Lembaga Wali Nanggroe , Ilegal

Oleh : Ghazali Abbas Adan *

Adalah Undang-Undang No 32 Tahun 2004, bahwa Perda harus memiliki kriteria, a) Tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum, b) peraturan daerah lainnya, c) peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Inilah landasan konstitusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di NKRI mengapa saat ini beberapa Qanun (Perda) yang sudah disahkan DPRA belum di setujui Mendagri.

Saya memahaminya, dengan sikap Mendagri ini, maka Qanun-Qanun tersebut masih ilegal dan dengan sendirinya belum dapat diimplementasikan. Ialah Qanun Lambang dan Bendera Aceh, termasuk Lembaga Wali Nanggroe, sejauh pengamatan saya di media massa belum ada berita ia sudah disetujui Mendagri.

Tidak dapat dinafikan, bahwa Lembaga Wali Nanggroe adalah amanah MoU Helsinki dan UUPA sebaimana “tadarusan” selama ini. Tetapi proses pembahasan, pengesahan serta persetujuan untuk dapat diimplementasikannya juga harus sesuai dengan konstitusi Negara RI, karena de-jure dan de-facto serta pengakuan internasional Aceh adalah bagian dari NKRI. Pemerintah (eksektif, legislatif dan yudikatif) di Aceh serta rakyatnya terikat, tunduk dan patuh pada konstitusi RI.

Apabila ada pihak yang ngotot menyatakan sudah sah, mengapa sampai saat ini bendera yang diklaim sudah sah itu tidak dipasang di kantor-kantor pemeritahan, mulai kantor gebernur sampai kantor pemerintah kabupaten/kota, bahkan sampai ke kantor geuchik di seluruh Aceh. Demikian pula di kantor DPRA dan DPRK.

Juga ihwal lambang, sampai saat ini belum terlihat kop surat lembaga pemerintahan dalam teritori Aceh manggunakan lambang itu. Kecuali pernah dipampang dalam baliho besar di salah satu persimpangan jalan kota Banda Aceh beberapa waktu lalu, tetapi hanya sebentar, namun tidak ada angin dan hujan, baliho itu hilang bagaikan ditelan bumi, sampai hari tidak muncul lagi.

Kalau demikian faktanya, klaim dan teriakan qanun-qanun itu sudah sah hanya retorika kosong dan hohong belaka, peulangoe rakyat ateueh tanoh tho (menggiring rakyat berenang di atas tanah kering), serta menjadikan mereka sebagai tumbal politik rakus ambisius. Ini betul-betul perilaku konyol, bodoh dan tidak memiliki hati nurani.

Setali tiga uang (saban chit) dengan fakta ini, maka Lembaga Wali Nanggroe-pun belum sah dan ilegal, serta belum dapat diimplementasikan, sehingga apa dasarkan hukumnya disediakan dana berkarung-karung dari uang rakyat untu biaya ini dan itu, termasuk usulan Rp 50 M untuk biaya pengukuhan Wali, padahal berdasarkan konstitusi, lembaga itu masih ilegal, dan terjadi protes keras dan penolakan massif dari beberapa zona dan elemen rakyat Aceh.

Juga Komnas HAM berdasarkan temuannya menilai Qanun Bandera dan Wali Nanggroe diskriminatif terhadap sejumlah suku, sehingga perlu direvisi atau dibatalkan, kendati masih ada yang ngotot dengan mengeluarkan pernyataan, “Wali Nanggroe lebih penting atas segalanya, maka dalam waktu dekat ini akan segera melakukan pengukuhan”.

Dari mulut siapapun keluar pernyataan seperti ini, menurut saya tidak kalah konyol dengan apa yang saya sebut di atas. Lebih konyol lagi ungkapan “anggaran maksimal yang diusulkan itu bukan semata untuk serimonial pengukuhan, tetapi sekaligus mengangkat harkat dan martabat masyarakat Aceh” (02/10/2013).

Menurut saya, dan saya yakin juga menurut orang-orang yang masih berpikiran waras, cerdas, dan berwawasan luas, bahwa  tingginya harkat dan martabat masyarakat Aceh bukanlah pada lembaga dan adanya orang dengan maqam itu, serta rupa-rupa laqab mentereng, tetapi terletak pada tingkat pendidikan, kesehataan, kemakmuran, kesejahteraan, kepedulian kepada sesama, toleransi dan akhlaq karimah para pemimpin dan masyarakat Aceh itu sendiri. Inilah sejatinya yang jauh lebih penting dan menjadi fokus utama perhatian serta progam pembangunan pemerintah Aceh ketimbang retorika sektarian chauvinis dan ngotot dengan pernyataan model demikian serta upaya pemenuhan kepuasan syahwat politik belaka, bagi-bagi tampouk (kedudukan/kekuasaan) dan tumpouk (harta kekayaan).

Berdasarkan pemikiran dan sikap seperti ini saya memberi apresiasi dan sepenuhnya mendukung pihak dan elemen manapun yang menolak usulan Rp 50 M untuk kukuhkan Wali, karena dinilai pemborosan (tabdziir) di tengah-tengah kehidupan rakyat yang masih miskin, papa dan menderita, serta meminta Mendagri untuk tidak menyetujuinya.

Lagi pula Lembaga Wali Nanggroe itu sendiri masih ilegal, karena  Mendagri juga belum menyetujuinya. Dengan demikian, maka dalam jumlah berapapun bagi lembaga ilegal itu tidak boleh diberi dan menggunakan uang rakyat.

Allaahummahdi qawmii fa-innahum laa ya’lamuun.

Wassalam

Mantan Anggota MPR/DPR-RI *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.