Oleh : Win Wan Nur*
Pada dekade 90-an PT. Indonusa Indrapuri, sebuah perusahaan Hutan Tanaman Industri milik dari Ibrahim Risjad, seorang konglomerat asal Aceh. Mendapat konsesi penguasaan lahan di Aceh Besar. Lahan yang dikuasai oleh perusahaan ini mereka olah untuk ditanami pohon Akasia dan Eucalyptus sebagai bahan baku kertas.
Masalahnya, peta lahan ini tumpang tindih dengan perkampungan penduduk. Izin konsesi lahan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat ini sama sekali tidak mempertimbangkan kondisi lapangan, dimana lahan yang di dalam peta dikatakan sebagai hutan itu sebenarnya adalah perkampungan penduduk lengkap dengan lahan pertanian baik kebun maupun sawah. Pemberian izin kepada perusahaan tidak didahului dengan survey lapangan. Sehingga ketika proyek dimulai, konflik dengan masyarakat pun tak bisa terhindarkan. (ternyata sampai hari ini pola ini belum berubah, contohnya di Kabupaten Aceh Tengah, sekarang ada 85 desa yang sudah ada jauh sebelum republik berdiri masuk dalam kawasan hutan versi pemerintah pusat)
Sebagaimana biasa terjadi di masa ORBA, ketika kepentingan perusahaan berbenturan dengan masyarakat. Masyarakat lah yang jadi korban. Sapi milik masyarakat banyak yang mati, karena keracunan akibat menjilati pupuk tablet yang ditebarkan oleh perusahaan. Masyarakat yang protes langsung berhadapan dengan aparat keamanan. Seperti biasa, dalam posisi seperti itu, masyarakat langsung dikenai tuduhan ‘tidak mendukung pembangunan’lalu dicari kaitannya dengan PKI dan karena posisinya di Aceh, ada lagi label tambahan sebagai pendukung GPK (sebutan resmi pemerintah pada saat itu untuk menyebut Gerakan Aceh Merdeka). Pemberian label itu, sudah lebih dari cukup untuk mengirimkan orang ke tahanan tanpa melalui proses pengadilan.
Sekitar akhir tahun 1994 (atau awal 1995, penulis kurang ingat waktu tepatnya), seorang mahasiswa Unsyiah bernama Nurdin yang banyak berhubungan dengan LSM membawa berita ini ke kampus. Di Kuta Baro, sebuah desa di kabupaten Aceh Besar yang tidak terlalu jauh dari kampus Unsyiah, banyak warga yang dirugikan oleh konflik ini. Situasi di sana menjadi panas, atas alasan itu Nurdin mengajak mahasiswa Unsyiah untuk memfasilitasi demonstrasi mereka ke gedung DPRD di Jalan T. Nyak Arief Banda Aceh.
Pada waktu itu, penulis termasuk salah satu dari sedikit mahasiswa Unsyiah yang mengiyakan ajakan itu. Maka sejak hari itu rapat-rapat kecil di sekretariat senat untuk mematangkan rencana demonstrasi itupun mulai sering dilakukan. Rapat-rapat ini banyak dihadiri oleh mahasiswa anggota UKM BSPD (Bakti Sosial Masyarakat Desa) yang memang sering menginap di sekretariat. Menjelang hari H seorang mahasiswa FMIPA yang juga anggota BSPD bernama Syaiful Adhar mengetahui rencana ini dan ikut bergabung. Singkatnya, sampailah pada hari H dan demonstrasipun dilangsungkan. Mahasiswa dan masyarakat desa Kuta Baro berangkat ke DPRD secara diam-diam. Kemudian secara tiba-tiba mengeluarkan atribut demonstrasi, berupa bendera merah putih dan spanduk yang kami buat malam itu di sekretariat Senat Mahasiswa.
Aksi yang melibatkan sekitar seribuan orang yang datang secara tiba-tiba ini sangat mengagetkan baik bagi anggota DPRD maupun petugas keamanan. Karena tidak seperti sekarang, dimana setiap hari mahasiswa bebas berdemonstrasi bahkan kadang berujung anarki. Waktu itu, tidak ada sejarahnya mahasiswa Aceh berani melakukan demonstrasi. Senat Mahasiswa Unsyiah sendiri selalu menjadi langganan sasaran pengiriman pakaian dalam perempuan dari kolega mahasiswa di luar Aceh karena tidak pernah ada aksi apapun setiap kali ada isu-isu heboh yang memicu demonstrasi mahasiswa di berbagai daerah. Kolega mahasiswa di luar Aceh, saat itu sama sekali tidak memahami betapa dilematisnya posisi mahasiswa Aceh. Sistem informasi yang terpusat, sensor berita yang masih ketat membuat kolega mahasiswa di luar Aceh tidak mengetahui kalau saat itu Aceh berada dalam status Daerah Operasi Militer.
