Oleh Salman Yoga S*
Kesenian dalam kosmos peradaban manusia adalah suatu bentuk penyangga kebudayaan agar tetap eksis di tengah masyarakat pemiliknya, demikian pendapat Umar Kayam dalam bukunya Seni,Tradisi, Masyarakat. Antara kebudayaan, kesenian dan masyarakat, mempunyai hubungan yang erat dalam dinamika kehidupan, sehingga tidak heran jika keduanya kerap dijadikan sebagai salah satu indikator untuk mengetahui tingkat peradaban suatu komunitas sosial manusia.
Dari sekian banyak kesenian tradisional Aceh dan Nusantara salah satunya adalah seni Didong. Salah suatu jenis kesenian dari sejumlah seni tradisi yang dimiliki oleh masyarakat Gayo yang mendiami empat kabupaten, meskipun dengan pola dan tekni peformen yang berbeda-beda.
Kesenian ini berisi syair-syair puisi faktual dan kontekstual menyangkut berbagai macam masalah kehidupan, baik sosial, politik maupun agama. Kesenian yang paling mendominasi kebudayaan Gayo dan sangat populer ditengah masyarakat. Populer tidak saja ditempat asalnya tetapi dibeberapa kota besar seperti Banda Aceh, Medan, Jakarta, Yogyakarta dan Bandung yang secara berkala sering dipentaskan.
Didong, satu kesenian Gayo yang memiliki social intres tinggi, artinya suatu unsur kebudayaan yang amat digemari sehingga banyak unsur-unsur lain dalam masyarakat ikut terdorong karenanya. Sebuah seni perpaduan antara sastra, seni suara, dan seni tari yang digelar dalam satu sistem bertanding (folk games), selain itu kesenian Didong juga kerap dipentaskan dalam mengisi acara perkawinan, khitanan, menyambut bulan suci ramdhan, memperingati hari-hari besar Islam serta momen-moment lainnya.
Secara peformen estetik Didong adalah perpaduan yang kompak antara seni gerak dan sintak (lagu), teater/pelakonan peran serta syair-syair yang mengandung pengetahuan dan nilai tinggi.
Sejarah Sinkat Seni Didong
Awal kemuncul seni Didong sebagai sebuah media ekspresi dan seni diyakini bermula dari sejarah Gajah Putih yang digembalakan oleh Sengeda (W. 1610 M) dari Nenggeri Lingga (Linge) menuju ke Ujung Aceh untuk dipersembahkan kepada Raja Aceh. Dalam perjalanan, setiap kali kelelahan sang Gajah Putih berhenti dengan merebahkan badannya ke tanah. Usaha untuk membangkitkannya pada setiap kali peristirahatan dilakukan berulang, tetapi Gajah Putih tetap saja tidak bergerak.
Sengeda bersama para pengikutnya mendendangkan lagu dengan kata-kata “enti dong, enti dong “, yang artinya “jangan berhenti”. Sengeda adalah raja pertama dari Kerajaan Bukit yang berdiri pada abad ke XV (± 1580 M). Sengeda sendiri adalah putra dari Raja Linge ke XIII. Kata-kata “enti dong, enti dong, enti dong” lama kelamaan berubah menjadi “Didong” yang bermakna “dendang” atau “alunan nyanyian”. Hal senada juga ditegaskan oleh Ceh Sali Gobal dalam sebuah syair karyanya yang juga berjudul “Didong”.
Refrensi lain menegaskan bahwa Didong telah tumbuh dan berkembang sebagai bagian dari kebudayaan Gayo jauh sebelum Islam masuk ke daratan Aceh. Usia kesenian Didong sebagai seni sastra dan seni bertutur sama tuanya dengan seni tari Guel (salah satu tari legendaris dan induk seni gerak dalam masyarakat Gayo). Berdasarkan sejumlah data tersebut, sampai saat ini diperkirakan kesenian Didong dan tari Guel telah berusia sekitar ± 428 tahun.
Pada perkembangan selanjutnya Didong menjelma media ekspresi seni dan estetika yang diperankan secara individual atau berkelompok yang tergabung dalam sebuah group atau komunitas yang mereka sebut dengan kelop.
Sistem Pergelaran dan Unsur Peran Dalam Seni Didong
Pergelaran Didong diadakan di tempat atau ruang khusus sebagai pentas, tempo dulu diruang luas rumah panggung (umah sara), di atas panggung pada ruang terbuka seperti di halaman, lapangan dan lain-lain. Pentas dilengkapi dengan sarana penerangan, mulai dari yang amat sederhana seperti api unggun, obor, petromak atau listrik pada masa-masa terakhir. Keseluruhan pemain dilengkapi dengan “bantal kecil” (kanvas) sebagai alas tepukan tangan yang menjadi ritme bagi melodi dalam kesenian ini.
