“Apa ada bawa obat, ada yang sakit. Sudah tiga hari tidur, belum bisa bangun,” sebut Ijah, 45, istri Gecik Kampung Sarah Gele, Siah Utama Bener Meriah. Pertanyaan itu menyentakkan rombongan wartawan yang berkunjung ke kawasan aliran Sungai Jambo Aye ini.
Wartawan yang kebetulan ada membawa obat demam, memberikan kepada wanita yang telihat agak tua bila dibandingkan dengan umurnya baru 45 tahun.
“Apa tidak ada mantri, bidan, polindes atau Pustu?” tanya Waspada. “Tidak ada, inilah susahnya kami di sini. Sejak mayarakat minta pindah ke Bener Meriah, tenaga medis tidak ada lagi di sini. Rumah dinas Polindes di Sijudo, tidak lagi berpenghuni,” sebut M. Yunus, yang menerima rombongan wartawan di kediamannya.
Pernah saudara kami Aman Sampe,60, tertimpa musibah. Sudah lima hari dia sakit, kami tidak bisa membawanya ke Tanoh Mirah atau ke Lhoksukon. Air sungai meluap.Tidak bisa disebrangi. Jalan darat tidak bisa, jalan disini baru dibuka enam bulan yang lalu, sebut Gecik ini.
Ahirnya Aman Sampe menghembuskan nafas terahir, tanpa mendapat pelayanan medis. Warga di sana bila sakit, harus pandai mendapatkan obat tradisionil. Memakan ramuan.
Menjelang magrib, rombongan wartawan disuguhkan dengan sebuah pemandangan unik. Di pinggir Sungai Jambo Aye berkumpul kaum ibu. Sementara 20 meter kearah aliran sungai, kaum bapak juga terlihat sedang menanggalkan baju.
Ada yang mencari tempat agak sedikit tersembunyi untuk buang hajat. Sungai yang keruh ini, bukan hanya tempat MCK. Warga di sana mengangkut air keruh ini ke rumah untuk diminum.
Tidak ada sumur, kamar mandi di perumahan penduduk. Masyarakat di sana juga belum mengenal hidup higine secara medis. Bagaimana mau mengenal cara hidup yang sehat, mereka yang sakit saja susah mendapatkan obat, karena tiada tenaga medis. “Bisa stress kita kalau lama di sini,” sebut salah seorang wartawan media lokal.
Air di sana tidak terlalu sulit. Menggali sumur, tidak terlalu dalam, air sudah di dapat. Tetapi masyarakat tidak ada yang membuat sumur, semuanya tergantung sungai. Wajah masyarakat di sana pucat kekuning-kuningan. Mereka jarang mengkonsumsi makanan empat sehat apalagi sempurna. Sayur mayur tidak ada di perkampungan ini.
Walau rumah penduduk setempat masih banyak beralaskan tanah, masih ada yang beratap rumbia, tetapi anak-anak disana tetap mengikuti bangku sekolah, walau fasilitas pembelajarannya masih minim.
Jarang murid SD di sana mempergunakan sepatu. Di 4 kampung itu sudah ada 4 SD, walau hanya 3 lokal. Pakai sandal jepit sudah jauh lebih baik daripada kaki ayam. Dari pakaian seragam saja, sudah menggambarkan, kehidupan orang tuanya masih miskin, walau mereka tinggal di sumber sumur gas.
Untuk SD Sarah Gele, walau Pemda Bener Meriah sudah melantik M. Yunus sebagai kepala kampung, namun plang nama di SD itu tertulis, SD Sarah Gele, Kecamatan Pantee Bidari Aceh Timur.
Demikian dengan SD lainnya walau rakyat dan geciknya sudah ber KTP Bener Meriah, plang nama masih Kabupaten Aceh Timur. Memang muridnya tidak banyak. Ada dalam satu ruangan kelas hanya 9 orang. Demikian dengan guru, walau ada yang PNS dan tenga honor, namun aktifitas guru ini masih kurang disiplin dalam mendidik generasi bangsa. Guru sering tidak hadir mengajar.
Bila siang murid SD ini ke sekolah pakai sandal jepit, malam hari mereka berteman lampu teplok sebagai penerangan. Aktifitas belajar murid di sana rendah, apalagi malam hari. Tidak ada lampu penerangan, membuat mereka sulit belajar malam.
Penerangan listrik di sana belum ada. Hanya ada ginset, itu juga di beberapa rumah penduduk, khususnya pedagang. Karena ada ginset inilah masyarakat mendapat hiburan dengan menonton televisi. Nonton juga rame-rame, anak usia sekolah berbaur dengan remaja dan orang tua.
“ Listrik ke sini, itu juga untuk dusun pelalu, baru ada enam bulan yang lalu. Kalau rakyatnya tidak minta pindah ke Bener Meriah, sampai sekarang listrik dan jalan tidak ada,” sebut Nurdin Yasin, mantan kombatan yang lebih dikenal dengan sebutan tgk. Leupi.
Untuk melanjutkan kejenjang pendidikan lebih tinggi (SLTP), warga di sana harus merelakan anaknya hijrah. Tidak ada SLTP. Tamat SD harus pindah bila ingin melanjutkan pendidikan. Bagi orang tua yang tak mampu, terpaksa hanya menyekolahkan anaknya sampai tingkat SD.
Salahkah warga disana yang hidup dan dilahirkan di negeri yang sumber alamnya melimpah? Ada gas, ada kayu dengan kualitas terbaik di Aceh. Tetapi nasip mereka bagaikan hidup di tengah hutan pedalaman yang tidak memiliki SDA apa-apa.
Jangankan listrik, pelayanan kesehatan saja tidak ada. Apalagi sarana jalan yang bagus. Demikian dengan pendidikan, semuanya serba terbatas. Kalori yang dikeluarkan tidak sebanding dengan yang mereka konsumsi. Wajar bila terlihat rakyat di sana pucat, dan agak sedikit tua bila dibandingkan dengan umurnya. Salahkah mereka tinggal dan hidup di sana? Habis (B Gayo/ Aman Buge)
sedih sungguh tidak layak kehidupan mereka di sana. untuk mereka yg di atas jgnkn untk memberi fasilistas kesehatan atau apa lah. untk melihat kesanapun mungkin tdk. knp???