Mahasiswa dan masyarakat bergantian berorasi. Di dalam kerumunan itu, mahasiswa dan masyarakat berbaur tidak bisa dibedakan. Situasi sebenarnya cukup kondusif, tidak ada kata-kata makian dan teriakan kurang ajar apalagi perbuatan anarkis sebagaimana biasa kita saksikan dalam aksi demonstrasi mahasiswa saat ini.
Situasi berubah, ketika tiba-tiba datang pasukan dari Kodim 001, Teuku Umar menumpang beberapa truk, bersenjata lengkap mengepung para demonstran di halaman gedung DPRD.
Suasana yang tadinya kondusif dan orasi berjalan baik, tiba-tiba berubah menjadi tegang. Komandan lapangan para tentara itu masuk ke tengah lapangan, tanpa menghiraukan para anggota DPRD dan demonstran dengan suara menggelegar mulai berteriak-teriak mengancam dan mencari orang yang dia sebut sebagai provokator aksi.
Penulis bersama seorang teman, mahasiswa FKIP bernama Lukman Age yang kebetulan mendapat tugas membentangkan spanduk tuntutan tepat di depan anggota dewan dan Syaiful Adhar yang mendokumentasikan aksi itu dengan kamera, terlihat paling mencolok dari semua peserta aksi. Oleh sang komandan ditunjuk sebagai sasaran. Kemudian, dengan perintah dari sang komandan anggota pasukan yang berjaga dengan sigap langsung meringkus penulis, Lukman dan Syaiful serta menyita kamera dan spanduk yang kami pegang sebagai barang bukti.
Penulis sempat berteriak bahwa apa yang kami lakukan adalah penyampaian aspirasi yang dijamin oleh konstitusi dan kami sudah melakukannya mekanisme yang benar. Menyalurkan aspirasi langsung ke dewan, bukan dijalanan atau melakukan tindakan anarkis merusak properti perusahaan. Tapi komandan dan anggota pasukan yang berjaga tidak mau mendengarkan. Anggota DPRD yang wajahnya tepat berada di depan penulis pun saat itu sama sekali tidak bisa bereaksi. Saat akan dibawa, penulis memberontak sebisanya. Tapi sang komandan memerintahkan anggota yang lain untuk memegangi penulis. Dua orang anggota pasukan memegangi tangan dan dua lagi memegangi kaki, penulis tidak bisa berkutik lagi dan keempat anggota pasukan ini dengan santai menenteng penulis ke truk yang telah mereka siapkan.
Di sana sudah ada Lukman dan Syaiful dan seorang mahasiswa Fakultas Teknik angkatan 94, yang bukan peserta aksi tapi ketiban sial karena menenteng kamera di lokasi aksi. Dia ada di sana karena baru saja tiba dari rumahnya karena disuruh oleh bapaknya, anggota DPRD yang sekaligus Pembantu Rektor IV Unsyiah untuk mengantarkan kamera.
Kami berempat kemudian langsung dijebloskan ke balik jeruji penjara Kodim 001, Teuku Umar. Menurut penjaga pintu penjara ini, biasanya penjara ini dihuni oleh para anggota GPK yang tertangkap.
Penjaga terus mengintimidasi kami. Seorang tentara yang mengaku berasal dari Aceh Timur, berusaha memukul Lukman yang juga berasal dari Aceh Timur karena menurutnya, Lukman telah mencoreng nama daerahnya. Si tentara ini terlihat begitu berangasan, tapi usahanya memukul Lukman dihalang-halangi oleh seorang temannya yang sama-sama mengenakan pakaian loreng khas angkatan darat. Mendapat ancaman seperti itu, Lukman yang berkacamata ini terlihat tenang. Penulis juga cuma diam, hanya Syaiful yang terus menerus berteriak kalau kami adalah tahanan politik yang tidak boleh disentuh sembarangan. Kelihatannya dari kami semua, hanya Syaiful yang gembira dengan penahanan ini. Entah kenapa.
Kami yang berada di dalam jeruji sama sekali terputus dengan informasi dari luar. Satu-satunya sumber informasi bagi kami adalah penjaga. Dan info yang disampaikan oleh penjaga kepada kami adalah; semua demonstran sudah bubar. Mereka tidak lagi mempedulikan keadaan kami. Demikian pula dengan mahasiswa.
