Oleh: Wen Yusri Rahman, M.Pd*
Tepat pada 7 Januari 2015, Kabupaten Bener Meriah genap berusia 11 (sebelas) tahun. Usia yang masih muda, sejak dimekarkan dari Kabupaten Aceh Tengah. Dengan usia muda itu, roda pemerintahannya juga seperti “anak-anak” yang sedang belajar berjalan dan menyuap nasi sendiri.
Sebelas tahun yang lalu, roda pemerintahan di kaki Gunung Burni Telong dikendalikan oleh pegawai negeri sipil (PNS) yang bertugas di Kabupaten Aceh Tengah. Baik yang berdomisili di Takengen maupun yang bertempat tinggal di Redelong (ibukota Bener Meriah). Begitu juga dengan instansi-instansi vertikal yang ada, dijalankan dan “dimainkan” oleh orang yang bukan asli memiliki “darah” Bener Meriah.
Kini Bener Meriah dipimpin oleh bupati yang kedua, Ruslan Abdul Gani yang dipilih langsung oleh rakyat, setelah bupati pertama yang dipilih langsung ialah Tagore Abu Bakar, yang kini menjadi anggota DPR RI periode 2014-2019. Sejak kepemimpinan mereka, selalu dihimbau kepada PNS untuk menetap di Bener Meriah dan hijrah dari Takengen maupun daerah lainnya. Tapi hal itu rasanya masih sulit tercapai meski sudah ada dibangun perumahan PNS dengan angsuran ringan di daerah kampung Bale Atu, tepat di depan komplek Bandara Rembele, Kecamatan Bukit.
Sejumlah posisi strategis pun masih juga dikuasai orang luar daerah, baik eksekutif maupun legislatif, termasuk Bupati Bener Meriah dan Wakil Bupatinya. Sepengetahuan penulis, mereka bertempat tinggal di luar Bener Meriah, meski mereka tetap putra daerah. Jikalau usai sudah masa kepemimpinan mereka, penulis yakin mereka tidak akan bertempat tinggal di Bener Meriah.
Bukanlah satu kesalahan besar bila jabatan strategis diduduki oleh orang luar Bener Meriah, sepanjang apa yang mereka kerjakan untuk rakyat, mampu bertangung jawab serta menunjukkan kinerja yang baik. Tapi sangat banyak juga pegawai yang sudah mengabdikan diri puluhan tahun, mampu, kinerja baik, memiliki kompetensi malah disingkirkan bahkan tidak mendapat jabatan apapun hingga masa pensiun. Tidak ada penghargaan diberikan atas jasa mereka sebagai perintis pemerintahan di Bener Meriah.
Kini para pejabat seperti terlihat hanya menjalankan roda pemerintahan untuk dirinya sendiri. PNS yang mendapat posisi “strategis” semakin kaya dari pajak yang dibayarkan masyarakat. Disisi lain, ada yang hanya menghabiskan gaji bulanan untuk transportasi dan uang rokok di kantor karena tidak tahu apa yang harus dikerjakan.
Selama kepemimpinan Ruslan Abdul Gani sering dilakukan mutasi pejabat eselon II dan III. Sehingga masyarakat bingung, dengan system penempatan pejabat di Bener Meriah, yang akhirnya pejabat itu sendiri bingung apa yang harus dikerjakan. Belum juga menguasai problematikan diinstansinya, sudah dimutasi kembali. Hal itu penulis dapatkan dari beberapa pegawai yang menduduki eselon III. Salah satunya berkata, “Saya masih menjajaki. Saya tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Mungkin tiga bulan lagi saya sudah dimutasi lagi,” kata salah satu Kabag di setdakab Bener Meriah yang sebelumnya dalam setahun terakhir sudah 3 kali dimutasi.
Miris sekali mendengar pernyataan di atas, pejabat eselon III masih belum tahu apa yang harus dia kerjakan. Untuk tugasnya sendiri dia belum tahu, bagaimana pejabat itu bisa bekerja untuk rakyat Bener Meriah, yang masih dikatakan daerah tertinggal. Entah kapan masyarakat bisa merasakan sentuhan pembangun fisik dan pembangunan sumber daya manusia yang lebih baik di Negeri Burni Telong itu.
HUT Bener Meriah (hanya) Milik Pegawai BM
Berbicara HUT 11 tahun Bener Meriah, rasanya tidak salah kalau penulis menyatakan Bener Meriah hanya milik pegawai. Hal itu terlihat jelas, dari sejumlah rangkaian acara HUT Bener Meriah ke XI, dilaksanakan pemkab setempat.
Sebut saja acara fun bike, yang dihadiri hanya puluhan warga Bener Meriah dan selebihnya pegawai yang domisili Aceh Tengah. Acara itu terlihat ramai karna didukung anggota Batalyon Satria Musara, serta pencinta sepeda dari Takengen. Dampaknya, doorprize yang disediakan panitia akhirnya berakhir ditangan para “pejabat”. Pasalnya dari mereka banyak mengantongi kupon lebih dari lima perorangnya. Sehingga, semarak HUT BM dengan tema Musara tidak menyentuh dan menghibur masyarakat biasa.
Ada juga acara dzikir akbar yang dilakukan di Lapangan Sengeda. Acara itu juga milik pegawai karena diwajibkan padanya. Sedangkan masyarakat hanya beberapa unsur saja. Yang terlihat meramaikan: forum komunikasi pimpinan daerah, PNS, camat-camat, majlis taklim dan sejumlah pelajar (peserta hanya memadati pangung utama). Bagi yang bisa menilai, kegiatan zikir akbar hanya seremonial sehingga ruh dari berdoa bersama tidak dirasakan oleh masyarakat, untuk Bener Meriah yang lebih baik.
HUT BM ke XI hanya akan dirasakan warga saat pacuan kuda tradisional, karena hiburan turun temurun bagi warga kalangan ekonomi rendah. Jangan harap ada penghargaan yang fantastik, terlebih bagi orang-orang yang berjasa dalam pembentukan pemerintahan Kabupaten Bener Meriah. Bak kacang lupa kulitnya.
Lain itu, kita tidak pernah banyak mendengar kemajuan yang sudah dilakukan pemerintah. Ada media di BM, tapi publikasi kosong. Roda pemerintahan berjalan tanpa kontrol sosial. Sehingga beberapa tahun belakangan, yang ada kabar beredar, tapal batas yang sudah dicaplok daerah lain sedangkan pemerintahan BM hanya diam. Kasus korupsi dana masjid, kasus pengadaan bibit kopi, kasus pungutan uang dari honorer K2, kasus meninggalnya warga terinjak gajah, indikasi kutipan pengurusan kenaikan pangkat pegawai. Ada lagi kasus pemukulan terhadap pegawai di RS Muyang Kute dan lebih mengemparkan kasus pemukulan bupati oleh anggota dewan.
Sebagai warga kita harus bilang apa lagi. Harus menunggu berakhirnya masa kepemimpinan Ruslan-Rusli?. Menunggu masa kejayaan BM di tangan pemimpin yang baru? Atau sejak dari sekarang bergerak dan membuat revolusi untuk kesejahteraan masyarakat???
* Alumni Pascasarjana Unsyiah, Cucu dari Alm. H. Salihin Rousdy Kampung Reje Guru Kecamatan Bukit, Bener Meriah