Oleh Khairul Rijal
Peradaban suatu bangsa akan tumbuh dan lahir dari sistem pendidikan yang digunakan oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang beradap adalah masyarakat yang berpendidikan (Yasmani 2002 : 58). Tumbuh kembangnya sebuah peradaban ialah tumbuh kembangnya sebuah pembiasaan, artinya pembiasaan yang lahir dari kerakter pendidikan yang semakin kreatif dan mampu menunjang prestasi sebuah bangsa. untuk itu dibutuhkan singkronisasi atau keseimbangan antara dualisme pendidikan dan pengajaran.
Kelemahanan sistem pendidikan yang dimiliki bangsa Indonesia pada dasarnya masih terletak pada penekanan kepada aspek pengajaran dari pada pendidikan. Pada dasarnya pengajaran hanya berfungsi sebagai sistem dalam tranformasi ilmu pengetahuan kepada peserta didik, sementara pendidikan merupakan sistem yang melakukan pendekatan kepada pertumbuhan watak, moral, sikap dan pola pikir. Maka dari itu, tidak heran jika bangsa indonesia banyak melahirkan seorang yang cerdas, akan tetapi kecerdasan tersebut hanya sebatas teori yang dituangkan tanpa adanya kesemimngan antara moral dan kecerdasan tersebut.
Dalam Amanat Undang-Undang Pendidikan Nomor 20 yaitu tentang tujuan pendidikan Nasional yang berorientasi kepada pembentukan anak didik berakhlak mulia, budi pekerti luhur, cerdas, bertanggung jawab demokratis dan mandiri harus tetap menjadi acuan agar disiplin pengajaran dan pendidikan tetap memiliki singkronisasi dan lebih mengutamakan pembinaan akhlak mulia.
Tujuan pendidikan yang ideal ialah membentuk anak didik menjadi insan yang bertaqwa. Maka dari itu orientasi pendidikan yang selama ini dijalankan harus memiliki dasar dan landasan yang tidak berubah dalam tantanan dunia pendidikan. Selain itu, sisi yang tidak mendapat perhatian khusus terkesan dibiarkan ialah Kelememahan yang bermuara pada pola implementasi yang lebih menekankan kepada aspek pengajaran bukan pendidikan. Sedangkan pengajaran bersifat kecerdasan atau mencerdaskan akan tetapi tidak menjamin terbentuknya budi pekerti. Padahal dalam dunia pendidikan bukan sebatas kecerdasan yang dibutuhkan tetapi lebih dari itu, yaitu memiliki pendidikan yang mencerdaskan dan berbudi pekerti yang tinggi. oleh karena itu sistem pendidikan yang selama ini terbentuk tidak menciptakan koheransi antara kecerdasan otak dan kecerdasan hati nurani. Tidak heran jika implementasinya acap kali tidak senyawa. berbagai kasus seperti dikte atau contek mencontek, aksi tauran yang merenggut nyawa, narkoba, dan sampai kepada ruang lingkup yang bersekala besar seperti tindakan korupsi menjadi budaya yang selama ini mewarnai wajah pendidikan di Bumi Indonesia.
Warna pendidikan yang semakin cerah merupakan sebuah mimpi dan menjadi cita-cita yang selama ini terkubur oleh tenaga dan fasilitas yang dimiliki bangsa ini. Tenaga tersebut terdapat pada peran guru dan orang tua sebagai pondasi yang dapat memerdekakan anak didik dengan memacu kemampuan kreatifitasnya untuk menghadapi tantangan disekitarnya. Akan tetapi realita yang terjadi saat ini menimbulkan tekanan tersendiri dan menjadi fenomena besar. Berbagai dilema menjadi tolak ukur tentang kasus kekerasan terhadap anak yang dilakukan orang tua dan guru menjadi pandangan yang terbelenggu dalam rantai yang mematikan, yaitu rantai yang memiskinkan ilmu dan hati nurani. Maka dari itu skeptisme terhadap peran guru dalam membimbing murid menjadi fenomena besar sehingga penghargaan terhadap pahlawan tanpa jasa tersebut menjadi lumrah di mata publik. tidak lebih dari itu, peran orang tua terkadang jauh dari presfektif dan akal sehat kita selama ini bahkan kasus kekerasan rumah tangga dan anak menjadi warna yang sering tertapapar dewasa ini. maka dari itu sudah saatnya peran guru dan orang tua sebagai dasar pendidik harus dikembalikan kepada nilai dan normanya. Karena suksesnya peran guru dan orang tua dapat menanamkan pentingnya peran pendidikan dan merupakan jalan suksesnya singkronisasi antara pendidikan dan pengajaran.
Menurut DR Ahmad Alim sudah saatnya dunia pendidikan menekankan proses ta’bid atau prososes pendidikan yang mengarahkan peserta didiknya menjadi manusia yang berilmu dan beradab. Sebab jika adab hilang dari diri manusia maka hilang pula fitrah kemanusiaanya. Jika fitrah telah hilang maka yang terjadi adalah penyimpangan, kezaliman, kebodohan dan menuruti hawa nafsu yang merusak. Karena ilmu tanpa adab ibarat pohon tanpa buah. Adab tanpa ilmu ibarat orang berjalan tanpa pentunjuk arah. Demikian ilmu dan adab harus bersinergi tidak boleh terpisah. Berilmu tanpa adab adalah dimurkai. (al-maghdub ‘alaihim) sementara beradab tanpa ilmu adalah kesesatan (ad-dhalun). (Majalah Gontor Edisi Juli 2012).
Penekanan pada aspek pindidikan yang beradab merupakan sebuah titik awal dalam tercapainya seorang peserta didik yang menjamin adanya mamfaat bagi dirinya dan bagi bangsanya. oleh karena itu perubahan sebuah bangsa dalam tercapainya pemerintahan yang bersih dan menjamin kesejahteraan terhadap rakyatnya merupakan proses dari era pendidikan yang menitik beratkan pada aspek moral yang beradap dan tercapainya sebuah keseimbangan antara pendidikan dan pengajaran.
*Penulis Adalah Ketua Barisan Muda Gayo Indonesia (BMGI) dan Anggota Gayo Etnik Jakarta.
bagaimana kondisi pendidikan gayo saat ini ?
kurikulum mata pelajaran mengenai budaya dan kesenian gayo mana ya ?
mata pelajaran yang menjunjung sumang dan kemali dimana ya ?