Anggota satu group terkadang memakai baju seragam yang disebut baju-kelop, sedangkan “aktor utama” atau akrap disebut dengan Ceh (penyair) biasanya memakai atribut tambahan berupa syal, dan ada pula yang memakai kopiah. Perlengkapan lain adalah canang yang ditabuh oleh juri sebagai isyarat dimulainya atau berakhirnya satu ronde pertandingan.
Pementasan berlangsung selama semalam suntuk mulai sejak usai shalat Isya sampai menjelang waktu shalat Subuh menjelang, atau sejak jam 20.30 hingga jam 04.00 pagi harinya.
Para pe-didong masing-masing group (kelop) berjumlah antara 30-40 orang. Mereka terbagi atas dua kategori utama, yaitu Ceh (penyair sekaligu vokalis) dan pengiring (Penunung atau Penyur). Seseorang yang bisa disebut Ceh harus memenuhi sejumlah syarat. Modal utamanya adalah suara merdu (ling temas). Selain itu sang Ceh-pun harus punya kemampuan menciptakan lirik atau puisi (kekata) sendiri baik melalui persiapan maupun secara spontan, yang akan ditembangkan dengan melodi ciptaan sendiri. Ceh harus punya pengetahuan luas perihal latarbelakang adat istiadat (edet) masyarakatnya dengan segala perkembangan atau perubahan yang terjadi, dan juga pengetahuan tentang lingkungan lain yang lebih luas.
Pengetahuan ini harus berimbang pula dengan kekayaan perbendaharaan kata, ungkapan, simbol-simbol pikiran, sehingga lahirlah lirik-lirik indah dengan bobot pesan yang dalam, tajam, aktual tapi juga ajek. Karya dengan bobotnya yang ajek itu berarti sebuah lirik menyimpan pandangan yang menjadi bahan renungan bahkan acuan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam kehidupan sehari-hari orang biasa menyitir ayat atau hadis guna menjelaskan atau memperkuat suatu argumentasi, akan tetapi tidak jarang pula orang mengutip ungkapan-ungkapan yang berasal dari lirik karya seorang Ceh. Misal karya Muhammad Basir Lakiki berikut:
Enti gerup sule / tanyor ni kaya // gerup ni segemade. Artinya: Janganlah mudah mengikuti gaya-laku orang kaya / sementara kita sendiri orang miskin // yang akhirnya jatuh tersungkur.
Aturan Folk Games dalam pertandingan seni Didong, seorang Ceh dituntut memiliki daya improvisasi dan kreativitas tinggi di tengah arena pertandingan. Lirik-lirik spontan diperlukan untuk menyerang atau menangkis serangan lawan yang menyangkut isu atau tema yang tak pernah terduga sebelumnya. Penciptaan lirik spontan yang mendadak adalah kemampuan luar biasa yang terlahir oleh sistem pertandingan Didong, tidak sembarang orang atau Ceh memilikinya. Di sinilah hasil ekspresi, olah pikir dan rasa para Ceh terjelma. Kemampuan spontanitas seperti ini pula yang menjadikan prestise seorang Ceh berikut dengan groupnya menjadi lebih diperhitungkan.
Aktor utama dalam ber-Didong adalah Ceh Kul (Kul = “besar”), sedangkan pasangan atau patner dalam berduet atau trio desebut Ceh Apit. Pasangan (duet atau trio) lainnya biasa disebut Ceh Due (due=”dua’) atau “aktor pembantu” yang dalam pertandingan berperan membantu Ceh Kul dalam menghadapi serangan atau menyerang lawan tanding. Ceh Kul atau Ceh utama pencipta melodi dan lirik terbaik, menjadi pemikir, penyusun strategi untuk merebut simpati penonton, serta menjaga semangat “juang” para pengiringnya. Sebuah group berjaya atau keok (royo) dalam satu malam pertandingan lebih banyak ditentukan oleh kebolehan dan mumpunian sang Ceh Kul.
Aktor lain terdiri atas puluhan “pengiring” (penunung) yang duduk melingkar bersama para Ceh. Mereka mengiringi permainan dengan kreasi dan variasi tepuk tangan (tepok) dan gerak tubuh yang serasi, berfungsi sebagai ritme bagi melodi yang tengah mengantar lirik yang berisi pesan, kritik, petuah, dalam beragam tampilan emosi. Diantara pengiring itu ada satu atau dua yang berperan sebagai pengarah, mengatur irama, variasi gerak yang diperlukan lewat komando suara tepukan atau isyarat bagian tubuh lainnya.
