Rabu malam selepas Isya (6/4) tak ada tamu yang minum kopi. Seperti biasa, aku belum hendak pulang dan mengakhiri malam. Siang tadi sebuah sms kuterima dari Bas yang menyatakan akan datang melihat hasil rekaman video pembacaan puisi yang dibacakan seniman Gayo seperti Fikar W Eda, LK Ara, Ados, Purnama K Ruslan dan sejumlah seniman lainnya di Loyang Mendale, tempat ditemukannya kerangka manusia prasejarah oleh Balar medan yang dipimpin Ketut Wiradnyana.
Sambil menunggu, aku membaca sajak –sajak Fikar W Eda dalam buku Rencong. Buku tersebut diberikan Fikar padaku Tanggal 4/4 ketika dia bersama Muchlis Gayo SH makan dan minum kopi di Batas Kota (BK).
Di halaman 1 buku Rencong itu, Fikar menulis, “untuk penikmat , “Batas Kota” tanpa batas. Lengkap dengan tandatangannya.Sajak Rencong diterbitkan KaSUHA, edisi khusus 2008. Rendra, si “Burung Merak”, memberi catatan tentang sajak-sajak Rencong, petikannya, “kumpulan puisi ini mencerminkan kehalusan budi. Penindasan dan ketidakadilan yang terjadi di Aceh digambarkan dengan protes yang lahir dari kemurnian kalbu dan tanpa pamrih politik. Absurditas kekerasan ditonjolkan sebagai kebodohan yang pongah dan fana…”
Sajak-sajak Fikar W Eda dalam Rencong , juga dibedah sejumlah nama terkenal seperti Prof.Madya Dr.Siti Zainon Ismail yang mengajar di Universiti Kebangsaan Malaysia.
“Assalamu’alikum”, suara salam seseorang yang masuk ke BK. Aku membalikkan badan kearah pintu masuk yang kubelakangi saat membaca sajak Rencong Fikar. “Wa’alaikumsalam”, balasku. Tampak pak Abu yang terlihat cerah menenteng sebuah tas kecil, berkopiah dan berjaket. Pak Abu buru-buru kusalami.
Setelah berbasa-basi, Pak Abu dan aku berkisah tentang banyak hal. Diantaranya dugaan mark up jumlah penduduk Aceh Tengah yang telah menyebabkan bertambahnya jumlah anggota DPRK dari 25 orang menjadi 30 orang.
Padahal bila merujuk data jumlah penduduk resmi yang dikeluarkan perangkat Pemda dan Biro Pusat Statistik Aceh Tengah, jumlah penduduk kabupaten Aceh Tengah resminya dibawah 200 ribu jiwa. Tak ada angka jumlah penduduk yang mencapai 203 ribu jiwa. Namun mengapa mendagri meluncurkan jelang pemilihan anggoat legislative lalu jumlah penduduk 203 ribu jiwa .
Dengan jumlah penduduk sebanyak itu, kuota kursi DPRK adalah 30 orang. Nah, jika angka fiktif jumlah penduduk tersebut tak ada lembaga atau orang yang mengakuinya dikirim ke Depdagri, berarti ada hantu atau syetan, Iblis atau dedemit yang mengirimnya.
Meski angka palsu 203 ribu tak diakui tapi anehnya jumlah 30 kursi dewan diakui dan tidak pernah dipersoalkan. Lima kursi di DPRK Aceh Tengah yang “Tidak sah’, tetap saja diberi gaji dan lain-lain.
“Lantas sahkah produk hukum yang dihasilkan DPRK Aceh Tengah yang berjumlah 30 orang itu menjadi perda atau qanun”, Tanya Pak Abu. Adalah LSM Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jangko) yang melihat persoalan jumlah penduduk sebagai rekayasa tingkat tinggi dan diduga melibatkan oknum lembaga tertentu yang mengurusi data jumlah penduduk.
Karena Depdagri tidak mungkin dari Jakarta mengurus dan mendata jumlah penduduk Aceh Tengah di pedalaman Aceh ini. Kecuali data dari daerah yang dikirim ke Depdagri. Tapi siapa orang itu? Kantor mana, kapan dikirim, berapa nomor suratnya, siapa yang menandatanganinya. Anehnya tidak terjawab.
Meski polisi dari Aceh Tengah sudah juga menelusuri jejak angka jumlah penduduk fiktif ini hingga ke Depdagri. Tampaknya actor intelektual yang merekayasa jumlah penduduk ini terbilang professional dan mampu menutup semua celah hokum hingga masih bebas dan tak tercium siapa biangnya.
