Salman Yoga S ; Ingin Jadi Pelopor Bijak bagi Sejarah

Oleh : Haya Aliya Zaki

Ketika dihubungi, Salman Yoga S, sedang berada di pedalaman Gayo, melakukan penelitian. Penelitian bersifat mandiri alias tanpa sponsor atau lembaga ini telah berjalan sejak Februari 2008.

Bahan-bahan kepustakaan, sejumlah foto, surat, dokumentasi pribadi, sampai serangkaian wawancara, rapi dikumpulkan. Salman mau membukukan kisah seorang tokoh,  sekaligus ulama besar masyarakat Gayo dan Aceh yang memiliki dedikasi tinggi dan melegenda dalam perjuangannya melawan segala bentuk penjajahan.

Tak jarang dia harus keluar masuk pelosok dusun di pedalaman Gayo dan Aceh dengan waktu  tidak terjadwal. Seuntai kalimat singkat, namun bermakna dalam darinya, ”Saya hanya ingin menjadi ’pelapor’ yang bijak bagi sejarah.”

Mungkin tak berlebihan bila kita angkat topi untuk penulis kelahiran Takengon, dataran tinggi Gayo Kabupaten Aceh Tengah, 5 Juli 1972 ini. Salman memutuskan sepenuhnya mengabdikan diri di tanah tumpah darah, Aceh. Baginya, Aceh ladang inspirasi yang tak pernah kering. Meski banyak melahirkan karya bermutu dan tersebar di berbagai harian pusat dan daerah, putra ke-12 dari pasangan H. Sulaiman Aman Hafisah Meriah dan Hj. Sufiah Inen Hafisah Meriah, tetap membumi dan tak pernah berkecil hati dikenal sebagai penulis daerah, karena tidak menetap di kota besar.

Salman menulis sejak usia 18 tahun. Selain menulis, dia sangat tertarik pada dunia teater. Salman menjelaskan lebih jauh, aktivitasnya banyak terilhami oleh kesenian Didong (sebuah seni sastra lisan masyarakat Gayo) juga karena intensnya interaksi dengan sejumlah kawan-kawan yang memiliki hobi sama ketika ia di Yogyakarta (saat menuntut ilmu di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, mengambil jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam).

Berkaitan dengan kecintaannya terhadap seni Didong, pria penyuka masakan sengeral, macamjing, depik pengat (masakan  tradisional masyarakat Gayo) ini, mengupas tentang kesenian Didong pada skripsinya. Tak cukup sampai disitu, Salman sempat mengecap pendidikan di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan alumnus Pascasarjana (Magister of Art) di sebuah perguruan tinggi di Medan ini, masih membahas tentang kesenian Didong pada tesisnya.

“Kesenian Didong merupakan kesenian orisinil, cermin dan dinamika dari kehidupan sosial masyarakat Gayo yang sesungguhnya. Syair-syair Didong banyak bercerita tentang sejarah, adat budaya masyarakat, keagamaan, suri tauladan, bahkan cerita percintaan remaja, hubungan suami istri, legenda, mitos dan voklor yang berkembang dalam masyarakat,” papar Salman dengan wajah serius. “Didong bagi saya, sumber inspirasi sekaligus ide dasar dalam kekaryaan.”
Tatkala mengingat masa lampau, tentu tak lengkap rasanya kalau tak membahas  keahlian Salman sewaktu kecil. Keahlian ini terbilang unik. Dalam lingkungan keluarganya dia akrab disapa dengan Aman Renggali, mempunyai hobi menunggang kuda! Ketika berumur 10 tahun, Salman sudah menjadi joki pacuan kuda tradisional. Di Kabupaten Aceh Tengah. Keluarganya dikenal sebagai keluarga penggemar kuda pacu, sejak jaman jajahan Belanda (selain kegemaran lainnya, menonton dan berperan dalam kesenian Didong). Saat melanjutkan kuliah ke Yogyakarta (umur 17 tahun), mau tak mau, hobi menjadi joki harus terhenti.

