GAYO, YO AYO
: bersama LK. Ara
Gayo, yo ayo humpimpah hum
menghirup secangkir kopi pagi
aku menangkup dan menangkap wajah sejarah
jalan yang terentang memanjang, menjangkau pulau-pulau
Gayo, yo ayo humpimpah hum
aroma kopi mengepulkan tarian saman
yo iya iyo Gayo Gayo gayung telah bersambut
menarikan rentak zaman ke penjuru dunia
Gayo, yo iya iyo humpimpah ya allah
hidup dan mati ada di cangkir puisi
yo iya iyo Gayo! Gayo! tarikan lagi irama kopi
bernuansa salsa dan dansadansi
sampai pagi
(bengkel puisi swadaya mandiri, desember 2012)
Bincang Pagi Di Kedai Kupi Beungoh
pagi. mentari mereguk kupi di atjeh tv
kemalawati dan helmi merintis jalan di depan
djazlam dan dam diam di belakang
jalan tak lelah meriwayatkan sisasisa tsunami
teraduk di secangkir kupi beungoh
penjaga warung masih mengenakan sarung
sisa doa bergetar di sudut bibirnya
aku mereguk senyum perempuan berjilbab
menunjukkan telunjuk ke jalan ziarah menuju jazirah
di kedai ini semuanya mencair
dan ngalir
di kedai ini iklaniklan berenang tenang
melahap setumpuk hasrat:
saling dekap!
<atjeh tv, 22 desember-jambi 26 desember 2010>
Dhapu Kupi
[Secangkir Kopi di Ultah Erny]
di dapur, ibu menyeduh kopi ulee kareng dan kopi murni
uap dan asapnya mengepulkan harap
dan nikmat; lalu di cangkir yang terhidang di meja itu
mengapung seraut wajah bocah hitam manis
dalam senyum yang ranum
inikah anakku? begitukah kehendakmu?
pada asap dan aroma kopi yang kureguk
terasa ada sesuatu yang menikmatkan
kuharap sendok demi sendok yang kuaduk
mencairkan segala doa dan harap
dalam cangkir kopi
di genang kenangan bersama prasetyo
segala rasa berenang ke tepian ranjang waktu
ada pusaran dan gelombang
lalu kembali erat berdekapan
Hotel Jeumpa Banda Aceh, 24 Desember 2010
Salam Jeumpa, Ibu
sayap kataku sepagi ini kembali melangit
di serambi mekah. mekarlah kerinduan yang rindang
terhidang di bandara sultan iskandar muda
merayap di ruang hotel jeumpa
mencair di dhapukupi
kulihat senyummu netes bersama kuah mie
di antara kepiting rebus, tempe dan tahu
yang kautahu semua itu adalah pendar doaku
salam jeumpa ibu
aku telah menjadi gerakan anak merdeka [gam]
dan diamdiam terus menampung getar kerinduan
sepagi ini, ibu, aku bersua dengan suarasuara
dan makna mengendap di luas sajadah membasah
Hotel Jeumpa, kamar 203
—
DIMAS ARIKA MIHARDJA adalah pseudonim Sudaryono, lahir di Jogjakarta 3 Juli 1959. Tahun 1985 hijrah ke Jambi menjadi dosen di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas Jambi. Gelar Doktor diraihnya 2002 dengan disertasi “Pasemon dalam Wacana Puisi Indonesia” (telah dibukukan oleh Kelompok Studi Penulisan, 2003). Sajak-sajaknya terangkum dalam antologi tunggal seperti Sang Guru Sejati (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1991), Malin Kundang (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1993), Upacara Gerimis (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri, 1994), Potret Diri (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri,1997), dan Ketika Jarum Jam Leleh dan Lelah Berdetak (Bengkel Puisi Swadaya Mandiri danTelanai Printing Graft, 2003). Sajak-sajaknya juga dipublikasikan oleh media massa lokal Sumatera: Jambi, Padang, Palembang, Lampung, Riau, dan Medan; media massa di Jawa: Surabaya, Malang, Semarang, Jogja, Bandung, dan Jakarta.
Sejumlah puisinya terhimpun dalam puluhan antologi bersama terbitan pusat dan daerah. Sedang novelnya Catatan Harian Maya dimuat secara bersambung di Harian Jambi Independent (2002). Cerpen, esai, dan kritik sastra yang ia tulis tersebar di berbagai media massa koran dan jurnal-jurnal ilmiah. DAM, panggilang akrab Dimas Arika Mihardja kini menetap di Jln. Kapt. Pattimura Kenali Besar, Kotabaru, Jambi.
Puisi-puisi karya akademisi juga penyair Dimas Arika Mihardja telah melampaui tahap seleksi dan menjadi nominator karya yang akan dimuat dalam Buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan oleh The Gayo Institute (TGI) dengan editor Fikar W Eda dan Salman Yoga S.