PERIHAL KOTA KOPI
Bulan jatuh di gelasmu malam Minggu teduh tiba-tiba lusuh
Orang-orang mencari bulan yang kau sesap berulang-ulang
Kota jatuh di gelasmu malam Minggu lusuh tiba-tiba hangat
Orang-orang mencari kota mereka yang hilang kau aduk-aduk
Suara pendar di gelasmu malam Minggu hangat tiba-tiba gelasmu riuh
Seorang muazin mencari suaranya kau aduk-aduk
Kau sesap sedemikian rupa aromanya; wangi betul
Masjid rubuh di gelasmu; malam apa ini kenapa tak riuh?
Orang-orang tua mencari masjid kau aduk-aduk
Ritual sesap tutup
Jambo Kupi Apa Kaoy, 18 Oktober 2012
KOPI PERTAMA
Kita masih bertanya tentang kopi dan negeri
Ini kopi pertama hari ketiga dan cerita utama berhari-hari sudah
Seperti berbilang-bilang kali dalam cakapan
Kita melihat gelas dipenuhi peta kusam
Masih percaya pada mitos kejayaan, tanyamu
Masa-masa bertuah telah pulang ke pusara
Seiring Sultan yang agung dengan nama tidak begitu agung
Itulah keagungan yang agung
Bukan diagung-agungkan hingga hampir menyerupai nama Tuhan
Kita bersepakat tentang tanah
Peta kusam hanyalah kusam dan belum pasti benar adanya
Masih percaya pada penaklukan Iskandar, tanyamu
Aku mengangguk dan menggeleng atas penaklukan orang lain
Aku menatap peta-peta yang tercabik oleh sendok
Kerajaan hancur lebur di dalam gelas kopi kita
Beraduk-aduk dengan pelbagai isi
Beraduk-aduk menjadi kopi
Dhapu Kupi, 24 Oktober 2012
TING
Sudah berapa kali kita ke sini sudah tak terhitung lagi
Orang yang sama datang bertanya dan datang menagih
Kericuhan biasa denting yang sama
Ting
Kita sudah terbiasa mencuri harga di bawah kisar
Supaya tidak terlalu mahal
Harga kopi sedang mahalkah di pasar?
Berkali-kali tengkulak yang menang
Bagaimana kalau petani berhenti?
Ting
Gelas-gelas beradu dengan meja batu
Riuh suara sama yang sudah terhafal
Cerita rimba atau syariat atau lara atau raja atau apa
Pecah di meja batu seperti kopi yang disinggung seorang perempuan muda
Tanpa sengaja
Ting
Dan diam-diam kita tertawa dan lagaknya malu-malu
Perempuan datang perempuan pulang semakin serbu
Warung adalah tempat kata meloncat tiada hingga berhingga
Tawa tiada batas berbatas dan denting suka-suka
Ting
Gemericik air jatuh ke gelas beberapa tumpah dan tersisa
Setengah saja kemudian diletakkan harga selangit
Kita mencuri beberapa kertas bayaran dengan sangat lihai
Siapa suruh menaikkan harga setengah gelas kopi
Ting
Kita mendengar gelas jatuh
Ting
Ide mencuri muncrat dari kepala
Ting
Mata awas dan bertubrukan dengan berbagai perempuan
Ting
Harga kopi dimahalkan; mengesalkan
Ting
Petani kopi kampung kita kesulitan mencari pupuk
Ting
Perempuan-perempuan serbu warung
Ting ting ting
Rawasakti, 20 Oktober 2012
MENJADILAH KOPI
Senja di Rawasakti berulang kali diakhiri dengan lagu
Lagu cinta pada apa; pada siapa entah ada tiada
Pada kopi di meja yang tergeletak hilang rasa
Pada wanita penggonseng sangat tua
Pada aroma purba yang punah
Pada bunga putih nan harum
Pada tangkai yang ranum
Pada kebun yang wangi
Pada rimba sunyi
Pada sendok
Pada gelas
Pada gula
Pada air
Kopi
Rawasakti, 22 Oktober 2012
Nazar Shah Alam, lahir di Kuta Bakdrien, 5 September 1989. Mendirikan Komunitas Jeuneurob dan berteater di Komunitas Teater Rumput. Menulis sastra di koran-koran lokal dan lomba-lomba nasional. Menjadi salah seorang wakil Aceh di Pertemuan Penyair Nusantara VI di Jambi 2012. Karya-karyanya bisa ditelusuri di nazaralam.wordpress.com. Email: nazararlams@yahoo.co.id
Puisi-puisi Iranda Novandi dinyatakan lulus seleksi tahap pertama dan menjadi nominator karya yang akan dimuat dalam Buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan oleh The Gayo Institute (TGI) dengan editor Fikar W Eda dan Salman Yoga S.