Oleh : Yusradi Usman al-Gayoni*
Di Aceh, sekurang-kurangnya terdapat sebelas bahasa daerah, yakni bahasa Aceh, Gayo, Alas, Tamiang, Aneuk Jamee, Kluet, Singkil, Haloban, Simeulue, Devayan, dan bahasa Sigulai (Daud: 2006). Secara keseluruhan, yang paling banyak penuturnya adalah bahasa Aceh. Bahasa Aceh dituturkan lebih dari sejuta penutur.
Selanjutnya, bahasa Gayo, yang penuturnya sekitar 500 ribu (al-Gayoni: 2009). Selebihnya, tergolong bahasa minor yang jumlah penuturnya lebih kecil lagi. Besarnya penutur bahasa tidak menjamin kebertahanan suatu bahasa. Kelangsungan bahasa terletak pada penuturnya. Dengan kata lain, sejauh mana sebuah bahasa dipakai, dipelajari, dan ditransmisikan kepada generasi yang lebih muda.
Demikian halnya dengan bahasa Aceh, meski didukung dengan jumlah penutur yang besar, bahasa Aceh bisa kritis bahkan menuju ambang kepunahan bila penuturnya mulai meninggalkan bahasa ini. Kalau kondisinya sudah demikian, bahasa Aceh dapat punah empat sampai lima generasi lagi (al-Gayoni, Serambi Indonesia, 3/7/2010). Lebih-lebih kondisi dewasa ini menunjukkan bahwa bahasa Aceh mulai ditinggalkan generasi muda, khususnya yang mendiami seputar kota di titik-titik persebaran bahasa Aceh di Provinsi Aceh. Pastinya, secara evolutif, kondisi demikian akan berpengaruh terhadap kelangsungan dan kebertahanan bahasa Aceh. Kalau bahasa Aceh dengan penutur di atas 1 juta saja demikian, bagaimana dengan bahasa-bahasa minor lainnya di Aceh? Sudah barang tentu, kondisinya lebih mengkhawatirkan bila tidak dilakukan upaya-upaya penyelamatan.
Dalam bukunya Vanishing Voices the Extinction of the World’s Languages, Daniel Nettle dan Suzzane Romaine menyebutkan bahwa bahasa yang didukung kurang dari 100 penutur begitu mendekati kepunahan. Berdasarkan data Ethnologue SIL, 90% populasi dunia menuturkan 100 bahasa yang biasa dipakai. Hal tersebut berarti bahwa paling tidak terdapat 6000 bahasa yang dipakai oleh sekitar 10% penutur di dunia. Michael Krauss, seorang Linguis (ahli bahasa) dari Alaska Native Language Center menyebutkan bahwa dengan menyertakan semua bahasa yang penuturnya lebih dari 100.000 orang, diperkirakan hanya 600 bahasa yang “aman.” Beliau menyakini bahwa beberapa diantaranya bisa dianggap memiliki jaminan masa depan. Dengan kata lain, kebanyakan bahasa-bahasa di dunia kemungkinan berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan (kepunahan) (2000: 8).
Krauss (1991: 160-3) mengklasifikasikan tiga tingkat bahasa yang dikatakan “terancam/bahaya,” yaitu safe (aman), endangered (terancam) dan extinct (punah). Krauss menambahkan bahwa bahasa dikatakan hampir mati saat bahasa tersebut tidak lagi dipelajari anak-anak sebagai bahasa ibu (1992: 4). Sementara itu, Kincade (1991: 160-3) membedakan bahasa yang aman dan tidak aman berdasarkan lima tingkatan, yaitu (1) viable (bertahan), didukung penutur yang besar dan tidak adanya ancaman; (2) viable but small (bertahan tapi kecil) terdapat lebih dari 1000 penutur, dituturkan dalam komunitas yang terisolasi (dengan organisasi internal yang kuat) dan bahasa dianggap sebagai penanda identitas; (3) endangered (terancam) digunakan dengan penutur yang memadai supaya memungkinkan untuk bertahan; (4) nearly extinct (mendekati kepunahan) kemungkinan tidak bertahan, karena hanya dituturkan sebagian orang tua; dan (5) extinct (punah) penutur terakhir telah meninggal dunia dan tidak ada lagi tanda-tanda hidup kembali.
