Catatan: Rustam Effendi*
SEPERTINYA tidak ada masyarakat Gayo yang tidak mengenal beliau. Tgk. H Ramli Aman Tawardi (78 tahun), imam besar Masjid Agung Ruhamma Takengon, ibukota Aceh Tengah. Diusianya yang mendekati kepala delapan, Tgk H.Ramli Aman Tawardi masih sangat enerjik. Saat saya dan isteri menyambangi beliau di kediaman salah satu putranya di sudut pinggiran Kota Banda Aceh, Tengku bercerita soal banyak hal. Kulitnya yang putih bersih, dibalut baju batik, dan berpeci hitam, Teungku terlihat masih sangat tampan dan gagah. Entah bagaimana tampan dan gagahnya ketika beliau muda dulu.
Saat menginjakkan kakinya di Tanòh Gayo dulu, beliau masih amat belia. Berusia belasan tahun. Tak lama kemudian beliau berumah tangga dengan gadis cantik dari daerah Toa, pegasing, salah satu kecamatan di Aceh Tengah. Diselingi derai tawa dan dalam suasana yang ceria, Tengku mengurai sejarah perjalanan hidupnya. Sangat inspiratif, patut dicontoh oleh kita generasi muda.
Tengku Ramli Aman Tawardi berasal dari Labuhan Haji, Aceh Selatan. Selepas menempuh pendidikan setara SMP pada sekitar tahun 1960-an Tengku yang waktu itu berusia 17 tahun hijrah ke Takengon. Alasannya berhijrah untuk mencari kehidupan baru yang lebih baik. Pasalnya, di kampung asalnya (Labuhan Haji), peluang untuk meraih kesejahteraan, menurutnya, saat itu masih amat terbatas.
Selepas menikah, beliau membuka kebun di wilayah Wih Nongkal Kecamatan Kute Panang (dulu masih termasuk Kecamatan Bebesan). Menanam kopi jenis Arabica adalah pilihannya. Saat itu belum ada peralatan mekanis yang memadai dalam berkebun. Semua masih dikerjakan dengan tangan (serba manual). Membuka dan membersihkan lahan hutan dan lainnya dikerjakan dengan tenaga sendiri. Ketika masa itu, Tengku bekerja habis-habisan. Jika pekebun lain hanya bisa menanam kopi paling banter 40-50 pohon perhari, Tengku mampu menanam sampai berlipat-lipat lebih banyak dari mereka. Tgk Ramli Aman Tawardi adalah perintis pembuka lahan perkebunan kopi Arabica gayo di thn 1971.
Mengapa bisa? Tengku ingin menunjukkan jika produktivitas itu harus dimulai dari sesuatu yang awal. Jika diawali dengan ketekunan, kerja keras, disiplin yang tinggi, pasti hasil akhirnya juga akan lebih baik.
Setiap hari kebiasaan Tungku bangun menjelang salat Subuh. Lalu, mandi. Usai itu segera ke Masjid terdekat dengan berjalan kaki untuk salat berjama’ah. Saat itu, putra-putrinya yang masih kecil-kecil sedang terlelap tidur.
Seusai salat, berkemas menuju kebun. Bertahun-tahun rutinitas itu dilakukannya. Semuanya dikarenakan cita-cita Tengku yang sangat hebat yaitu masa depan yang lebih baik untuk keluarganya. Satu tekadnya, beliau berkeinginan kuat untuk membawa putra-putrinya keluar dari situasi sulit saat itu. Tidak lagi berada dalam kebun kopi. Harus tinggal di Kota Takengon. Dan, Tengku beruntung pula, Memiliki isteri yang sangat mendukungnya. Akhirnya, usahanya membuahkan hasil. Kedelapan putra-putrinya semuanya berhasil menata hidup mereka menjadi lebih baik, dibanding kehidupan Tengku saat masa belia dulu.
Berkat kerja kerasnya, Tengku berhasil menuai pendapatan dari hasil kebun kopinya. Ketika harga kopi Arabica meningkat di pasaran, Tengku dan petani-petani di Aceh Tengah mendapat penghasilan yang sangat lumayan dan seiring dengan jiwa sosialnya, beberapa petak lahan saat itu diwaqafkannya untuk dibangun masjid, sekolah, dan puskesmas. Menurutnya, inilah yang miliknya, bekal untuk amalan di akhirat, kelak.
