Orang-orang dalam Secangkir Kopi
sebuah malam ketika jangkrik dan kica-kica bergumul dengan
angin yang menerbangkan serbuk sari pada putik
suara-suara menggema pada dinding cangkir—gambar bibir
dengan bau rokok juga gincu menempel di garis mulutnya
ada yang mengadu pada bumbung asap kelabu,
ialah kegelisahan: kutang kita mulai kendor
kolor kita mulai molor
ah, bukankah semua telah keriput seperti garis-garis usia
dan kita melulu lupa kopi dalam cangkir sejak lama
menenggelamkan orang-orang dengan sajak
juga kritik dewa-dewa
sebuah malam, sejarah lahir dari ampas hitam
menempel pada rambut orang-orang menjelma
anak-anak kata
Surabaya, 2011
Candu
di satu lustrum, warna kopi di cangkir kita
tidak lagi sehitam malam dan mendung gulungan awan
ampasnya serupa serbuk harendong yang diterbangkan angin
menjadi metafora dalam puisi kita
yang menguap ke ruang asing ini bukanlah bau parfum atau bodymist
hanya wangi kembang kopi meruap dari mulut kita serupa aroma kata-kata
ah, tuhan
pastikah ini candu yang diceritakan para penyair serupa ganja atau khat?
kita reguk lagi hari
kita mabuk lagi seperti rendra yang tergila-gila pada cinta dan sastra
2013
Forces of Nature
hujan sewaktu-waktu bisa merobek daun cassia
batang dan ranting menggigil—jatuh
terbawa arus air melewati gelap dasar sungai
melarungkan huruf-huruf yang kita rangkai serupa puisi
barangkali lantai rumah akan licin oleh embun dan kabut
kita berusaha berdiri setegak oak
meski badai bisa menumbangkannya seperti waktu
mematahkan jarum jam
dalam ceruk malam bulan bisa kapan pun pulang
kegelapan mengendap di cangkir kopi kita menjadi
ampas kata paling pahit
kita teguk lagi udara sedingin air kolam yang membunuh ikan-ikan
angin tiba-tiba berlesatan di antara waktu yang telanjang
seperti lipatan tubuhmu—tempat kutemukan kembali wajahku
yang sempat tersalip musim hujan panjang
2012
Ritus Kata
: Ahda Imran
di negeriku orang-orang menemukan kata
mengambang di arus air
menjaringnya dengan mantra dan jampi-jampi dari kitab purba
dengan sesajian kopi hitam sepanjang malam
di negeriku orang-orang menemukan kata
melayang di desir angin
menangkapnya dengan selendang kembang-kembang
dengan asap menyan yang meruap dari tubuh mereka
di negeri dalam kepalaku
kata-kata ruah menjadi sajak
menjelma arah bagi orang-orang menuju rumah
di kepalaku sajak lahir dari balik rumah yang
kita sebut pertemuan
2011-2012
Evi Sefiani lahir Bandung, 25 September 1989. Beberapa puisi dan artikelnya pernah dimuat di beberapa surat kabar. Puisi perempuan berdarah Tasikmalaya ini juga dimuat dalam antologi puisi Diafan, Ponari For President, Sihir Terakhir, Berjalan ke Utara, Narasi Tembuni (KSI Award), dan Di Kamar Mandi (Antologi 62 Penyair Jawa Barat), dan Sauk Seloko (Antologi PPN VI Jambi). Pernah membacakan puisinya dalam “Parade Suara Perempuan” bersama Komunitas Sastra Dewi Sartika dan Raya Kultura. Memenangkan Seyembara Esai Sastra Nasional Pusat Bahasa 2010 dan beberapa lomba penulisan puisi. Saat ini mengajar Bahasa Indonesia bagi siswa SD.
Puisi Evi Sefiani telah lulus seleksi tahap pertama dari sejumlah karya yang dikirimkan dan berhak menjadi nominator karya yang akan dimuat dalam Buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan oleh The Gayo Institute (TGI) dengan Kurator Fikar W Eda dan Salman Yoga S.