Banda Aceh | Lintas Gayo – Musang alias luwak (Paradoxurus hermaphroditus) sejenis hewan pemangsa yang mencari makan dimalam hari (nokturnal). Hewan berekor panjang dan pemanjat ulung tersebut, selama ini oleh para petani dianggap sebagai hama (musuh). Memang, sebagai mamalia yang tergolong bangsa karnivora ini, musang sering memangsa ayam dan hasil pertanian milik warga. Oleh karena itu, musang diburu oleh petani dengan berbagai cara, diantaranya menggunakan senapan angin dan perangkap tikus ukuran besar.
Nama luwak terus melejit semenjak harga kopi luwak melambung tinggi. Kemudian hewan pemangsa ini terus dicari orang, bukan untuk dibunuh melainkan diternakkan. Pasalnya, musang alias luwak sudah membuktikan bahwa buah kopi (cherry) yang dimakannya bisa memberi nilai tambah yang cukup besar untuk produk kopi. Konon harga kopi luwak dipasaran Eropa pernah mencapai angka Rp.800 ribu per cangkir. Musang yang dahulunya musuh, kini menjadi teman manusia, meskipun komunitas pencinta binatang memprotes hal tersebut.
Kehadiran musang berpita merah dalam Festival Kopi Ke-3 Tahun 2013 (21-24 Nopember 2013) di Taman Sari Banda Aceh, Sabtu (23/11/2013) bukan hanya menyemangati pengunjung untuk mencicipi kopi luwak, ternyata mampu menarik perhatian pengunjung. Dari pengamatan kompasianer, sebelum pengunjung mencoba mencicipi kopi di arena festival tersebut, mereka menyempatkan diri “bercanda” dengan musang berpita merah itu. Musang jinak yang berwarna abu-abu dengan variasi garis hitam itu terlihat sangat bersahabat dengan pengunjung, malah si musang langsung “nangkring” di leher pengunjung yang memangkunya.
Menurut Antonio Gayo, Tim Publikasi Festival Kopi 2013, mengakui bahwa di Festival itu juga hadir komunitas Musang Lovers. Komunitas ini bertujuan untuk melestarikan musang yang selama ini dianggap hama oleh masyarakat. Komunitas pencinta musang ini biasanya mangkal di kawasan Blang Padang Banda Aceh dengan anggotanya mencapai 15 orang.
Antonio menambahkan, musang berpita merah itu bagai maskot dalam fastival kopi tahun ini. Mereka yang tertarik dengan musang berpita merah itu mulai dari anak-anak sampai orang dewasa. Bahkan turis turis asing yang hadir di festival kopi mencoba menggendong hewan pemangsa itu. “Kehadiran musang berpita merah itu membuat festival kopi tahun ini makin meriah,” sebut mahasiswa Fakultas Ekonomi Unsyiah itu.
Beberapa waktu lalu, kompasianer pernah mewawancarai Pak Sarjiman (50) seorang transmigran asal Desa Palur, Solo-Jawa Tengah, tentang suka dukanya merawat musang alias luwak. Dia memelihara 25 ekor luwak di kandang berukuran 4 x 12 meter disamping rumahnya, di Jagong Jeget Aceh Tengah.
Setiap hari, Pak Sarjiman harus menyisihkan dana sebesar Rp.30 ribu untuk membeli aneka buah-buahan sebagai makanan luwak, disamping memberikan buah kopi segar (cherry). Seminggu sekali, ungkap Pak Sarjiman, dia harus menyediakan dua ekor ayam yang sudah dicincang-cincang untuk diberikan kepada luwak tersebut.
Dari 25 ekor musang atau luwak yang dipeliharanya, Pak Sarjiman memperoleh produksi gabah kopi luwak sebanyak 10 Kg per hari. Gabah kopi luwak itu dijual Pak Sarjiman seharga Rp. 100 ribu per Kg. Setiap minggu, dia berhasil memasarkan gabah kopi luwak mencapai 300 Kg. “Saya juga menyediakan kopi luwak dalam bentuk green bean atau yang sudah diroasting,” pungkas Sarjiman. (Sumber: Tulisan Muhammad Syukri, nominator penerima anugerah reporter warga terbaik Kompasiana 2013)