Oleh: Bustami M Rofiq
PERNYATAAN Ketua Mahkamah Konstitusi Prof DR Jimly Ashidiqie yang mengatakan bahwa pembentukan dan pemekaran daerah tidak hanya perlu diredam, namun harus dihentikan karena telah dijadikan ajang untuk bagi-bagi kekuasaan elit politik.
Di satu sisi, pernyataan itu menuai berbagai kritik dan kemarahan dari berbagai kalangan masyarakat Aceh yang tinggal di kawasan Aceh Leuser Antara (ALA) dan Aceh Barat Selatan (ABAS), namun di sisi pernyataan tersebut juga telah ‘menggugah kembali’ atau menggeliatkan tekad dan keinginan masyarakat ALA dan ABAS untuk segera dipenuhi, menjadi tidak dapat ditawar-tawar lagi.
Harus diakui dan ditelaah secara adil dan tidak emosional, memang pemekaran atau pembentukan kabupaten, kota ataupun provinsi baru tidak selamanya menuai hasil yang diharapkan.
Ada kabupaten, kota bahkan provinsi baru yang dibentuk malah membebani anggaran negara yang sebenarnya saat ini hampir mendekati collaps, jika tidak dikelola dengan baik akibat kenaikan harga minyak dunia yang berpotensi menimbulkan resesi global.
Namun, pemekaran atau pembentukan provinsi baru, kabupaten dan kota yang baru juga harus diakui telah menimbulkan harapan-harapan baru akan kemajuan dan kesejahteraan. Dan tidak dapat dipungkiri banyak kabupaten, kota dan provinsi baru yang dimekarkan mengalami kemajuan pesat. Bahkan hampir bersaing dengan provinsi induknya antara lain Provinsi Banten ataupun Provinsi Gorontalo.
Kembali dalam konteks tuntutan pemekaran Provinsi ALA dan ABAS, sempat diberitakan dalam sebuah media massa lokal di Aceh bahwa persyaratan untuk pemekaran Provinsi ALA dan ABAS semuanya sudah lengkap, kecuali rekomendasi Gubernur Aceh dan DPR Aceh yang belum ada.
Dan, jauh hari sebelumnya Gubernur NAD Irwandi Yusuf sudah menyatakan bahwa tidak akan pernah memberikan restu dan rekomendasi atas tuntutan pemekaran Provinsi ALA dan ABAS tersebut.
Bahkan Gubernur NAD menilai ada empat kendala yang menyebabkan pemekaran ALA dan ABAS tidak mungkin terealisasi. Yaitu tidak ada rekomendasi gubernur, tidak ada rekomendasi DPR Aceh, luas wilayah Aceh sudah diatur dalam UU Pemerintahan Aceh serta ada ‘janji politik’ dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bahwa Pemerintah pusat tidak akan mengintervensi jalannya pemerintahan di Aceh sepanjang tidak membahayakan keutuhan NKRI.
Perjuangan masyarakat di kawasan ALA dan ABAS untuk menuntut pemekaran provinsi sebenarnya sudah meretas jalan yang cukup jauh, terjal dan pelik. Berbagai ‘manuver politik’ dilancarkan untuk segera terealisasinya tuntutan politik ini.
Mulai dari unjuk rasa kepala desa dari Bener Meriah dan Aceh Tengah ke DPR RI, Istana Negara, Kantor Menko Polhukam dan Depdagri untuk meminta pemekaran ALA-ABAS. Manuver politik ini di-counter oleh Irwandi Yusuf dengan pembentukan Komite Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (KP2DT).
Di mana Iwan Gayo diangkat sebagai Ketua KP2DT wilayah ALA dan
Tgk Banta Syahrial diangkat sebagai Ketua KP2DT wilayah ABAS.
Pengangkatan ini pun menimbulkan gejolak yang baru, antara lain Iwan Gayo akhirnya dipecat sebagai Humas KP3ALA serta pengangkatan KP2DT ABAS konon tidak direspons secara baik oleh Kaukus Barat Selatan yang kecewa dengan pengangkatan Ketua KP2DT wilayah ABAS tersebut.
Konon, juga ada pertanyaan yang mengganjal berkaitan dengan KP2DT ini adalah dari mana dana operasional dan dana yang akan dipergunakan KP2DT nantinya. Karena faktanya hampir semua dana pembangunan telah habis dibagi dalam RAPBA tahun 2008. Padahal, RAPBA tahun 2008 mengalami defisit anggaran mencapai Rp 1,8 triliun.
Tidak hanya itu saja, tuntutan pemekaran ALA dan ABAS juga diikuti dengan cara-cara membentangkan atau memasang spanduk menuntut pemekaran. Namun, cara ini juga di-counter oleh pihak-pihak yang tidak setuju dengan pemekaran dengan cara menurunkan spanduk tersebut dan membentangkan spanduk yang intinya tidak setuju pemekaran.
Pemrakarsa pemekaran Provinsi ALA dan ABAS juga membentuk Satgas KP3ALA dan KP3ABAS di wilayah masing-masing dalam rangka memperluas dukungan politik dari massa grassroot (akar rumput). Dalam kepengurusan satgas ini juga terdiri dari berbagai bidang termasuk bidang intelijen.
Bahkan, dalam kunjungan mantan Presiden Finlandia Marti Ahtisaari ke Bener Meriah dan Aceh Tengah juga sempat diwarnai dengan terpasangnya spanduk yang menuntut pemekaran Provinsi ALA (Aceh Leuser Antara) sebanyak 10 buah di penjuru Bandara Udara Rembele di Bener Meriah.
Momen ini dikomentari oleh Malik Mahmud (Perdana Menteri GAM), wilayah Aceh sudah jelas, sehingga tidak perlu ada pemekaran karena taktik tersebut adalah taktik adu domba seperti penjajah Belanda.
Konon, sekarang ini para aktivis yang menuntut pemekaran ALA dan ABAS juga telah mempersiapkan sebuah langkah dan strategi dalam rangka menyikapi rencana Sidang Paripurna DPR RI dalam rangka membahas masalah pemekaran daerah yang diperkirakan akan berlangsung pertengahan Mei 2008. Kabarnya, pemrakarsa ALA dan ABAS ini mendesak Presiden RI untuk segera mengeluarkan Ampres (Amanat Presiden).
Esensi Pemekaran
Para tokoh pemekaran Provinsi ALA dan ABAS dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa esensi pemekaran ALA-ABAS sebenarnya bukan tuntutan elit politik, melainkan untuk menyejahterakan masyarakat, memperpendek rentang kendali birokrasi.
Yang paling penting menurut mereka adalah mempertahankan
kedaulatan NKRI di Aceh, mengingat masih kuat dan tersebarnya paham separatis di berbagai kalangan di Aceh. Apakah betul alasan seperti ini? Tampaknya hanya masyarakat Aceh yang patut merenungkannya.
Apakah kecintaan terhadap NKRI jauh lebih kuat atau tidak daripada kecintaan terhadap berbagai hal lainnya. Bagaimanapun juga, MoU Helsinki ditandatangani dalam rangka memperkokoh dan memperkuat kedaulatan NKRI dan siapa pun yang berusaha untuk mengubah arah dan esensi MoU Helsinki inilah yang menjadi musuh bersama.(Leuser Antara)
*) Penulis adalah pemerhati masalah Aceh. Tinggal di Banda Aceh.