Setengah hari rasanya tak cukup bersama Aman Tauhid. Apalagi lelaki berputra tiga ini kemana-mana bawa parang yang terasah tajam. Pakaiannya lusuh dan kotor, memakai sepatu boot. Membawa gunting kopi dan gergaji kecil. Merengkuh asa dari usaha tani.
Aman Tauhid nama aslinya adalah Dirum Solahri. Berusia 35 tahun. Sepanjang hidupnya dia mendedikasikan hidupnya menjadi petani kopi. Tak ada yang lain. Kopi Gayo menjadi sumber andalan ekonomi keluarganya.
“Kopi ini sudah berumur 20 tahun. Saya tanam sebelum menikah”, kata Aman Tauhid kepada saya. Kulitnya lebih legam karena dibakar matahari setiap hari. Tangannya kasar dan tebal karena memegang parang dan cangkul.
Kopi yang ditanam Aman Tauhid jenisnya adalah Timortimur. Tampak terawat dengan baik. Dipangkas dan selalu mendapat perhatian dari serangan gulma. Dari kebun seluas delapan rante (satu rante 25 X25 meter), Aman tauhid menggantungkan hidup keluarganya.
Saat aku tiba ke rumah Aman Tauhid di Wihni Kuli Kecamatan Kebayakan, Aman Tauhid dan keluarganya baru makan pagi di Minggu pagi (25/12). Keluarga Aman tauhdi duduk bersila bersama dua anak lelakinya di dapur rumahnya. Si sulung Tauhid, pelajar SMA kelas 1. Fadil , anak bungsunya pelajar kelas 3 SD.
Sementara seorang anak perempuannya, Nurma berada di Bireuen di sebuah pasantren. Inen Tauhid membereskan bekas makan paginya. Masih bisa kulihat Inen Tauhid membereskan legen, tempat membuat cecah (sambal) dari bahan Agur, dicampur terong kertop.
Sayurnya tampak ludes, tarukni Jepang. Nikmatnya dalam hatiku. Rumah Aman Tauhid dibangun senilai Rp.88 juta. Memiliki sebuah mobil jenis Carry seharga Rp 44 juta. “Semua ini saya peroleh dari hasil berkebun kopi dan hasil beternak sapi bali”, ujar Aman Tauhid.
Dilingkungannya, Aman Tauhid terbilang petani sukses karena ketekunannya berkebun dibandingkan para tetangganya. Aman Tauhid bekerja di kebun kopi seperti layaknya pegawai di perusahaan swasta tau negeri.
Pergi pagi pulang senja hari. Setelah anak-anak mereka berangkat, Aman Tauhid dan Inen Tauhid berangkat ke kebun. Sama halnya saat hari Minggu aku kesana. Inen Tauhid sama dengan Aman Tauhid. Memakai pakaian bekerja di kebun yang tampak berlepotan getah dan warna aslinya sudah kabur.
Inen Tauhid, membawa parang, demikian juga Aman Tauhid, Tauhid dan si bungsu Fadil. “Hari ini munebes (membabat rumput)”, kata Inen Tauhid. Kebun keluarga Aman Tauhid tidak jauh dari rumahnya. Hanya sekitar 300 meter lebih.
Hanya saja lokasi kebun tersebut berada pada lahan miring yang hamper 40 derajat kemiringannya. Menempuh jalur ke kebun ini, diperlukan fisik yang prima dan ekstra hati-hati karena licin setelah hujan dan penuh bebatuan.
Setiap pagi, lokasi kebun keluarga Aman Tauhid disapa awan yang kerap turun dan melewati kebun-kebun kopi petani disana. Ini pula yang membuat rasa kopi dari petani kopi Gayo menjadi specialty. Apalagi beberapa kali tes cup di Indonesia, kopi arabika kerap mendapat angka tertinggi.
Kriteria kopi Gayo specialty bukan dibuat –buat begitu saja. Tapi dilandasi dasar yang kuat dan ilmiah sebagai pendukungnya. Kopi specialty pertama sekali digunakan pada tahun 1974 oleh Erna Knutsen dalam jurnal perdagangan tentang The dan Kopi.
Knutsen memakai istilah specialty untuk menggambarkan biji dari rasa terbaik yang diproduksi secara khusus. Kata specialty yang dimiliki kopi arabika Gayo, didasarkan pada argument lainnya. Seperti, disebutkan Asosiasi Kopi Spesial Amerika (SCAA).