Mungkin, jika polisi biasa tidak mampu mengungkap mark up jumlah penduduk Aceh Tengah ini. Bisakah Densus 88 yang sukses memburu teroris , mampu mengurai benang merah yang kusut siapa mafia teroris yang menggelembungkan jumlah penduduk Aceh Tengah..?. Jika tidak, maka angka dari syetan 203 ribu jumlah penduduk Aceh Tengah, sah peran syetan yang berimplikasi pada penambahan 5 kursi DPRK.
Kedepan, kita berharap peran syetanyang gaib ini mampu juga mensejahterakan masyarakat Aceh Tengah, terutama petani kopi secara signifikan secara gaib tapi berhasil nyata. Seperti perannya memark up jumlah penduduk yang menambah lima kursi dewan. Hukum Negara ini sedang diuji kasus sederhana ini.
Meski LSM Jangko mempersoalkan dugaan mark up jumlah penduduk Aceh Tengah dengan melakukan gugatan class action di pengadilan negeri Takengon yang gagal, persoalan mark up dibiaskan dengan isu pencemaran nama baik Pemkab Aceh Tengah.
Pemkab menuduh Jangko telah mencemarkan nama baik Pemda. Jangko menang di pengadilan negeri. JPU dari Kejaksaan Takengon banding dan kemudian pengadilan tinggi meminta pengadilan negeri Takengon melakukan sidang lanjutan di Takengon.
Politik dan kerakusan kekuasaan memang mendahulukan kepentingan daripada kebenaran. Sumpah-sumpah yang terucap atas nama Allah dianggap rutinitas pengisi acara seremonial yang perlu ditakuti efeknya. Hanya hal biasa. Agama dipisahkan antara urusan kantor dan ibadah. Sekuler.
Tak lama berbicara dengan Pak Abu, dua kawan lainnya lainnya datang, Bas dan Ivan. Dua facebooker yang setia menanggapi status orang lain di FB, terutama tentang kedaerahan.
Berbicara ngalor –ngidul, kuuken dan kutoa, persoalan kopi Gayo dibahas lebih lama dan mendalam. Jika berbicara kopi, tentu saja harus menyinggung sang petani yang berkebun kopi.
Kebanyakan petani di Aceh Tengah masih sangat minim pengetahuan mereka tentang budidaya kopi, penanganan panen, paska panen hingga managemen pemasaran dan keuangan. Bertani kopi merupakan warisan turun temurun yang dilakoni begitu saja, seperti bapak dan kakek petani kopi lakukan.
Tak ada aturan baku dikalangan petani tradisional tentang jarak tanam, varitas kopi, naungan, pemupukan dan tetek bengek lainnya. Petani baru kekebun saat rumput sudah harus ditebas dan musim panen tiba. Begitu saja setiap tahunnya.
Data produksi dinas perkebunan Aceh Tengah, perhektar pertahunnya masih berkisar antara 600-700 kilogram. Nah, kekurangan petani mengelola kebun kopi mereka dan tidak tanggapnya Pemda terhadap peluang pasar kopi dan upaya mendongkrak pendapatan petani, dimanfaatkan pihak asing untuk masuk.
Paska konplik dan gempa serta tsunami Aceh , pintu masuk bagi Negara asing ke Aceh terutama Amerika terbuka lebar seperti air bah yang sudah lama ingin menjebol tembok tanggul. Tentu saja misi asing ini awalnya sangat simpatik dengan program rehab dan rekon. Mereka bak dewa penolong. Seteguk air di padang pasir ditengah lemahnya keuangan pusat dan daerah.
Welcome. Meski seiring waktu lsm asing ini mulai menunjukkan belang aslinya. Upaya pemaksaan agama pada warga Aceh yang telah Islam lewat buku, nyanyian dan pembagian kitab suci Alqur’an yang disusupi ajaran agama lain.
Misi agama tertentu ke Aceh hanyalah sebuah bagian kecil dari sebuah misi besar (Grand Design) yang telah dirancang asing terhadap Aceh. Jika dicermati secara teliti dan hati-hati mulai terbuka cara dan jalannya. Istilah tidak ada makan siang gratis tentu saja ada hikmahnya.
