Oleh: Dicky Ariesandi*
Belanja Provinsi Aceh diperkirakan mencapai 40 triliun. Sebagai orang Aceh kita harus berbangga dengan jumlah yang fantastis tersebut. Terbayang dibenak kita, kualitas pelayanan publik akan membaik. Terpenuhinya kebutuhan dan hak-hak dasar warga Negara. Wajar kalau kita semua bermimpi akan mendapatkan kualitas hidup yang layak sebagai seorang warga negara.
Namun sangat disayangkan! Ternyata dari total pagu belanja “Pembangunan Aceh” tahun 2014 sebesar 40 triliun, hanya 13 triliun atau setara dengan 32,5 % yang diperuntukkan bagi belanja langsung alias belanja publik.(Belanja Aceh Rp. 40 T, untuk Publik Rp. 13 T, harian Serambi Indonesia 24/12/2013).
Menarik kalau kita simak kiasan kata “pembangunan” dimedia lokal Aceh ini, dimana jumlah 40 triliun dibungkus dengan kata “pembangunan Aceh”. Kalau dari 40 triliun, hanya 13 triliun atau 32,5 % yang digunakan untuk belanja publik, pertanyaannya apakah layak kata “pembangunan Aceh” tersebut ditambatkan dalam perencanaan dan penganggaran Aceh tahun 2014?
Sepertinya mimpi kita untuk mendapatkan kualitas hidup yang layak, melalui keterpenuhan hak-hak dasar warga negara serta baiknya kualitas pelayanan publik hanya menjadi isapan jempol belaka dan kita akan selalu terus bermimpi.
Anda bisa membayangkan!!! Banyaknya jumlah aparatur sipil negara(PNS) di Lingkungan Provinsi Aceh,( 9.122 orang data BPS Aceh Tahun 2011) dengan anggaran publik sebesar Rp 13 triliun setahun, apakah ini berbanding lurus dengan pendapatan masing-masing aparatur sipil negara selama satu tahun dengan jumlah aparatur sipil yang ada? Belum lagi ditambah dengan TNI, Polri, Jaksa, Hakim, guru Agama, PTN.
Menurut Kepala BAPPEDA Aceh, tambahan anggaran belanja untuk publik akan dialokasikan setelah masing-masing pemerintah kabupaten/kota dan provinsi mencukupi lebih dulu belanja tidak langsung (gaji dan operasional kantor) dari sumber DAU.
“Kalau ada lebih baru digunakan untuk anggaran reguler SKPD dan SKPA yang dialokasikan dalam bentuk program dan kegiatan untu belanja langsung ke publik.”
Sangat disayangkan, “Kalau ada lebih”. Hehehe belum tentu lebih! Hal ini sangat melukai hati warga negara. Apabila anggaran yang tersedia hanya cukup untuk memenuhi belanja tidak langsung, maka pantaskah kata “Pembangunan Aceh” tadi menjadi pembungkus kalimat Pagu belanja Pembangunan Aceh Tahun 2014???
Sangat jelas! Saat penyusunan rencana kerja dan anggaran, pemerintah mengawali dengan menghitung-hitung kebutuhan belanja tidak langsungnya (gaji dan operasional kantor). Setelah ada sisa barulah sedikit berpikir untuk menghitung kebutuhan belanja langsung yang dikonotasikan selama ini sebagai belanja publik. Inilah fakta pola pikir pemerintah kita!
Kita juga belum bisa memastikan apakah rencana kerja dan anggaran untuk belanja publik tersebut sudah benar-benar menjawab pemenuhan hak-hak warga negara melalui penyediaan pelayanan publik?Kita juga tidak tahu apakah dalam alokasi belanja publik juga masih terdapat honor-honor kegiatan bagi PPTK atau murni untuk pemberdayaan? Semuanya masih dalam tanda tanya.
Alasan klasik yang sering disampaikan para pengambil kebijakan dinegeri ini, besarnya belanja aparatur dikarenakan bertambahnya jumlah pegawai negeri, kenaikan tarif listrik, bahan bakar minyak, biaya transport, ATK dan lainnya.
Tetapi kita tidak pernak melihat komitmen dan tindakan nyata dari pengambil kebijakan, bahwa berapa sebenarnya pegawai negeri yang dibutuhkan? Berapa besar beban kerja yang ada, sehingga harus menambah jumlah pegawai negeri setiap tahunnya? Bagaimana mekanisme dan pengawasan penggunaan transpor dan bahan bakar bagi kendaraan dinas termasuk penggunaan ATK?
