 jiwa.
“Untuk tahun ini saja, dibutuhkan 17.538.9 ton beras guna dikonsumsi masyarakat,” ungkap Ir. Rusman, Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Holtikultura Kabupaten Bener Meriah.
Selama ini, petani Bener Meriah hanya mampu menghasilkan beras sebanyak 10.445.7 ton pertahun,”Kita masih kekurangan sebanyak 7.093.2 ton, jika dihitung dengan rata-rata pertumbuhan jumlah penduduk seperti di atas. Maka, pada tahun 2012 jumlah penduduk di Bener Meriah mencapai 129.925, dengan demikian kebutuhan konsumsi beras sebanyak 18.079 ton, begitu juga tahun berikutnya, pasti meningkat,” papar Ir. Rusman.
Lebih lanjut, Kepala Dinas ini mengatakan, solusi yang ada untuk mengimbangi kurangnya beras di kabupaten tersebut. Pemkab telah mencanangkan penambahan luas areal sawah baru (baku sawah) seluas 3000 hektar. Sedangkan tahun ini masih di cetak seluas 100 hektar.
Dan upaya yang lainnya yang telah dilaksanakan saat ini yakni meningkatkan indek pertanaman (IP), peningkatan mutu intensifikasi, serta penanganan panen dan pasca panen. Karena di Bener Meriah pertanian adalah sebagai poros penggerak perekonomian rakyat, sebut Rusman.
Belum lagi menghadapi kurangnya produksi beras di kabupaten tersebut, masyarakat juga akan menerima kenyataan lain. Yakni, naiknya harga beras di pasaran dan itu tidak bisa dielakkan. Padahal, berdasarkan peraturan menteri pertanian/dewan ketahanan pangan No.05/Permentan/PP.200/2/2011 telah menetapkan harga beras secara nasional.
Untuk beras kualitas premium 1 (satu) Rp.5.850/kg, premium 2 (dua) Rp.5.560/kg. Sedangkan harga beras kualitas medium Rp.5.060/kg dan kualitas rendah Rp.4.815/kg.” Ini adalah harga sesuai dengan peraturan Menteri yang telah ditetapkan. Sementara itu, harga beras lokal saat ini berkisar Rp.8000/kg lebih mahal dari beras luar,” ungkap ir Rusman.
Terkait persoalan ini, Ir Suterisno anggota DPRK Bener Meriah dari Komisi B yang membidangi pertanian menyebutkan, pada prinsipnya pihaknya sangat mendukung kegiatan perluasan lahan persawahan. Apalagi masyarakat kabupaten ini mayoritas petani.“Ada beberapa lahan yang akan dicetak menjadi persawahan, kemungkinan ada beberapa kendala yakni seperti di Samarkilang harus mengurus ijinnya dulu. Karena yang akan dibuka untuk percetakan lahan sawah baru tersebut hutan lindung atau produksi,”sebutnya.
Selanjutnya, ada juga pembukaan lahan baru di dataran Diana, Kecamatan Pintu Rime Gayo namun hingga saat ini belum juga ada hasilnya. Padahal mulai dari pengairan untuk mendukung lahan sawah tersebut sudah disahkan dananya oleh DPRK.
“Kita juga tidak bisa menyalahkan dinas, mungkin saat itu anggota DPRK juga kurang dalam melakukan kontrol. Kami juga ingatkan kepada dinas terkait agar serius dalam mendorong dan membina para petani padi. Jangan lahan yang sudah ada di alih fungsikan, tapi cetak lahan baru,” harap Ir. Suterisno.
Hasil penelusuran Lintas Gayo, secara nasional menurut perhitungan berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang ada, Indonesia seharusnya surplus beras sebesar 4 juta ton. Tapi, tak demikian di lapangan. Masih ada surplus 4 juta ton, lalu angka itu ke mana? Seperti yang dipertanyakan Deputi Bidang Statistik Produksi Badan Pusat Statisitik (BPS), Subagio Dwijosumono.
Dilanjutkannya, menurut data yang ada, asumsi konsumi makanan (beras) rakyat Indonesia adalah 139,15 kg per kapita per tahun. Jika angka 139 ini dikalikan dengan jumlah penduduk indonesia yang mencapai 237 juta, maka keluar angka kebutuhan beras nasional sebesar 34 juta ton. Sementara itu, konversi dari hasil giling gabah bisa mencapai 38 juta ton.
