Cermin Kopi
Aku melihat wajahku dalam secangkir kopi
Bercermin pada kaca hitam bening
Rambut ikal
Mata coklat
Hidung mancung
Mulut kecil
Bibir basah
Gigi rapi
Dagu runcing
Kulit gading
Pelan-pelan kuaduk kopi
Sekali sendok memutar, semua itu buyar
////////////////////////
Serenada Kopi Ketika Rinai Berhenti
Seperti mentari batal layur bumi
nimbus Oktober datang bawa hujan
Aku batal seduh kopi
semut bawa kabur gula terakhirku
Lidahku pahit
seperti tanah Banda Aceh dilanda kemarau sebelum September datang
Dalam penantian tak pasti
rinai hujan berhenti di luar kamarku
kau menyusup melalui celah jendela
seperti hantu Casper yang baik hati
Kau tutup dua mataku dengan jemari lembutmu
:
aku melihat semut-semut tadi melarikan gulaku
ke..
ke..
tanganmu; sengaja kau suruh, kata mereka
Bau manis kulitmu sirna
mataku terbuka
kau sedang tuangkan gula ke cangkir kopiku
kau menyenyumiku lalu menghilang
dan rinai hujan berderu lagi di luar kamarku
“Setiap kau tuang bubuk kopi ke cangkir, aku akan hadir membawamu gula”
Kau menuliskannya di kaca jendelaku
oh, kau, datanglah lagi
bubuk kopiku tengik bila tanpamu
/////////////////////////
No Coffee, No Money
Suatu pagi di Banda Aceh
Ketika matahari belum datang
Kedai-kedai di sudut kota sudut desa tak buka
Lelaki berdasi, bersarung, berpeci, dan berpakaian olahraga linglung
Mereka bertanya-tanya:
Kenapa kedai tutup
“Bubuk kopi telah habis”
“Pelanggan kami penikmat kopi”
“No coffee, no money”
Termangu mereka
Tiga kalimat itu melekat pada setiap pintu kedai
Dan sumpah-serapah mengalir
“Siapa yang telah mencuri bubuk kopi”
Mereka demo di Bundaran Simpang Lima
Tak satupun peduli, tiada kendaraan yang melintas
Seperti semut-semut mengusung remah-remah
Mereka mengarak ke kantor DPRA
Sebuah slogan disemat pada pintu gerbang tergembok
“Bubuk kopi telah habis”
“Anggota dewan juga penikmat kopi”
“No coffee, no money”
Seperti daun kering hanyut di arus sungai
Mereka lari ke kantor gubernur
Dengan amarah
“Bubuk kopi telah habis”
“Gubernur juga penikmat kopi”
“No coffee, no money”
Seperti daun putri malu tersentuh
Termangu mereka, terduduk lesu
Hingga awan hitam tiba bawa gerimis
Tersentak aku buka mata
Ke mana cangkir kopiku
Oh, telah habis, tidur lagi ah
////////////////////////////
Putri Kopi
Perempuan-perempuan berlenggak-lenggok di panggung
Pamer punggung pamer dada
Mereka maju mengacak pinggang
Lalu mundur buang pandang buang pinggul
Hanya itu
Dan lampu mati
Lelaki pendek membelah temaram
Dan menyebut-nyebut namaku, nama ayahku, nama ibuku, nama moyangku
Oh, Tuhan, dia memanggilku
Tapi matanya menyorot keremangan
Perempuan berlenggak-lenggok di panggung
Maju mengacak pinggang dan berhenti
Lelaki pendek mengeluarkan mahkota
“Selamat! Kamu putri kopi tahun ini,” katanya
Oh, Tuhan, lalu aku ini siapa
Bukankah aku putri kopi
Aku benci perempuan itu
Ia bukan putri kopi, bukan
/////////////////
Makmur Dimila adalah nama pena dari Makmur, pemuda kelahiran Sigli pada 19 Desember 1990. Kini bergiat di Komunitas Jeuneurob. Beberapa karyanya baik fiksi maupun nonfiksi telah dimuat di beberapa media lokal. Aktif menulis sejak Juli 2010. Ia penyuka warna hijau dan biru. Ketagihan makan kacang-kacangan.
Puisi-puisi karya Makmur Dimila diatas dinyatakan berhak menjadi nominator karya yang akan dimuat dalam Buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan The Gayo Institute (TGI) yang dieditori oleh Fikar W Eda dan Salman Yoga S.