Dibeberapa kabupaten/kota banyak kita mendengar keluhan para pegawai negeri (level staf dan kasi) saat harus turun kelapangan tidak tersedia sarana transportasi dinas apalagi biaya BBM. Bahkan, tidak sedikit staf yang turun kelapangan menggunakan kenderaan pribadi. Tidak sedikit pula unit layanan publik seperti sekolah/puskesmas yang kekurangan tenaga pengajar maupun tenaga kesehatan. Sementara kalau dilihat dari jumlah tenaga pendidik/tenaga kesehatan yang ada, sudah lebih dari cukup.
Kita belum lagi bicara tentang ketersediaan buku paket, buku pengayaan, buku referensi di sekolah bagi anak sekolah ditingkat pendidikan dasar. Ketersediaan alat peraga IPA, kursi dan meja siswa serta hal lainnya yang menjadi kewajiban pemerintah memenuhi standar pelayanan minimal (SPM) pendidikan serta SPM kesehatan.
Apa sikap dari anggota parlemen (legislatif) yang nota bene merupakan wakil rakyat, apakah para anggota parlemen pernah mendiskusikan secara detail rencana kerja dan anggaran pemerintah daerah (eksekutif).
Sejauh mana penglibatan masyarakat melalui perwakilan kelompok-kelompok masyarakat yang ada dalam peroses penyusunan rencana kerja dan anggaran? Apa saja input-input penting yang didapat dari masyarakat terkait dengan pemenuhan hak-hak dasar warga negara serta bagaimana para anggota legislative menyikapi dan menindaklanjuti rencana kerja dan anggaran pemerintah daerah dalam pembahasan di parlemen.
Seberapa sering anggota legislative melaksanakan reses ke daerah pemilihannya, apa saja yang didiskusikan selama masa reses, apa solusi dan komitmen yang ditwarkan oleh masing-masing anggota legislative serta apa tindakan nyata yang dilakukan oleh anggota legislate kepada konstituennya melalui rencana kerja dan anggaran pemerintah daerah.
Tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) menjadi dambaan masyarakat. Dimana, implementasi good governance erat kaitannya dengan nilai-nilai transparansi, partisipasi, akuntabilitas dan responsif.
Kita bisa menghitung hanya dengan jari saja, jumlah pemerintah daerah yang transparan dalam mengelola pemerintahannya. Berapa banyak pemerintah daerah yang berani mempublikasikan rencana kerja anggarannya, daftar pelaksanaan anggarannya.
Kemudian berapa banyak pemerintah daerah yang mendorong partisipasi atau melibatkan para pihak dalam menyusun rencana kerja anggarannya untuk mendapatkan input-input perbaikan kualitas layanan publik?
Berapa banyak pemerintah daerah yang respon terhadap kiritik dan saran dari masyarakat terkait dengan rencana kerja anggarannya untuk pemenuhan hak-hak dasar warga negara serta perbaikan kualitas pelayanan publik serta berapa banyak pemerintah yang dapat mempertanggungjawabkan pengelolaan pemerintahannya melalui publikasi laporan pertanggungjawaban program dan keuangan daerah setiap tahunnya.
Banyak kebijakan/peraturan yang dikeluarkan untuk kepentingan pembangunan demi kesejahteraan masyarakat, namun berapa banyak kebijakan/peraturan tersebut yang telah disampaikan oleh pemerintah kepada masyarakat sehingga dapat diketahui, dipahami dan dimengerti oleh masyarakat sebagai penerima manfaat dari kebijakan/peraturan serta program yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Untuk itu masukan dari penulis kepada seluruh warga negara, “masyarakat harus lebih cerdas mengetahui dan memahami kebijakan/peraturan yang ada untuk kepentingannya. Gunakan ruang-ruang diskusi dan maksimalkan seluruh media informasi yang tersedia serta pahami seluruh kebijakan/peraturan terkait dengan kepentingan publik.
Kita semua memiliki hak dan kewajiban menagih penyediaan pelayanan publik yang baik sebagai wujud pemenuhan hak-hak dasar bagi warga negara,kepada pengelola negara ini. Semoga saja masyarakat yang cerdas akan mendorong perbaikan kualitas dan penyediaan pelayanan publik yang secara terus menerus menuju kearah yang lebih baik.
Pemerhati masalah sosial dan pelayanan publik, tinggal di Aceh Tengah. Email: dicky_sabang[at]yahoo.co.id *