REPUBLIKA.CO.ID MELAKUKAN BLUNDER DENGAN PEMBERITAAN TARI SAMAN YANG DISELENGGARAKAN DI GAYO LUES 24 NOVEMBER 2014 DIMAINKAN OLEH LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Oleh: Muhammad Amin, S.Pd*
Senin, 24 November 2014 lalu pemerintah kabupaten Gayo Lues telah sukses mengadakan pergelaran Saman kolosal dengan 5057 peserta. Tidak hanya masyarakat Gayo Lues sendiri yang merasa terharu dan merinding menyaksikan betapa luar biasanya penampilan pergelaran ini, akan tetapi siapapun di seluruh penjuru dunia akan takjup jika menyaksikannya. Baik itu yang hadir pada saat perhelatan tersebut maupun yang hanya menyaksikan dari media massa dan media social seperti facebook, youtube, twitter dan lain sebagainya. Begitulah ruh tarian saman tersebut terpancar jika saman tersebut dimainkan secara original. Original yang kami maksudkan adalah langsung dimaikan oleh pemilik tarian saman tersebut, dalam hal ini masyarakat kabupaten Gayo Lues, aceh tenggara serta daerah-daerah lain di sekitarnya.
Lilliane Fan misalnya, seorang gadis asal Malaysia yang merupakan seorang pegiat HAM dan juga seorang antropolog lulusan Universitas Sorbone, di Perancis. Fan rela mengambil resiko melewati jalur darat yang berbahaya, karena kondisi geografis Kabupaten Gayo Lues berada di dataran tinggi yang berbukit-bukit sehingga dijuluki negeri seribu bukit dan saat musim penghujan seperti ini sering terjadi longsor. Fan datang hanya untuk menjadi saksi sejarah menyaksikan kesenian saman yang telah diakui oleh United United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) sebagai warisan budaya dunia tak benda serta juga secara resmi menyatakan bahwa Tari Saman merupakan warisan budaya asli dari Tanah gayo. Demikian juga para fotografer, puluhan insan media, baik madia lokal, nasional maupun internasional turut menyempatkan diri mengikuti tarian massal ini yang sudah dicatat sebagai Sejarah Superlatif Rekor Dunia pada Museum Rekor-Dunia Indonesia (MURI).
Kalau kita melihat kembali referensi tentang tarian saman, maka yang dinamakan tari saman adalah tarian yang dimainkan oleh kaum laki-laki, menggunakan Bahasa arab dan Bahasa gayo, mengenakan pakaian adat suku gayo, serta tidak diiringi oleh alat musik apapun dan pemimpin tarian (penangkat/syeh dalam Bahasa Gayo) juga ikut menari saman dan berada di barisan penari. Ini semua bisa kita baca dari berbagai sumber yang ada, baik referensi online misalnya situs unesco sendiri (http://www.unesco.org/culture/ich/USL/00509) atau buku-buku tentang saman.
Tari Saman pertama kali ditampilkan di pentas nasional setelah ada permintaan dari Raden Ayu Siti Hartinah atau lebih dikenal Tien Soeharto, istri Presiden Indonesia kedua. Tepatnya pada saat launching Taman Mini Indonesia Indah (TMII) tahun 1974. Dia minta ditampilkan tari pedalaman Aceh yaitu Gayo Lues, Ibu Tien Soeharto menyebut Tari Saman dengan nama Tangan Seribu. Pasalnya, tangan pemain Saman yang bergerak cepat dan terlihat banyak bayangan tangan bermunculan. Sejak itu, di Jakarta mengenal Tari Saman dengan Tari Seribu. Padahal Saman sendiri sudah berkembang sejak abad 14 dengan nama Tari Saman. Awalnya tarian ini merupakan permainan rakyat yang bernama Pok Ane. Syeh Saman kemudian menambah syair-syair religi yang berisi pujian kepada Allah SWT.