Tak sia-sia Salman meninggalkan dunia lamanya. Di dunianya sekarang, Salman didapuk sebagai penulis yang produktif dan berkualitas prima. Sejumlah cerpen, puisi dan esainya, terkumpul dalam antologi bersama antara lain: “Aceh Mendesah dalam Nafasku” (Kasuha, 1999), “Jakarta dalam Puisi Mutakhir” (ed. Korri Layun Rampan, Dinas Kebudayaan Jakarta, 2000), “Selama Rencong adalah Tanda Mata” (Koalisi NGO HAM Aceh dan CSSP Jakarta, 2002), “Maha Duka Aceh” (PDS HB Jassin Jakarta, 2005), “Ziarah Ombak” (Institute for Culture and Society, 2005) dan “Ulang Tahun Perkawinan” (Analisa Medan, 2007). Antologi puisi tunggal “Sajak-Sajak Rindu” (KKSBMIY, 1995) dan novel “Tungku” (Aneuk Mulieng Publishing, 2006) telah pula diluncurkan. Kiprah Salman sebagai pelakon patut merayakan pujian. Dalam dua pentas  terakhirnya, dia berperan sebagai Jabal Sabas, naskah “SOK” Teater Anak Negeri Medan (disutradarai Idris Pasaribu) serta monolog “DATU” di Taman Budaya Banda Aceh.

Penghargaan bergengsi “Anugerah Satya Lencana Sara Kata” dari Pemerintah Nanggroe Aceh Darussalam (2007) pun sukses digenggam pria berkacamata minus ini.  Sebelumnya, novel “Tungku” meraih Juara I dalam Sayembara Menulis Novel Perdamaian Aceh. Kalau mau tahu ‘prestasi’ paling berkesan, ehm, ketika gadis cantik bernama  Lussi Setiowati, menerima ajakan Salman untuk mengayuh biduk rumah tangga bersama. Gadis keturunan Jawa-Gayo ini, kadung tertawan hatinya oleh sebingkai puisi, khusus dicipta Salman untuk sang pujaan hati,  yakni “Aku Melamarmu”…

Menurut Idris Pasaribu, prestasi Salman yang istimewa, ketika Salman S berhasil menipu Sriwijaya Air. Ceritanya ketika berangkat memenuhi undangan temua sastrawa ke Batam tahun 2008. Salman membeli tiket pesawat. Waktu berangkat bersama Idris Pasaribu dan Doel CP Allisah, ternyata tiket yang dibeli sudah daluarsa sehari dan tak dapat dipergunakan lagi. Idrisd Pasaribu memaksa Salman harus membeli tiket baru dan harus berangkat, akhirnya Salman berangkat memenuhi pemaksaan Idris Pasaribu. Saat Salman merenungi kealpaannya itu, saat itu Idris Pasaribu mengumumkan kepada semua sastrawan yang kumpul di Batam.

“Salma Yoga S dengan sukses berhasil menipu Sriwaja Air,” katanya mengenang. Orang-orang pun bertanya kehebatan Salman yang berhasil menipu Sriwijaya Air. Idris menjelaskan, kalau Saklman telah membeli tiket, tapi deia tidak naik ke pesawat itu. Akhirnya kursi pesawat harus kosong satu penumpang. Salman beli tiket tapi  takmau menaikinya. Sriwijaya Air tertipu, karena kecarian seorang penumpang. Yang mendengar penjelasan Idris Pasaribu pun tertawa terbahak-bahak. Salman akhirnya ikut tertawa tak jadi merenungi kealpaannya itu. “Yah… itulah cara bang Idris Menghibur orang. Bukan malah ikut prihatin atas kealpaanku, malah meledekku,” kenang Salman S.

Rutinitas Salman kini, jauh dari semrawut kehidupan kota  yang kerap mengeruhkan jiwa. Di Aceh, ia menikmati setiap detik waktunya dengan menulis cerpen, puisi, naskah teater dan novel. Selain itu, pria yang namanya terabadikan dalam buku “Leksikon Susastra Indonesia” (disunting oleh Korri Layun Rampan, diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka Jakarta, 2000) dan “Buku Pintar Sastra Indonesia” (ditulis oleh Pamusuk Eneste, diterbitkan oleh Kompas Grup, 2001) sebagai Sastrawan Muda Nasional, juga mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta di Takengon dan Banda Aceh.

Ada lagi yang istimewa, Salman tak dapat menolak hasrat berkebun kopi. Kegiatan ini bukan saja sebagai lahan sumber pendapatan tapi juga objek rekreasi keluarga. Tak dapat dijabarkan kesenangan Salman kala menekuninya. Simak komentar ayah dari sepasang malaikat kecil bernama Ine Salvani Renggali SY (3 tahun) dan Batang Gelingang Raya SY (6 bulan), “Ada semacam panggilan sekaligus tradisi melekat dalam diri, untuk berkebun kopi…” Kopi asli Gayo yang hitam pekat, selalu menjadi teman setia Salman ketika pagi dan senja hari. Saat menulis, secangkir kopi membuatnya bertahan hingga malam beranjak tua. Ah, damainya hari-hari Salman.

Harian Analisa, Sabtu, 18 April 2009

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.