Pertunjukan dalam satu malam pertandingan, masing-masing group menembangkan tidak kurang dari 30-an melodi (sintak) pengantar lirik yang bermuatan rasa indah, humor, duka, kritik, luka geram, sinis, syahdu dan sebagainya. Suasana itu diteaterikalkan dengan nuansa warna gerak yang serasi, sehingga pementasan menjadi hidup, sekaligus mengusir kantuk para penonton selama semalam suntuk. Layaknya pertandingan, maka semakin mendekati akhir pertunjukan dalam larut malam dan udara dingin pertunjukkanpun justru semakin menarik dan seru .
Penonton sendiri pada dasarnya dapat dinyatakan sebagai “aktor”, betapa tidak, salah satu group yang berlaga itu adalah para seniman yang akan menimbulkan rasa bahagia atau rasa terpuruk pada diri penonton karena latarbelakang kelompok yang sama. Pertandingan Didong adalah pertarungan mempertaruhkan “harga diri” atau “rasa malu” kelompok, gengsi dan kebanggaan. Suporter terkadang menaburkan rokok ke tengah arena karena simpati pada Ceh yang menembangkan lagu indah dengan liriknya yang mengena, aktual dan faktual.
Kerap pula seorang penonton masuk ke tengah arena mengekspresikan kegembiraannya dengan menari-nari di tengah lingkaran Didong mengikuti irama lagu, sebagai bentuk dukungan kepada group pujaannya. Itulah sebabnya ketika sarana dan prasarana transportasi belum tersedia seperti sekarang, orang-orang memaksakan diri untuk dapat menyaksikan Didong Jalu meskipun harus menempuh jarak 20-30 Kilometer dengan berjalan kaki.
Di seputar pentas selain penonton ada unsur juri. Biasanya para juri adalah orang yang mengerti adat atau mantan Ceh yang telah banyak makan asam garamnya dalam seni Didong Gayo. Tempat duduknya antara penonton laki-laki dan perempuan di atur terpisah dengan menggunakan tanda atau batas tertentu, seperti rentangan tali atau papan pembatas.
Biasanya pertarungan syair ini dimulai sekitar pukul 20.30 dan berakhir sekitar pukul 04.00, beberapa saat sebelum tiba waktu shalat subuh. Selama itu masing-masing group tampil dalam tempo 30 menit untuk setiap ronde dan terus bergilir hingga subuh tiba. Ronde awal bagi masing-masing group biasanya tampil dengan lirik-lirik salam (persalaman) kepada semua pihak yang hadir (si ikut patut, si layak laku), yaitu kepada orang-orang terpandang dan terhormat yang berkebetulan turut menyaksikan, para penonton tua muda dari hulu ke hilir, dan tentunya tidak lupa kepada lawan bertanding.
Masing-masing group memperkenalkan diri dengan lirik-lirik santun dan rendah hati. Lirik-lirik santun persalaman itu ada yang terdengar dalam nada sebuku (“ratapan”), ada pula dengan nada lagu gembira. Seperti layaknya kata sambutan dalam pidato formal atau ceramah-ceramah keagamaan, para Ceh dengan diikuti oleh seluruh anggota Didong melantunkan salamnya dengan ucapan Bismillahirrahmannirrahim dan ucapan Assalamu’alaikum .
Tidak jarang pada ronde-ronde awal sudah mulai muncul sentilan secara halus, pernyataan ini terutama kepada lawan tanding beserta simpatisannya yang datang dari berbagai tempat. Dalam bait ini tersirat suatu pernyataan tentang siapa lawan yang dihadapi malam ini, apakah kelas kakap, atau sekedar “ayam sayur”. Dengan demikian jelas pula pengaturan strategi, teknik, ketajaman dan keluasan isi syair dalam menghadapi lawan dalam gelar tanding hingga subuh tiba.
Ronde kedua dan ronde berikutnya berlanjut dengan langkah-langkah penaklukan lewat puisi dan syair-syair pilihan yang sesuai dengan kondisi atau kualitas serangan lawan. Klimaks dari pergulatan tanding seni ini biasanya mulai tengah malam sekitar pukul 24.00 atau pukul satu dini hari. Seterusnya para penonton dan bahkan group yang bertanding sudah mulai merasakan siapa yang akan unggul atau lemah (bayuh).
