Kopi Kita Bukan (Lagi) Kopi Kita
Kopi kita bukanlah kopi kita
sekarang
mungkin juga besok dan lusa
dan selamanya
Segenap kita pernah bermufakat
merawat kebun menimbang harga
tapi tengkulak memainkan dasinya
menggadai mufakat hingga tak lagi genap
Lalu ada yang tarik laba
dari luar dan dalam kebun kita
hingga kopi kita bukan lagi kopi kita
ia milik semesta bergadai etika
Segenap kita harus kembali bermufakat
agar jantung tak lagi ditikam
dengan rencong cenderamata hadiah seremonial
kali ini bukan oleh Jakarta yang kau kata seperti Belanda
tapi memang Belanda yang memegang neraca
(Uleekareng, 23/10/12)
–
Obrolan Secangkir Kopi
Kawan,
ketika Kutaraja lelap dalam romansanya
kita larutkan rindu dalam aroma kopi
hingga pucuk malam rebah ditumbuk fajar
Ketika munafik adalah teman setia para penunggang gelap
di sudut kota tua ini kita terbahak menertawakannya
kita aduk lagi cangkir setengah penuh itu
menyerumput hangatnya arabika negeri Malem Diwa
dalam aroma menikam rasa
Di ujung Banda aku pernah kehilanganmu
tapi aroma pekat dalam gelas bening itu hantarkan kembali rupa
lalu kita kembali menyerumput di gelas yang sama
kali ini dengan sedikit susu dan gula
Kau riwayatkan kepergianmu yang tempo itu
dengan selaksa kisah
kala yang lain sudah bertekuk lutut dalam kecupan selimut
kita masih saja menimbang rasa
cukup kopi itu saja hangatkan raga
jauhkan lelap pada kita punya indera
Besok kau akan pergi entah kemana
aku akan menunggumu dengan aroma robusta
dalam cangkir yang sama
karena itu adalah mantra penarik kembali
langkah yang membuana
menumbuk rindu yang sama
rindumu, rinduku
rindu kita dalam cangkir kopi pekat rasa
(Uleekareng, 23/10/12).
–
Lidah Kafein
Hari-hari kita adalah kafein
dari satu lekuk kota ke lekuk lainnya
dengan jalang kita menyerumput
arabika
robusta
sekali-kali luwak kalau lagi tanggal muda
Kita rubuh dalam rasa
yang aromanya membatu di ingatan
bersama waktu yang membeku dan mengental
Kita debatkan berita koran
meluas dan meruah entah sampai kemana
tak terhitung judul yang kita bincangkan
kecuali politik yang kau kata munafik
Katamu
cukup politik bagi kita segelas kopi kental
karena lidah kita adalah lidah kafein
(Uleekareng, 24/10/12)
–
Luwak
Lihat kawan!
di negeri ini kotoran jadi minuman
sedap pula
mahal dan menggiurkan
Kita timbangkan halal haram
karena gundah akan dicela Tuhan
meski kerongkongan terus dibasuhnya
Apa makna kau kata haram
sementara lidahmu, lidahku, dan lidah mereka
tak henti dibalut rasa yang tak terkhayal
Lalu,
ketika berita koran berkata tak masalah
satu gundah telah hilang
kini timbul lain gundah kawan
dompetmu
dompetku
sering tak kuasa jamah meja itu
Lihat kawan!
di negeri ini kotoran jadi minuman
sedap pula
mahal dan menggiurkan.
(Uleekareng, 24/10/12)
–
ISKANDAR NORMAN, lahir di Gampong Buangan, Kecamatan Meurah Dua, Kabupaten Pidie Jaya pada 4 Juni 1980 dari orang tua Nurman Harun dan Sawiyah Risyad. Sehari-hari bekerja sebagai jurnalis. Pernah bekerja di beberapa media, diantaranya: Koresponden www.detik.com untuk berita kampus di Banda Aceh (1999-2000), Pimpinan Redaksi Majalah Perspektif Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala (2001-Agustus 2003), Sekretaris Redaksi Tabloid Modus (September 2003 – 31 Desember 2007), Dewan Pelaksana Redaksi Aceh Independen ( Maret – Juni 2008), Wakil Redaktur Pelaksana Aceh Independen (Juli – 22 Desember 2008), Redaktur Harian Aceh ( Mei 2009 – Januari 2012), Redaktur Pikiran Merdeka (Februari 2012 – sekarang).
Alumni Lembaga Pers Doktor Soetomo ini juga aktif sebagai pemateri dan mentor pelatihan jurnalitik bagi mahasiwa dan umum, serta juri di berbagai lomba penulisan. Pada Maret 2005 menerbitkan buku Nuga Lantui. Bersama tim dari Universitas Syiah Kuala menulis buku Ensiklopedi Aceh (Maret 2007) yang diprakarasi Satker Revitalisasi Adat dan Budaya BRR Aceh-Nias. Pada Maret 2009 menulis buku Santri di Gelanggang Politik. Januari 2010 Iskandar Norman juga menerbitkan buku Adat dan Budaya Pidie Jaya, kemudian buku Pidie Jaya dalam Lintasan Sejarah (Desember 2011), Hadih Maja Filosofi Hidup Orang Aceh (Desember 2011), dan buku Legenda Aceh (Mei 2012) serta buku Napak Tilas Sulthan Iskandar Muda (Oktober 2012).
Selain sebagai jurnalis, Iskandar Norman juga dikenal sebagai seniman, karya sastranya bersama seniman Aceh dikumpulkan dalam antologi Keranda-keranda yang berisi sajak dan puisi tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia selama Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh. Cerpennya juga dibukukan bersama seniman Aceh dalam antologi Putroe Phang. Sekarang sedang mempersiapkan novel sejarah Het Veraad van Singapore tentang pengkhianatan diplomat Aceh di Singapura pada 1873, serta buku Tokoh Aceh Sepanjang Abad. []
Puisi-puisi karya Iskandar Norman diatas dinyatakan berhak menjadi nominator karya yang akan dimuat dalam Buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan The Gayo Institute (TGI) yang dieditori oleh Fikar W Eda dan Salman Yoga S.