Sementara itu, Stephen Wurm (1998: 192) juga mengklasifikasikan lima tingkat klasifikasi, yang memokuskan pada bahasa yang lebih lebih lemah dan memberikan penekanan berbeda soal [bahasa yang] hampir mati, yaitu pertama: bahasa yang berpotensi terancam (potentially endangered languages), bahasa tersebut secara sosial dan ekonomi tidak menguntungkan. Juga, berada di bawah tekanan berat bahasa yang lebih besar, di tambah mulai kehilangan penutur kanak-kanak (lebih muda). Kedua, terancam (endangered languages); anak-anak sedikit yang mempelajari bahasa tersebut atau tidak ada sama sekali dan penuturnya terbilang dewasa. Ketiga, secara serius terancam (seriously endangered languages); dimana penuturnya berumur 50 tahun atau lebih tua. Keempat, hampir mati (moribund languages); menyisakan hanya sedikit sekali penutur yang paham dan kebanyakan sudah sangat tua. Kelima, bahasa yang punah (extinct languages); dimana tidak menyisakan penutur sama sekali.
Penyelamatan
Bahasa menggambarkan identitas, nilai, ideologi, ruh, jiwa, kearifan dan pengetahuan lokal serta lingkungan penuturnya. Saat bahasa daerah punah, maka budaya dan segala sesuatu terkait penuturnya ikut punah. Oleh sebab itu, bahasa daerah di Aceh mesti diselamatkan, karena menggambarkan kekayaan dan identitas keacehan. Hal tersebut dikuatkan dengan tiga pola, yaitu pola pikir, sikap, dan pola tindak yang mengarah pada penyelamatan dan pelestarian bahasa daerah di Aceh. Sebagai akibatnya, keragaman linguistik (linguistics diversity) akan senantiasa tercipta pula dalam ekologi bahasa [berbahasa] di Aceh.
Di sini lain, persoalan bahasa daerah ini dimuat pula dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), khususnya pada bab XXXI pasal 221 ayat (4) yang menegaskan bahwa bahasa daerah diajarkan dalam pendidikan sekolah sebagai muatan lokal dan ayat (5) ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan pemerintah Aceh, dan pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan qanun.
Sayangnya, dalam pelaksanaannya, amanat konstitusi ini kurang berjalan dengan baik. Terlebih lagi, di tingkat kabupaten, tambah pengajaran bahasa-bahasa minor dimaksud. Salah satu kelemahannya adalah kurangnya penyiapan infrastruktur (tenaga pengajar) dalam pelaksanaannya, termasuk soal kurikulum dan silabus yang menyesuaikan kekhasan bahasa dan daerah masing-masing. Pastinya, persoalan pengajaran dan pembelajaran bahasa daerah ini (muatan lokal) perlu dikuatkan kembali. Karena, pelembagaan melalui lembaga pendidikan — selain dalam keluarga dan penutur itu sendiri — dinilai efektif dalam menyelamatkan bahasa daerah. Dengan begitu, bahasa-bahasa daerah di Aceh akan tetap terpelihara dan terwaris pada generasi-generasi Aceh selanjutnya.
*Dosen STKIP Muhammadiyah Aceh Tengah
Sumber : www.theglobejournal.com
Ada berapa upaya yang telah dilakukan untuk menjaga biar bahasa Gayo khususnya jangan hilang. Apakah menjaga bahasa bisa dengan teori ? kalau tidak qanun apa yang sudah ada
Salah satu upaya supaya bahasa Gayo tidak hilang adalah dimulai dari sendiri,sekarang dan saat ini juga dengan cara “be basa Gayo wan umah urum anakte, besilo deledi urang kiteni i Takingen urum anake bebasa Indonesia dengan logat Gayo, padahal ine amae urang Gayo. Gataldi kemiringku mumenge cerakea…