Tapi beberapa waktu kemudian, kami dipanggil dari ruangan dan dibawa ke sebuah hall. Di sana sudah ada Syaifuddin Manan, ketua Senat Mahasiswa Unsyiah saat itu, bersama beberapa mahasiswa lain yang sama sekali tidak tahu menahu dengan rencana kami melakukan demonstrasi. Dalam rombongan ini ada Badrul Irfan, mahasiswa Fakultas Hukum, teman penulis sesama anggota UKM PA Leuser Unsyiah. Beberapa bulan sebelumnya, penulis dan Irfan bersama-sama melakukan pendakian di jalur selatan Gunung Leuser (EJSL’94) selama sebulan. Waktu itu Irfan sendiri bertindak sebagai ketua tim. Mereka semua datang berbalutkan jaket almamater Unsyiah yang berwarna hijau. Ternyata info yang beredar di luar kami bertiga habis disiksa di tahanan.
“Nah lihat sendiri, mereka baik-baik saja kan, tidak ada yang dipukuli”, kata seorang anggota Kodim berbaju sipil yang ada di sana kepada rombongan mahasiswa Unsyiah yang mengunjungi kami. “Tapi tadi ada yang mau memukul Lukman, kalau tidak ditahan oleh temannya”, Syaiful memotong penjelasan si bapak.
Belakangan penulis mendapat informasi dari Irfan, bahwa pasca penangkapan kami. Afifuddin Manan, adik dari Syaifuddin (Ketua Senat Mahasiswa) yang kuliah di Fakultas Hukum yang sangat intens ikut di dalam perencanaan aksi demonstrasi ini dari awal. Langsung kembali ke kampus dan dengan heboh meminta dukungan teman-teman di kampus untuk membebaskan kami dari tahanan.
Selain teman-teman mahasiswa ini, ada seorang anggota LSM dari mana Nurdin mendapat informasi tentang apa yang terjadi di Kuta Baro itu datang mengunjungi kami. Tapi teman anggota LSM yang tidak saya ketahui namanya ini tidak berkutik menghadapi intimidasi dari anggota Kodim.
Teman-teman yang datang, berkeras tidak mau pulang sebelum kami dikeluarkan dari tahanan. Setelah melalui negosiasi agak panjang, akhirnya mereka pulang ketika sang anggota Kodim menjanjikan akan melepaskan kami pada hari itu. Mereka masih membutuhkan kami sebentar di sana untuk diinterogasi.
Teman-teman mahasiswa ini datang tidak sekedar berkunjung tapi juga membawa makanan. Kami berempat yang belum makan sejak ditahan, memakan makanan yang dibawa teman-teman ini dengan lahap. Tapi karena ternyata masyarakat yang berdemo juga menitipkan makanan, makanan yang kami terima jadi terlalu banyak dan tidak semuanya bisa kami habiskan. Akhirnya kelebihan makanan itu kami bagi-bagikan saja pada anggota Kodim yang ada di sana.
Sepulangnya teman-teman, kami berempat diinterogasi secara bergantian oleh dua orang. Informasi dari kami berempat di cross check saling silang. Dengan bahasa yang intimidatif, anggota Kodim yang menginterogasi kami berusaha mengorek motif sebenarnya dari aksi ini dengan berusaha mencari keterkaitan kami dengan gerakan G 30 S/ PKI dan juga GPK.
Sekitar jam 4 Sore, interogasi selesai dan kami dibawa kembali ke DPRD. Dan di sana, kami lihat tak ada peserta demonstrasi yang beranjak. Ternyata mereka semua menolak bubar dan mengancam akan tidur di DPRD kalau kami tidak dibebaskan. Semua bersorak gembira ketika kami akhirnya datang. Anggota masyarakat yang ikut berdemonstrasi dan teman-teman mahasiswa yang berbaur bersama mereka, berebutan merangkul kami. Tidak lama kemudian aksi pun dibubarkan.
Esok harinya, berita tentang demonstrasi ini terpampang di halaman pertama surat kabar lokal Serambi Indonesia. Sementara Penulis, Lukman dan Syaiful diwajibkan untuk melapor ke Kodim setiap hari sampai sebulan kemudian. Mahasiswa Fakultas Teknik angkatan 94, yang penulis sudah lupa namanya, karena memang hanya ketiban sial berada di waktu dan tempat yang salah, tidak dikenai kewajiban itu.
Belakangan beberapa aktivis mahasiswa di Aceh menjadikan peristiwa ini sebagai tonggak sejarah gerakan aksi mahasiswa di Aceh.
Sementara itu, konflik antara PT. Indonusa Indrapuri dengan masyarakat Kuta Baro sendiri berakhir manis dengan keuntungan berada di pihak masyarakat. Belakangan, setelah kejadian itu. PT.Indonusa Indrapuri mengubah namanya menjadi PT. Acehnusa Indrapuri.
Rakyat Biasa*