Anti klimaksnya tiba pada ronde paling akhir atau penutup yang disebut ronde gabung. Pada ronde ini keseluruhan anggota dari kedua group bergabung menjadi satu lingkaran. Masing-masing group membawakan satu atau dua lagu yang berisi pernyataan penyesalan, permohonan maaf kepada lawan tanding, karena sejak awal telah bersikap tak senonoh dengan mendendangkan kata-kata yang melukai hati. Melodi yang muncul dalam ronde gabung umumnya bernada sendu atau melankolis. Lirik yang bernada persahabatan itu seperti berikut:
Abang kadang teara laingku telanjur / boh ku tanoh gemur kin penyebue // abang, ike ara cerakku si lepas / so waih deras kin penanute // Uwo rakan sebetku pedih / utang repie nge kulunesen rum denang // utang kata keta bersiamaapen kite / mat jari i pumu reduk i ate.
Terjemahannya:
Abang mungkin ada kata-kata yang terlanjur / ketanah gembur untuk penimbunnya // abang jika ada ucapanku yang terlanjur / kearus air deras tempat menghanyutkannya // Wahai sahabat karipku / hutang rupiah sudah kulunasi dengan dendang // hutang kata moga kita saling bermaafan / jemari bersalaman teduh di hati.
Tidak jarang pula group atau kelop yang merasa kalah dari keseluruhan pertandingan, baik dari segi kecerdasan syair-syair maupun dari kelembutan suara dan kekompakan anggota dalam ber-Didong, sang Ceh dengan sportif mengakui kekalahannya. Bagi group yang menurut penilaian juri dan pengamatan penonton lebih unggul, dengan santun juga rendah hati menerimanya. Kutipan berikut adalah cerminan syair dari group yang menang:
Rakan letihdi nge beden berdenang / ari iyo sinemi kite bertulak deki // ike mungune kase aka i umah / perinko kase gere ara sikalah // menang royoe asal reroante.
Terjemahannya:
Sahabat letih sudah badan berdendang / dari sore tadi kita saling bertolak belakang // kalau bertanya nanti orang rumah / katakan tidak ada yang kalah // menang dan kalah sesungguhnya kita berdua (group).
Unsur-Unsur Seni Bertutur Dalam Seni Didong
Di antara sejumlah unsur seni bertutur yang terangkum dalam seni Didong adalah: Kekitiken/Ure-ure (seni berteka-teki). Yaitu seni dalam berteka-teki yang biasanya dilakukan oleh anak-anak menjelang tidur. Dari segi bahasa dan kalimat yang digunakan dalam teka-teki ini lebih mementingkan tata bunyi dan irama dengan pola persajakan a-b a-b. Seni berteka-teki ini merupakan bentuk puisi Gayo yang telah cukup tua.
Kekeberen (prosa lisan). Kekeberen adalah salah satu bentuk prosa yang disampaikan secara lisan yang mendapat tempat luas dalam masyarakat Gayo di masa silam. Seperti halnya dengan Didong, prosa ini biasanya dituturkan pada malam hari menjelang tidur. Si pencerita mungkin seorang nenek kepada cucunya atau oleh orang senior lainnya. Di antara tema-tema itu adalah tentang cinta, patuh kepada orang tua, akal bulus, ketauladanan dan lain sebagainya.
Melengkan (seni pidato adat). Yaitu pidato-pidato adat dalam berbagai kesempatan upacara, masyarakat Gayo melahirkan rasa seninya dalam bentuk kata-kata puitis. Pidato adat ini dilakukan secara berbalas-balasan dan oleh pendengarnya dapat dirasakan kalah atau menang.
Sebuku (seni meratap). Pengungkapan perasaan yang terjalin dalam puisi-puisi tertentu yang umumnya hanya dilakukan oleh kaum wanita. Isi dari puisi sebuku biasanya mengungkapkan hal-hal yang bersifat sedih (elegi).
Peran-Fungsi Dan Periodeisasi Seni Didong
Sebagai suatu kesenian yang sangat digemari oleh masyarakat dengan syair-syair puisi sebagai unsur utamanya, maka pada masa penjajahan Belanda kesenian ini telah dimanfaatkan untuk membangkitkan rasa fanatisme kelompok, kampung dan suku guna mendukung politik pecah belah Snouck Hourgronje. Syair dan puisi Didong yang pada awalnya berisi petuah-petuah, nasehat-nasehat, tamsil mengenai masalah kehidupan sosial diganti menjadi sarana propaganda.