Tidak hanya tekun dalam berusaha, Tengku ternyata juga Qari terbaik. Seni baca Al Qur’an beliau sudah teruji. Tahun 1969, beliau pernah menjadi Qari Terbaik III se Aceh. Beliau turut mempelopori seni baca Al Qur’an di Aceh Tengah. Bahkan, Tengku sering dipilih sebagai salah satu dewan juri untuk MTQ provinsi dan nasional bahkan hingga kini. Tidak jarang jika anak-anak dan cucunya sangat menantikan shalat yang diimami beliau. Ma shaa Allah.
Sebagai kepala keluarga, Tengku dikenal sebagai pemimpin yang tegas. Gaya mendidiknya memang cenderung keras, sangat disiplin. Setiap malam beliau mengawasi aktivitas belajar putra-putrinya, satu persatu.
Tentu, masa pembagian rapor merupakan saat-saat yang amat mendebarkan bagi putra-putrinya. Jika ada yang mata pelajarannya bernilai merah Tengku sangat marah dan memberikan hukuman.
“Idiih, takut sekali jika dapat nilai raport yang jelek…,” ungkap putri beliau, Rosna Wita.
“Tapi, tidak semua pernah mengalami nilai raport yang jelek Pak RE, seperti saya contohnya “, celoteh Idawati putrinya yang satu lagi. Dan, kami pun, malam itu tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
Di mata para pejabat dan birokrat di Aceh Tengah dan Bener Meriah, Tengku Ramli Aman Tawardi terbilang sosok yang disegani demikian juga di kalangan para ulama, keberadaan Tengku sering dijadikan tempat bertanya. Soal kedekatan Tengku dengan pejabat daerah, termasuk Muspida, ada cerita juga yang menarik.
Teungku berujar, jika almarhum M. Jamil, Bupati Aceh Tengah periode 1990-an pernah mengomelinya. Kira-kira begini,
“Nyoe jih ureung cukòp bangai. Tajòk han jitung. Jih pih han ji lakee.” Maksudnya,
“Ini orang sungguh tidak cerdas. Kita beri dia tidak mau. Dan, dia pun tidak pernah mau minta pada kita.”
Tengku Ramli Aman Tawardi memang dikenal memiliki prinsip yang kukuh. Sekukuh giginya yang masih rapi, utuh. Kedekatannya dengan para pejabat di daerah tidak pernah dimanfaatkan untuk kepentingan pribadinya, seringkali beliau ditawarkan “sesuatu” oleh para pejabat. Tapi tidak pernah diterimanya. Keteguhan untuk yang satu ini masih dipegangnya hingga masa tuanya.
Ketika putra-putrinya sudah berhasil dalam hidupnya masing-masing, Tengku masih tetap memberi untuk mereka, anak-anaknya. Tak pernah berharap balasan sedikitpun dari mereka. Ketika hari-hari khusus, seperti Hari Raya, misalnya Tengku selalu mengajak putra-putri dan cucu-cucunya untuk pulang kampung, ke Takengon. Beliau menyediakan makanan terbaik untuk mereka. Tengku melarang putra-putrinya mengeluarkan biaya untuk konsumsi selama berada di rumah sang Ayahnya itu.
“Kalian pulang. Bawa cucu-cucuku semua. Tidak usah beli apa pun. Makan apa yang Ayah sudah sediakan. Kalian tetap anak-anakku. Ayah masih mampu memberi makan kalian,” kata Tengku Ramli Aman Tawardi. Begitulah beliau memuliakan putra-putrinya. Ma shaa Allah. Sebuah pelajaran yang sangat bernilai.
Sebelum pamit, saya meminta agar Tengku Ramli Aman Tawardi dapat menulis sejarah perjalanan hidupnya ini. Agar para generasi muda dapat belajar bagaimana cara meniti hidup dari pengalaman Tengku, Paham bagaimana dalam bersikap menghadapi tantangan hidup yang tidak ringan dan penuh godaan ini.
Tengku telah mengajari kami malam itu mengenai cara membangun kepribadian diri dan integritas.
Salah satunya, “Tidak boleh meminta. Banyaklah memberi !”
Jazakallahu khairan. Semoga Teungku selalu dilimpahi kesehatan dan dalam lindungan Allah Subhanahu wata’ala. Selamat kembali ke Tanòh Gayo.
Salam takzim saya dan isteri, Hj. Faradina Azhar.
* Penulis Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Syiah Kuala.
[Senin, 08•06•2020]