Dari Pesisir Aceh, asing mulai masuk ke pegunungan Aceh dengan perlahan dan pasti secara legal. Logikanya kok ada Negara asing lewat lembaga resmi berupa LSM yang diakui PBB yang mau membantu petani atau kelompok tani dengan bantuan uang sebagai modal. Bagian dari pemberdayaan masyarakat . Sementara Pemda sendiri tidak pernah menyentuh sector ini. Adakah uang yang didapat dengan gratis?
Tapi sudahlah. Di sector ini asing masih merogoh uang receh yang konon dikumpulkan dari rakyat Negara tertentu. Ketika kebun-kebun kopi petani di antero Aceh Tengah dan Bener Meriah sudah dipasangi bagian atau kelompok serta anggota “Kopi Organik”, asing mulai menanam kukunya.
Darah mulai dihisap. Bekerjasama dengan pengusaha tempatan dan mendayagunakan koperasi yang menurut almarhum Presiden RI Abdurahman Wahid, diplesetkan menjadi “kuperasi”, petani mulai dijaring dalam sebuah jala.
Petani kopi diikat menjadi anggota kopi organic. Dijanjikan diberikan fee organic setiap enam bulan sekali dengan berbagai kebutuhan petani yang tak mampu mereka beli. Seperti sprayer (semprot) mesin tebas rumput, parang dan cangkul. Kemiskinan petani yang dimanfaatkan.
Waktu berlalu, di tahun pertama, menjadi anggota kopi organic , semuanya berjalan normal. Namun kemudian fee organic petani kemudian tak jelas rimbanya. Kopi organic arabika Gayo yang dijual didunia entah berhenti dimana.
Keadaan ini diperparah ketidakmampuan pengusaha local memasuki pasaran kopi dunia. Untuk urusan eksportir kopi, pengusaha local hanya sampai Belawan Medan. Di luar negeri, kopi arabika Gayo diperdagangkan pengusaha asing dengan pasokan kopi petani lewat koperasi yang dibentuk.
Akibatnya, berapa fee kopi organic arabika Gayo yang dibayarkan dari total eksport kopi organic arabika Gayo setiap tahunnya?, siapa yang terima dan berapa yang diberikan kembali ke petani. Uang receh yang diberikan asing tadi diambil kembali dalam jumlah jutaan dolar Amerika.
Tak berhenti sampai disana, lsm asing di Takengon mulai merancang sebuah program baru. Sektor perkebunan kopi akan dimasuki dari pembibitan hingga panen dan eksport. Uang jutaan dolar sudah disiapkan. Beberapa toke kopi sudah mulai mendapat kucuran bantuan bernilai puluhan hingga ratusan juta.
Bagi petani, siapapun yang datang membantu tentu akan sangat diterima. Apalagi selama ini belum ada bantuan serupa dari Pemda. Perkara apakah ada misi asing menguasai kopi Gayo, itu bukan urusan mereka. Pemikiran mereka tak sejauh itu. Demikian halnya para pengusaha.
Sementara Pemerintah Daerah juga mau bilang apa atau bertindak apa. Welcome saja. Karena Pemda belum menyentuh sector petani dan perkebunan kopi secara serius. Anggaran untuk sector perkebunan kopi setiap tahunnya tidak seberapa. Masih kalah jauh dengan pembangunan fisik serta pembelian alat dan barang.
Rasa dan aroma kopi arabika Gayo yang megah dan terkenal didunia ternyata telah mendatangkan “kumbang-kumbang’ asing yang ingin menikmati besarnya untung dari kopi. Mereka memanfaatkan kebodohon petani, ketidakmampuan pengusaha dan biasnya penanganan Pemda pada sector kopi rakyat yang nyata telah menyumbangkan PAD terbesar setiap tahunnya.
