Oleh :Herman*
Istilah dan pembahasan mengenai politik dinasti pada saat sekarang ini sudah tidak asing lagi ditelinga kita, bila kita perhatikan baik di kalangan pejabat sendiri, mahasiswa, dan masyarakat pada umumnya istilah ini sudah menjadi asumsi sehari-hari yang bisa kita lihat dan dengarkan melalui media masa, media online, maupun elektronik lainnya.
Sebenarnya dinasti politik itu sendiri dalam prakteknya secara historis sudah lama terjadi, dan pembahasan politik dinasti ini kembali mecuat ke publik dan menjadi hangat seiring ditangkapnya Akil Mochtar (Ketua Mahkamah Konstitusi) dan baru-baru ini gubernur banten Ratu Atut Chosiyah kembali ditahan KPK dan ditingkatkan status hukumnya menjadi tersangka, dimana sebelumnya sudah terlebih dahulu adik kandungnya yang menjadi tersangka yakni Tubagus Chaery Wardana dalam kasus dugaan suap sengketa pilkada Lebak Banten ke MK.
Politik dinasti secara sederhana dapat dipahami sebagai konsep nepotisme dalam dunia politik atau kekuasaan. Secara praktek nya membentuk suatu lingkaran kekerabatan dalam politik atau kekuasaan, dimana satu jabatan tertentu kemudian tersambung ke politiknya dengan jabatan tertentu lainnya yang porsi-porsi dalam jabatan tersebut di isi oleh sanak family atau kekerabatan. Dan ini akan menyebabkan matinya suatu sistem control dan stagnannya tupoksi setiap lembaga pemerintahan yang telah terkontaminasi politik dinasti disuatu daerah, sehingga akan meningkatkan kemiskinan dan minimnya pembangunan akibat politik dinasti yang sarat dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
Banyak kalangan sekarang yang sadar dan menganggap politik dinasti punya potensi menciptakan kepemimpinan kroni dan nepotis, yang mana itu justru sangat bertentanggan dengan etika demokrasi yang tengah dibangun, oleh sebab itulah perlua danya suatu aturan (regulasi) mengenai hal ini.
Sebelumnya wacana mengenai pembentukan regulasi pencegahan politik dinasti tengah di bahas di DPR, mengenai RUU Pemilukada yang merupakan pecahan dari UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah , yang mana secara tegas disebutkan dalam pasal 70 huruf (p), calon bupati tidak mempunyai ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur dan bupati/walikota, kecuali ada selang waktu minimal satu masa jabatan. Sementara dalam pasal 12 huruf (p) disebutkan, calon gubernur tidak boleh memiliki ikatan perkawinan, garis keturunan lurus ke atas, ke bawah, dan ke samping dengan gubernur, kecuali ada selang waktu minimal satu tahun.
Tentu nya kita juga pastinya mendukung adanya regulasi seperti ini, dan tentunya Politik Dinasti yang terjadi didaerah Provinsi lain tidak sampai mewabah ke daerah kita khususnya daerah dataran tinggi Gayo.
Yang penting sekarang dilakukan adalah pendidikan politik terhadap masyarakat secara menyeluruh, perlunya penanaman kesadaran bahwa yang dibutuhkan sekarang adalah pemimpin yang cerdas, adil, berintegritas, dan mengedepankan persamaan tanpa pembedaan.
Pendidikan Politik bagi calon pemilih perlu diutamakan, karena ini merupakan titik penentu muncul atau tidaknya politik dinasti atau fenomena pengisian struktur jabatan kekuasaan berdasarkan hubungan kekerabatan. Karenanya calon pemilih jangan lagi mau terjebak dengan politik uang yang sangat rentan mempengaruhi objektivitas dalam menentukan pilihan. Sudah saatnya pemilih daerah Gayo menjadi pemilih cerdas dan rasional.
Pengurus Sekolah Anti Korupsi Aceh Banda Aceh , Asal Takengen/Aceh Tengah*