Kopi Gayo
–kepada lesik keti ara–
Secangkir kopi yang kau suguhkan
telah menyeruak aromanya
merontokkan bulu hidung urang puteh
pohonnya tumbuh di dataran tinggi Gayo
melambai, menggamit si mata biru
mukjizat kopimu, ayah
memperkuat daya tahan Aceh
menyemangati hidup semua
mengawali pagi berangkat kerja
sumber inspirasi lawan bicara
obat mujarab segala siksa
pengikat lelah menghimpun tenaga
sejak balita sampai manula
dari dataran tinggi Gayo
burung-burung datang dan pergi
membawa dan menyerakkan biji kopi
menggembur sampai ke tanah tepi
ke tanah subur hamparan leka
hingga Aceh mendecak selera
sampai kini dan selamanya
Banda Aceh, 2012
Biji Kopimu, Dik
Secangkir kopi yang kau suguhkan, dik
membangkitkan gairah hidupku
anak-anak kopi yang menghitam
manisnya memancar ke wajahmu
ah, aku jatuh cinta lagi
padamu, pada perjuanganmu
memerdekakan inong bale
dari ketakutan riuhnya angin
yang bertiup dari barat sana
kureguk juga kopimu
dari tanoh indatu
bunga-bunganya semerbak
sampai hari ini
Padang-Banda Aceh, 2002
Mukjizat Sesudu Kopi
tengah malam
menjelang dini hari
ketika embun memberat
dan jatuh di ujung-ujung daun
aku menikmati segelas kopi
lalu
ku dengar tangis seorang bayi
yang meronta kuat sekali
di pangkuan ibunya
“ya Allah, anakku, panasnya\meninggi”
lalu aku datang mengetok pintu
si bayi terdiam sejenak dan meronta lagi
“Bukan ayahmu, nak. Mungkin malaikat
membawa sesendok kopi untukmu,”
kopi dalam gelas masih tersisa
untuk sereguk saja.
lalu kutuang ke telapak tangan
ketiadaan sudu
menyuapkannya pada sang bayi,
mengusapkan sisa bubuk kopi yang lembab
ke ubun-ubun dan pusar si bayi
dan ia pun tertidur pulas
mengembalikan suhu tubuhnya
menormalkan panas di pangkuan sang ibu
Lhong Raya, 2011
Kopi Uleekareng
Aroma kopi Uleekareng
menyeruak di simpang tujuh
duduk membicarakan apa saja
peugahhaba sambil memegang mataangin
bagaikan semua selesai di meja
gelas-gelas kopi tak pernah
meninggalkan kehangatan
di setiap regukan
yang menyala ke jantung hati
Di simpang tujuh Uleekareng
kopi mengerikil pecah delapan
menggigit lidah ke seluruh penjuru
menyatukan citrarasanya
dalam idiolek Aceh Rayeuk
dirindukan Melayu se Nusantara
Banda Aceh, 20 Oktober 2012
-Peugahhaba = bincang-bincang, membicarakan apa saja
Seteguk Kopi, Cukuplah
-sahabatku, kardy syaid-
Tanpa seteguk kopi
seperti tak lengkap hidup ini
biji kopi menggelinding
ke mana-mana
di mana-mana
kapan saja
menyeruak, mengaliri aorta
lalu masuk ke dalam amplop
gambar-gambar para arsitek
ke dalam aspal dan kerikil
dalam gedung-gedung yang dingin
menghangatkan pejabat dan pengusaha
di kursi bambu sampai ke pelanta
petani dan nelayan
mereguknya penuh nikmat
seteguk kopi, cukuplah
untuk menikmati sehisap rokok
lalu menimbang kebijakan
dari bidak-bidak catur
menghancurkan benteng
melumpuhkan kuda patah kaki
menggembirakan raja tak bermahkota
ya, hanya dengan seteguk kopi
cukuplah
melengkapkan hidup ini
Banda Aceh, 23 Oktober 2012
Marah Syarifuddin Arifin, lahir di Jakarta, 1 Juni 1956. Alumnus ST-KIP, AIK Padang. Mengikuti Lokakarya Penulisan Cerpen (1981) di Cibogo, Majalah Sastra Horison & Majalah Kebudayaan Basis.Tulisanya telah dimuat media cetak Jakarta dan Padang, Majalah Sastra Horison. Penggiat Bengkel Sastra Ibukota (BSI) Jakarta, 1980-an. Pernah di BUMI (Teater,Sastera dan Senirupa), pengasuh/sutradara di Teater Jenjang dan Teater Flamboyan Padang. Pendiri Sanggar Penulisan MASA Padang (1984), mantan pengurus Dewan Kesenian Padang dan Sumbar. Pertemuan Sastrawan Nusantara, al, di Jakarta (1979), Kayutanam Sumbar (1997), dan di Johor Baharu, Malaysia (1999). Kongres Kesenian di TMII (2005), Kongres PARFI di Jakarta (1993, 1997), Kongres PAPPRI di Puncak Jawa Barat (2002)
Selain itu ia juga pekerja teater dan pemain film/sinetron. Melakukan perjalanan sastra & budaya dan jurnalistik ke Thailand, Malaysia, Brunei Darussalam dan Singapura. Selain itu karya Syarifuddin Arifin karya termuat dalam garai (1980) , Catatan Angin di Ujung Ilalang (1998), Sembilan (1979), Sajak-sajak Refleksi Setengah Abad Indonesia Merdeka (1995), Parade Karya Sastra se Sumatera-Jawa (1995), Hawa (1996), Penyair Sumatera Barat (1999), Parade Penyair Sumatera (2000), Suara-suara dari Pinggiran (2012), Bermula dari Debu (1986), Gamang (1989). Novel/cerbung Untuk Sebuah Cinta (2000), Sarjana Sate (2001), Anak Angin di Celah Awan Jingga (2002).
Syarifuddin Arifin juga pernah memenagkan Sayembara Penulisan Cerpen Perjuangan, 1982 PWI Sumbar, Sayembara Penulisan Kritik Sastra, 1984 Cerpen HUT Mingguan Singgalang Padang 1985, Naskah Sandiwara 1984, Kritik Seni Pertunjukan 2003, Cerpen Majalah Kartini 2003, novelnya Menguak Atmosfir 2004.
Puisi karya Marah Syarifuddin Arifin dinyatakan lulus seleksi tahap pertama, dan berhak menjadi nominator karya yang akan dimuat dalam Buku Antologi Puisi “Secangkir Kopi” terbitan The Gayo Institute (TGI) dengan editor Fikar W Eda dan Salman Yoga S.