Syair-syair itu diiringi dengan kombinasi tepukan tangan para penari. Seiring perkembangannya, gerakan tari saman kemudian bertambah dengan kecepatan dan ketepatan gerakan tangan. Semua masyarakat tau belum ada saman yang diperankan oleh kaum perempuan pada saat itu. Namun, selama konflik berkepanjangan di Aceh, tarian saman diduga diplagiat oleh masyarakat Aceh pesisir yang membuat tarian duduk berderet dengan iringan alat musik dan dipimpin oleh seorang syeh tanpa ikut menari, menggunakan Bahasa Aceh, menggunakan pakaian adat Aceh, serta ditarikan oleh penari wanita, dan bahkan yang sangat mengecewakan ada kombinasi pria dan wanita. Sangat tidak layak untuk daerah yang menjalankan syari’at Islam dan lebih membuat sakit hati masyarakat Gayo Lues lagi adalah mereka menamakan tarian baru tersebut dengan tari saman. Seiring berjalannya waktu, tarian yang mereka anggap sebagai saman mulai berkembang di luar Aceh dengan dukungan pemerintah Aceh sendiri pada saat itu. Sebuah pembodohan yang sangat besar dan menodai khasanah budaya Gayo secara masif. Tarian Saman asli dari Gayo Lues kembali muncul ke permukaan setelah adanya pemekaran Kabupaten Gayo Lues dari kabupaten Aceh Tenggara berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2002.
Pada tahun 2009/2010 pemerintah kabupaten Gayo Lues mengajukan permohonan kepada Unesco PBB melalui pemerintahan Irwandi Yusuf dan Muhammad Nazar saat itu. Selama kurang lebih 2 tahun tim dari unesco melakukan penelitian tentang tari saman di Gayo Lues, akhirnya pada tanggal 24 November 2011 ditetapkan tari saman asli Gayo Lues menjadi warisan budaya dunia tak benda oleh Unesco.
Seharusnya setelah tari saman diakui oleh dunia melalui Unesco, tidak ada lagi tari saman yang dimainkan oleh wanita, ini sangat tabu di Gayo Lues. Wanita di Gayo Lues memiliki tarian tersendiri yang disebut tari Bines dan tari Turun Ku Aih Aunen. Namun, seperti yang diberitakan oleh republika.co.id dengan judul “Pemerintah Aceh Dukung Hari Tari Saman” (http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/14/11/24/nfjulr-pemerintah-aceh-dukung-hari-tari-saman) masih menyebutkan bahwa saman yang diselenggarakan oleh pemerintah Gayo Lues diikuti oleh penari laki-laki dan perempuan, ditambah lagi pemberitaan tersebut disisipi gambar tarian perempuan berderet. Hati seakan terkejut, apa arti semua ini, begitu mudahnya insan media memuat berita yang salah dan membodohi publik. “Siaran pers Humas Pemerintah Aceh menyebutkan sebanyak 5.027 penari laki-laki dan perempuan ikut membawakan Tari Saman di Stadion Seribu Bukit Blangkejeren, Gayo Lues.” Demikian kutipan berita republika yang terdapat pada alenia ketiga tertanggal 24 November 2014 pukul 22.30 WIB. Disana memang disebutkan kutipan dari siaran pers Humas Pemerintah Aceh, namun setelah melihat postingan humas Aceh di situs humas Aceh tidak ada disebutkan perempuan memainkan saman. Apa sebenarnya yang sedang terjadi? Jelas-jelas di Gayo Lues saman dilakukan oleh 5057 penari dengan semua penarinya adalah laki-laki. Seperti yang dimuat di media-media lain baik nasional maupun internasional bahwa tidak ada satupun seorang perempuan dalam barisan 5057 penari saman tersebut.
Oleh karena itu, kepada seluruh Rakyat Indonesia dan seluruh dunia bahwa tujuan digelarnya acara tari saman di Gayo Lues sekaligus mengungkapkan bahwa saman hanya ditarikan oleh laki-laki, bukan perempuan sebagaimana yang umum diketahui, akibat dari salah kaprah yang dibiarkan oleh pemerintah Aceh. Hampir semua kalangan di luar Gayo, dengan keliru menyangka bahwa tari Saman adalah tarian yang ditarikan oleh perempuan dengan lagu berbahasa Aceh. Bukannya diluruskan, kekeliruan ini seolah sengaja ingin dipelihara oleh Aceh. Indikasi ini bisa dilihat dengan dibangunnya opini oleh seorang seniman Aceh dengan cara membuat berbagai rasionalisasi, bahwa seolah-olah Saman Gayo adalah tarian yang sebenarnya asli Aceh yang dibajak oleh Gayo.