Catatan Jauhari Samalanga*
Memang sulit untuk memutuskan berhenti, tapi juga tidak sulit menghentinya. Namun persoalannya bukan berhenti atau menghentikan, persoalannya adalah kenapa harus sekarang, persis pertanyaan demi pertanyaan yang ditujukan kepada media online The Aceh Post, sebuah media berita Aceh, sejak pukul 00.00 WIB dinihari, Senin (12/12/2011), berpamitan kepada pembaca setianya di seluruh dunia, bahwa Atjeh Post ditutup. Kembali lagi, pertanyaan kenapa ‘berhenti’?.
Setelah disebut tayangan pukul 00.00 WIB “The Atjeh Post” pamit, saya pribadi langsung meninggalkan ruangan di kantor kami yang baru di Lampaseh Kota, Banda Aceh. Saya tau, sebelum ditayang dia hanya sebuah tulisan ringan dan biasa-biasa saja, tapi pengalaman berkata lain, pastilah tulisan itu akan menjadi tulisan bemutu, sebab dibaca oleh semua kalangan.
Betul saja, ketika saya membuka laptop saya, begitu terbuka langsung mengarah ke alamat portal the Atjeh Post sudah tertera di sana, sebuah tulisan ‘Dari Redaksi: The Atjeh Post Pamit’.Saya membacanya juga. Sedih memang. Tapi saya menghabiskan kalimat yang ditulis rekan saya itu, Yuswardi.
Perjalanan pulang ke rumah, diatas kendaraan sekira pukul 00.15, luluh juga ketegaran hati ini, bahkan titis air mata ikut mengantar kepiluan hati. Saya bayangkan teman-teman saya yang sedang berada di kantor, yang berusaha menghibur diri sendiri, yang tidak ingin dibilang sedih, pasti juga menangis karenanya. Menangis melihat comment-comment dari teman-teman setia selama ini, menangis membaca Lintas Gayo, yang secara kebetulan media online pertama mendapat kabar The Atjeh Post akan ‘pamitan’.
Aku juga percaya, sebuah media yang berhenti itu biasa. Pengalaman pahit begini pernah dialami media lainnya, bahkan seperti Majalah Tempo, Tabloid Detik, dan Majalah Tiras yang lebih dahsyat, mereka dipaksa ‘penguasa’ masa itu ‘berhenti’, tak sempat berpamitan layaknya The Atjeh Post berpamitan kepada pembacanya.
Semua orang tahu, apabila The Atjeh Pos memang bukan media besar, namun bagi kami—termasuk pendiri sahabat Nurlis E. Meuko yang sebelumnya adalah redaktur di TEMPO dan Kepala Liputan di VIVAnews.com dan Yuswardi, mantan wartawan TEMPO untuk wilayah liputan Aceh—telah bersiteguh meyakini media ini akan besar sebagai bacaan masyarakat Aceh di seluruh dunia, termasuk saya den beberapa teman lainnya punya pikiran sama, yakni ingin membangun The Atjeh Post dengan semangat, yang disusul kemudian semangat ‘material’ lainnya.
Segalanya sudah dekat, tinggal meramu saja. Namun takdir berkata lain, The Atjeh Post hanya sampai disini, dan yakinlah kesedihan itu berada di pundak kami, karena Atjeh Post harus ditinggalkan oleh ribuan pembacanya, padahal persahabatan ini baru saja terjalin.
Itulah alasannya, walau tidak berlaku disini. Hanya saja, masalahnya selalu sama, semangat dan media selalu berakhir dengan ‘usai’.
Pada tahun 1998-2000, saya juga harus mengiklaskan Tabloid ‘Asasi’ yang saya bangun bersama teman-teman berhenti seketika, hanya gara-gara tekanan politik masa itu. Asasi diberhentikan pas tinggal naik cetak sekitar pukul 02.00 dini hari, padahal penyandang dana ‘Suriansyah’ yang sekarang tampil menjadi calon wakil gubernur Aceh berpasangan dengan Calon Gubernur Abi Lampisang, sudah berkali-kali melakukan tawar-menawar. Lalu memang tak terbantahkan, kondisi ‘ngeri-ngeri sedap’ di Aceh, ikut membahayakan media dan orang-orangnya, sehingga kami harus membatalkan cetak selam-lamanya. Padahal Tabloid Asasi sudah beroplah diatas 10 ribu eksemplar.
Yang menyayat hati lainnya, keinginan menjalin hubungan sosial budaya dengan masyarakat Gayo dan sebagian daerah pedalaman Aceh lainnya juga terhenti, padahal itulah cita-cita awal media ini, mengedepankan kebudayaan dalam beradaptasi, bukan pendekatan politik. Alasan sederhana itulah yang kemudian mengaitkan Atjeh Post dengan Lintas Gayo sebagai mitra terbaik—bahkan sebuah percakapan di ruang redaksi The Atjeh Post—Nurlis Effendi mengklaim—situs terbaik di Aceh adalah Lintas Gayo yang konsisten dengan ke-Gayo-annya. Jarang sekali ada media detail di sebuah daerah.
Itulah The Atjeh Post, yang ikut dalam beberapa momentum penting di Gayo, seperti event Saman Sara Ingi yang digelar di Banda Aceh misalnya, Atjeh Post berharap bisa membantu, dan betul saja, Atjeh Post terus memberitakan Saman Gayo kala itu, begitu pula pada perhelatan “Inilah Gayo” di Mendale tepi Danau Lut Tawar April 2011 silam, Atjeh Post ikut sibuk menyiapkan acara tersebut, termasuk penggalian manusia pra Sejarah di Loyang Mendale dan sekitarnya. Atjeh Post berangapan , berita tersebut sangat penting.
Dan kini Atjeh Post pamit, berlalu menjadi kenangan—namun kami tak kuasa melihat saudara kami di Gayo—akan berjuang sendiri, tanpa kami, karena kami akan bersama-sama dengan semangat kalian. Terima kasih Gayo, kami akan tetap menjadikan Aceh dengan Didong dan Saman, atau sebaliknya harus menyerah sebagai Aceh tanpa Didong. Yang kita maui mari kita bersama-sama membangun Aceh ini dengan segala upaya yang tetap menjalin keeratan kasih, Insya Allah jalan ini akan mulia.
—-
*Mantan Wartawan The Atjeh Post