Kopi dengan skor 80 poin atau lebih pada skala poin 100 dinilai sebagai kopi specialty. Kopi specialty memiliki rasa yang khas dan unik. Rasa ini dihasilkan dari kekhasan sifat karakteristik dan komposisi alam dimana kopi itu tumbuh.
Rasa dan aroma ini seperti rasa yang komplek dan body yang kuat. Cupping test diberbagai tempat regional Insonesia dan peserta asing di Takengon dan Bener Meriah, telah membuktikan rasa dan aroma kopi Gayo.
Nama kopi Gayo sudah mendunia. Trade mark kopi Gayo dihasilkan karena kualitas dan spesipikasi wilayah geograpis yang menghasilkan mutu kopi terbaik di Asia. Juga merupakan kawasan kebun kopi arabika paling luas di kawasan ini.
Aman Tauhid memang menghasilkan kopi lebih banyak dari kebun tetangganya yang semuanya menanam kopi yang sama. Tetangga pekebun Aman Tauhid datang ke kebun tak serajin keluarga Aman Tauhid. Hal ini berpengaruh nyata dengan hasil panen kopi setiap tahunnya.
Akibatnya para tetangga Aman Tauhid harus mencari kerjaan tambahan selain menjadi petani kopi. Ada yang menjadi kuli bangunan, abang beca atau malah buruh tani. Kedatanganku ke kebun Aman Tauhid karena aku ingin belajar berkebun kopi.
Cekatan, tangan Aman Tauhid memotong cabang kopi yang dianggap tidak menghasilkan memakai gunting kopi. Cabang yang agak besar dipotongnya dengan menggunakan gergaji kecil buatannya sendiri.
Asap mengepul dari mulutnya. Dia merokok rokok kretek tanpa filter bermerek “angka’ yang harga perbungkusnya Rp.3500,. Aman Tauhid memangkas kopinya dengan bagian atasnya lapang dari cabang dan daun. Mirip kepala botak.
Meski telah 20 tahun, Aman Tauhid belum mengganti kopi arabika varietas Timtimnya. “Sayang kalau diganti karena masih menghasilkan”, ujar Aman Tauhid. Aku cemburu melihat kehidupan Aman Tauhid dan keluarganya.
Mengisi hari dan waktu dengan menjadi dokter bagi tanaman. Sahabat kopi dan sayuran. Anak istri Aman Tauhid juga sudah sepaham. Tiap hari sudah terjadwal menuju ke kebun dengan berbagai agenda kegiatan sesuai kebutuhan tanaman.
Meski tak mampu menerangkan secara ilmiah, tapi menurut Aman Tauhid kopi-kopi secara psikologis mampu berbicara. Setiap pertumbuhan dari kopi memunculkan bahasa yang harus dipahami. Tentang kekurangan unsure hara, tentang persaingan merebut sinar matahari atau persaingan dengan gulma.
“Jika ada yang salah, kopi akan merajuk dengan tidak berbuah”, sebut Aman Tauhid. Persoalan kopi lainnya menurut bapak petani ini, ditandai dengan perubahan warna pada daun kopi. Meski begitu, Aman Tauhid lebih menyukai memakai pupuk organic bagi kopinya yang dihasilkan dari kotoran sapi miliknya.
Meski tidak jauh letak kebun dari rumahnya, Aman Tauhid lebih suka membawa nasi dari rumah sehingga tidak repot lagi memasak di kebun. Hanya untuk kopi , Aman Tauhid dan keluarganya biasanya membuatnya di kebun.
Caranya, air dan kopi dimasak bersamaan menggunakan kayu bakar . setelah mendidih, kopi yang berbuih dan berwarna coklat kehitaman ini kemudian diberi gula. Ah nikmatnya. Setengah hari rasanya tak cukup bersama keluarga Aman Tauhid. Begitu banyak kisah yang seharusnya ditulis, tapi kubiarkan tak kutulis dan hanya mengisi memoriku saja.
Tentang sebuah dunia yang indah dan dilakoni hampir dua ratusan ribu penduduk Gayo. Sebuah dunia nyata dan bukan khayal. Kopi-kopi yang dihasilkan petani Gayo yang diakui dunia. Berasal dari hasil karya Aman Tauhid salah satunya….
(WRB/03)