Menurut Iwan Zakir, ada cara ampuh menaikkan posisi tawar petani Gayo yang ditelantarkan penguasanya dan dimanfaatkan asing dengan, “Stop menjual kopi”, Karena semua kopi yang dijual dari Aceh Tengah dan Bener Meriah adalah Kopi Rakyat. Bukan seperti Belanda, perkebunan milik pemerintah (Aman Shafa)
Sana Koro Jeged i daten munentun perulukente. Kita Bisa…Bisa,…Bisa….penting Barani berhutang…
Yang Harus dilakukan PEMDA Aceh Tengah cari modal kalau perlu utang Ke BI. Buat perusahaan bonapit BUMD sekelas PT. Arun kenapa takut.namun untuk mewujudkan itu tentunya harus ada disain bisnis dengan melibatkan orang yang ahli di bidangnya. kalo perlu peti kemasnya di isi di Takengon merek sendiri katakan lah kita beri nama PT Itu GAYO PETRO COFFE, dengan membebaskan lahan 100 hektar buat lahan Jemur, kalo perlu kita gaji Orang luar yg menduduki posisi 123 baru selebihnya pribumi beri waktu berjangka gaet kementrian perindustrian dan perdagangan kirim Orang dari Aceh Tengah dan Bener Meriah untuk langsung bertemu dengan mereka yg membutuhkan kopi Aceh Tengah di New York Jepang atau mana saja untuk meloby pemasarannya,agar pasar kopi Gayo bisa di standarkan dengan harga kopi di tingkat Internasional.sehingga di tingkat petanipun harga tidak ada yg HIDDEN , memang perencanaan yg matang tapi jika tidak di mulai dari sekarang kapan lagi kita Punya Perusahaan sekelas KRAKATAU STEEL atau ARUN Akal Ogohku le ya tape Mi mien….Mari kita bahas atau kalau perlu buat Forum khusus.
Peminum kopi Gayo adalah orang Eropa, Asia dan lain-pain. Tidak sama dengan Kopi Ulee Kareng di Banda Aceh yang dinikmati oleh mereka yang hanya membuang-buang waktu dan berpikir menghayal. Karena itu kita tidak bisa lepas dari penikmat kopi kita yaitu orang Asing. Dan untuk membentengi aqidah kita itu tugas Pemda dan kita juga harus bisa belajar dari orang Asing bagaimana mengelola Kopi yang baik.
Kan kita ingat dulu Belanda mengajar orang Gayo bertani teh, mengolah getah pinus dab nelajar arsitek dari cina, tapi masyarakat kita tidak mau belajar serius umtuk selain kopi karena itu mau tidak mau masyarakat kita memiliki andalan hanya kopi.
Pertanyaannya, apa yang mereka lakukan itu menguntungkan apa enggak bagi petani?
Karena kalau menguntungkan, ya sampai batas tertentu dibiarin ajalah, kecuali kita punya alternatif lain.
Jangan sampai cuma karena kita yang mengidap Xenophobia, petani yang merasa diuntungkan malah menjadi korban.
Memang sangat mungkin LSM Asing itu diuntungkan dengan kegiatannya memberikan bantuan ke petani kopi Gayo, dan itu wajar saja, sebab bantuan yang 100% berdasarkan altruisme nggak akan bertahan lama, bantuan seperti itu seperti memberi sedekah kepada pengemis di jalan raya. Tidak mungkin kita setiap hari secara rutin memberikan sedekah seperti itu, kecuali sudah kebanyakan duit.
Bantuan yang berkelanjutan itu adalah bantuan yang bersifat simbiosis mutualisme, alias saling menguntungkan.
Saya sendiri terus terang tidak paham seperti apa situasi di Gayo dan seperti apa hubungan antara LSM Asing itu dengan Petani.
Cuma yang saya tahu, memang banyak sekali konsumen kopi di luar sana yang mengeluh dengan kualitas Kopi Gayo, karena itu sudah sejak lama banyak dari mereka yang ingin turun ke Gayo membenahi mutu kopi Gayo karena hal itu akan menguntungkan mereka (mendapat kopi bermutu baik) sekaligus menguntungkan petani (mendapat harga yang baik)
Tapi sekali lagi, saya tidak tahu seperti apa situasi di Gayo dalam kaitannya dengan LSM Asing ini.
Cuma menurut saya kalau mereka ada di sana semata untuk keuntungan mereka sendiri, menikmati mutu kopi yang baik tapi petani tidak mendapat apa-apa, mereka patut ditolak keberadaannya.
Tapi kalau mereka ada di sana untuk mengambil keuntungan dari naiknya mutu kopi dan petani diuntungkan dengan harga kopi yang semakin baik, ini adalah bentuk bantuan yang ideal dan memang hanya bentuk bantuan seperti inilah yang bisa berkelanjutan.
Dan sentra-sentra kopi bermutu tinggi di dunia, seperti Blue Mountain di Jamaica, Kona di Hawaii mereka menerapkan sistem seperti ini untuk mengoptimalkan nilai tambah kopi produksi mereka.
Harus lebih diperjelas, apa maksud “stop menjual kopi” itu…?
Stop menjual lha terus petani kopinya ?