Akibat adanya pengaruh dan kepentingan kolonial tersebut maka dalam perkembangan selanjutnya kesenian ini telah mengalami pembaharuan, baik dari segi peran, fungsi maupun dari isi syair puisi serta tema karangan. Pembaharuan itu dapat dilihat dalam beberapa periode berikut:
Periode pertama, pada priode ini seni Didong berfungsi sebagai media hiburan, ditampilkan untuk memeriahkan perkawinan, khitanan dan hajatan lainnya. Dalam hal tema karangan syair belum ada yang bersifat sindir menyindir dalam satu pertandingan. Pada periode ini seni Didong masih bersifat “akal-akalan”, yaitu suatu cara menggunakan akal pikiran dalam membahas suatu masalah. Jadi semacam latihan berpikir kritis, bersikap dan berlaku bijaksana.
Periode kedua. Pada masa ini permusuhan dan pertentangan fisik antara suku tersalur dalam seni Didong. Syair-syair Didong mulai timbul sindir menyindir, menjatuhkan pihak lawan melalui syair dan lagu, memuji kampung serta kehebatan diri-sendiri.
Periode ketiga. Pada masa ini Didong mulai menjadi penggerak masyarakat dan sebagai media kontrol sosial, mengungkapkan masalah hidup yang ril yang bersifat keagamaan, sosial dan kepemerintahan. Berperan memotivasi pembangunan mental maupun fisik. Didong dipertahankan dan di pertontonkan untuk kegiatan amal, seperti menggalang dana pembangunan sekolah, tempat ibadah dan jembatan. Ciri yang paling menonjol pada masa ini adalah syair-syair, ungkapan dan ekspresi para Ceh telah mendorong dan memotivasi kehidupan sosial masyarakat. Syair-syair Didong bermuatan kritik, nasehat dan petuah, menjadi tamsil dan ibarat.
Periopde keempat. Seni Didong pada tahap ini telah menjadi media komunikasi dan transformasi nilai, menjadi saluran katarsis sosial sekaligus wadah silaturrahmi antar masyarakat. Menjadi mediator antara pemerintah dengan rakyat dan antara ulama dan umara, antar kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Dalam priode ini juga Didong berperan sebagai buku sejarah, mengkomunikasikan kejadian-kejadian penting yang terjadi pada masa lampau, baik daerah maupun nasional, keagamaan serta menjadi sumber nilai dalam budaya Gayo.
Periopde kelima. Periode ini adalah priode anti klimaknya seni Didong dalam sepanjang sejarahnya, karena disamping merangkum peran dan fungsinya dari keempat priode sebelumnya, ia juga telah mengalami perubahan dalam pola dan bentuk pengungkapan. Perubahan dimaksud adalah pada content syair yang dijadikan sebagai media pencitraan, memuji tokoh publik dan individu tertentu, mengekplorasi keunggulan program dan promosi prestasi, corong kepentingan secara politik untuk mencitrakan kepemimpinan dan rezim. Didong lebih sering dipertontonkan untuk menghimpun massa sebagai media kepentingan tertentu.
Dalam tahun 90-an hingga saat ini hampir tidak pernah Didong dipentaskan dalam rangka menghimpun simpati dan empati pencintanya untuk pembangunan tempat-tempat umum
Perubahan extrim dari gejala tersebut secara umum disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, seni Didong dengan unsur peran yang ada di dalamnya telah mengalami pelemahan idealisme ekspresi. Kedua, perkembangan dunia hiburan yang hegemoni telah memposisikan Didong tidak mampu mempertahankan dirinya sebagai seni komunitas yang mandiri. Sehingga sangat mudah dimasuki oleh kepentingan lain dengan ”uang lelah” yang lebih menggiurkan.
Pola ini mulai tampak dalam sejumlah syair dan moment yang muncul pada tahun 90-an ke atas. Seni Didong berikut dengan unsur peran yang dimilikinya dimanfaatkan diluar eksistensinya sebagai sebuah media ekspresi seni, estetika dan tranformasi perubahan dalam masyarakat.
Sebagai penyangga kebudayaan, selayaknya seni Didong tetap dibiarkan berada dalam keotonomiannya sebagai sebuah kesenian tradisi sejati yang tumbuh dan berkembang dalam desah dinamika masyarakat pemiliknya.
*Salman Yoga S. Peneliti, pencinta Seni Didong, Derektur Gayo
Institute (GI) dan Pengurus Lembaga Budaya SAMAN
Source: Note FB Penulis.