Memang ada yang mengatakan kemungkinan loses 15 persen. Tapi secara perhitungan tetap saja surplus. Perhitungkan surplus 4 juta. Kalau loses 15 persen, masih surplus 3 juta. Oleh karena itu, lanjutnya, BPS akan mengoreksi angka konsumsi beras per kapita yang kemungkinan tak lagi valid.
Saat ini pihak BPS sedang melakukan berbagai penelitian dengan menghimpun berbagai macam data. Tahun 2011 ini akan ada beberapa survei lapangan untuk mengetahui berapa konsumsi orang di restoran dan yang makan di hotel. Sehingga diketahui berapa porsi makan orang di luar rumah.
Selain BPS ada juga pernyataan sebaliknya, berdasarkan peta orang lapar yang dibuat oleh Food and Agricultural Organization (FAO), hampir di seluruh wilayah Indonesia termasuk daerah rawan pangan. Kenapa hal ini sampai terjadi? Padahal, Indonesia dikenal dengan negeri yang subur dan makmur.
Sedangkan, menurut Hasan Asqalani Direktur di Institute for Rural Development (IRD) Alumni Universitas Maastricht Belanda mengatakan, ternyata, 56,5 % dari 25,4 juta keluarga petani yang ada di Indonesia adalah petani gurem, yang memiliki lahan kurang dari 0,5 hektar. Padahal, untuk sekedar survive petani minimal harus memiliki lahan 1 hektar.
Maka, menurutnya, tidak heran, bahwa hampir 60 % dari petani Indonesia adalah masuk dalam kategori miskin (pendapatan di bawah $US 2 per hari). Bagaimana mungkin, petani yang miskin akan menjadi penyangga utama penyedia pangan untuk seluruh rakyat Indonesia?. Dari analisa ini, menurutnya, ada dua hal yang harus menjadi perhatian utama pemerintah untuk menjamin ketersediaan pangan bagi rakyat.
Pertama, petani sebagai produsen pangan harus dijamin kesejahteraannya. Hal ini sangat penting untuk memotivasi kinerja petani agar secara sungguh-sungguh mewujudkan ketersediaan pangan. Petani akan enggan menanam padi misalnya, kalau hal itu tidak akan memberikan keuntungan bagi mereka.
Kedua, kalau dilihat dari perhitungan diatas, ternyata produksi pangan mencukupi, tetapi busung lapar masih terjadi, maka masalahnya adalah distribusi. Peta produksi pangan (wilayah surplus dan minus) secara akurat harus dimiliki oleh pemerintah, untuk memastikan pendistribusiannya ke berbagai tempat yang kekurangan. Disini sebenarnya fungsi Bulog harus dijalankan dengan sesungguhnya.
Dan menurut Hasan Asqalani, solusi dari rawan pangan, untuk menjamin kesejahteraan petani dan distribusi pangan, ada beberapa hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah. Pertama, agenda land reform yang diamanatkan oleh Undang-undang Pokok Agraria no. 5 tahun 1960, dan dikuatkan dengan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA), harus segera dilaksanakan. Hal ini untuk menjamin bahwa petani bisa memperoleh lahan yang layak untuk produksi pangan.
Kedua, karena banyak petani yang hanya memiliki lahan sempit, maka perlu dibangun corporate farming. Dalam konsep ini, petani-petani kecil akan bergabung dalam satuan areal yang luas untuk memproduksi pangan secara bersama-sama. Hal ini akan menjadikan proses produksi lebih efektif dan efisien waktu, biaya dan tenaga. Disamping itu, petani juga bisa melakukan argaining dengan pembeli (tengkulak), karena mereka menjualnya dalam jumlah yang banyak secara kolektif.
Ketiga, pemerintah harus bisa menjamin akses pasar dan modal bagi petani. Seringkali, kedua hal tersebut menjadi kendala bagi petani untuk melangsungkan proses produksinya. Akses modal akan menjamin selesainya proses produksinya dengan baik, sedangkan akses pasar akan menjamin harga yang layak bagi petani.
Keempat, sebenarnya fungsi Bulog sebagai pengaman ketersediaan pangan adalah sangat strategis. Hanya saja, Bulog tidak berhubungan langsung dengan petani, tetapi menggunakan perantara kontraktor sebagai pemasok gabah dengan berbagai persyaratannya. Hal ini menimbulkan lemahnya akses petani terhadap program pengadaan pangan Bulog. Dan akhirnya, yang menikmati keuntungan tetap saja para pedagang besar. (Aman Buge/03)